16 Maret 2013

Menuntaskan Paradigma Intelektual Profetik KAMMI (Makalah Sarasehan Jakarta-2)

makalah diskusi di Sarasehan Inteligensia KAMMI II di Jakarta, 16 Februari 2013. 

oleh: Mu'tamar [1]

IMG_8849CopyCopy

PUJI syukur saya sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah keimanan dan segala kenikmatan yang saya rasakan. Semoga dengan keimanan ini saya telah menjual diri kepadaNya dengan jual-beli yang menguntungkan. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad saw, perjuangan beliau dalam menegakkan tonggak sejarah baru manusia menjadi semberikan semangat bagi kita, serta kebersihan dan kesholehan pribadi beliau, menjadi contoh yang paling baik dalam mengarumi kehidupan, dan semoga kita mampu mengikuti jalannya secara istiqomah sampai pada penutup hidup kita.

Sudah lebih dari 10 tahun saya tidak lagi berkecimpung di dunia pergerakan mahasiswa. Semenjak saya meninggalkan KAMMI pada tahun 2002 dengan jabatan terakhir sebagai ketua bidang kajian stategis di KAMMI Yogyakarta. Ketika saya di-sms oleh mas wibisono untuk mengisi sarasehan KAMMI, ada dua gejolak dalam hati saya, saya terima atau tidak, karena sudah lamanya saya tdk lagi bergelut dengan dunia pergerakan mahasiswa, sehingga terasa sudah ada jarak dan terputus antara realitas yang saya hadapi (kesibukan bekerja) dengan gejolak ingin “bermimpi” di dalam KAMMI. Setelah saya timbang-timbang, gejolak untuk mentransformasikan ide-ide yang pernah saya pikirkan didalam KAMMI kepada adik-adik menggelora sehingga tawaran itu saya terima.

******


SAYA awali pembicaraan kita ini dengan sekilas mengenang sejarah KAMMI. KAMMI secara keorganisasian dilahirkan di Malang pada tanggal 1 Dzulhijjah 1418 H bertepatan dengan 29 Maret 1998 M, secara formal KAMMI di ciptakan sebagai cover pergerakan lembaga da’wah kampus LDK untuk masuk dan memberi kontribusi di masyarakat dan negara. Oleh karena itu KAMMI di awal-awal keberadaannya hanya menjadi alat aksi yang di ”hidup” hanya ketika ada isu-isu besar politik dan di butuhkan perlawanan di jalan dan ikut memberikan kontribusi tumbangnya rezim Orde Baru. Oleh karena keberadaanya seperti bom yang meledak di beberapa kota-kota besar yang mempunyai kampus-kampus besar. Tidak seperti organisasi yang baru di dirikan, KAMMI sudah mempunyai beberapa perwakilan di beberapa kota besar, Jakarta, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain, bahkan wabah ini tersebar hingga ke luar negeri, sehingga berdirilah KAMMI luar negeri, anatara lain KAMMI daerah Jepang.

Dari tahun 1998 hingga tahun 2000-an awal KAMMI hanya hidup ketika ada aksi jalanan guna menanggapi isu populis kenegaraan, dan setelah isu tersebut reda maka KAMMI tidak terlihat geliatnya. Forum-forum diskusi di dalam KAMMI sangat jarang, atau bahkan bisa dikatakan tidak ada, yang ada hanya ketika ada ”instruksi” untuk turun kejalan dengan isu-isu pesanan (bukan hasil kajian internal pengurus KAMMI), dan yang ada hanya kesibukan persiapan aksi dengan berbagai macam atribut aksi yang dibutuhkan.

Setelah pemerintah orde reformasi sudah mulai stabil, KAMMI terlihat gagap menempatkan diri, akhirnya KAMMI merubah diri menjadi organisasi massa, dan bukan lagi organisasi aksi. Perubahan ini belum banyak menginternasilasi dan mengorganisasi, sehingga perilaku KAMMI masih belum banyak berubah. Kegundahan akan masa depan KAMMI sebagai sebuah entitas gerakan mahasiswa yang intelek, semakin membingungkan. Sehingga munculah beberapa teman di Yogyakarta yang konsen untuk melakukan transformasi KAMMI dari organisasi aksi menjadi organisasi massa. Transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan yang cukup fundamental pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan secara konstitusional ini

KAMMI: Intelektual Profetik

Saya awali pembahasan tentang salah satu paradigma KAMMI yaitu intelektual profetik dengan melihat sekilas mukoddimah Anggaran Dasar KAMMI. Pada alinea pertama yang menyatakan “Kaum muslimin adalah pemegang hak atas peradaban dunia yang dibangun atas nilai-nilai tauhid”. Kalimat ini dipilih dengan tujuan tertentu, dan merupakan klaim pribadi, pada awalnya saya mendapat kritikan, dari mana anda mendapatkan klaim itu, namun saya terinspirasi oleh surat Ali Imron ayat 110.


Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S Ali Imron: 110)

Dari beberapa tafsir menjelaskan bahwa kata “Kamu” adalah merujuk umat islam, yang menjadi pertanyaan adalah umat islam di masa siapa, apakah hanya umat islam dimasa rosulullah saja seperti sabdanya yang menyatakan bahwa umat terbaik adalah umat islam di masa beliau, atau umat islam secara umum. Kemudian saya ingat betul tafsir yang diberikan oleh K.H Mukhlis Sulaiman [2]di pondok pesantren: beliau menyatakan setiap kata ganti “kamu”itu ditujukan kepada diri rosulullah, dan kata “kalian” ditujukan kepada para sahabat rosulullah, namun karena mereka semua telah tiada dan Alqur’an bersifat unifersal maka kata ganti “kamu” dan “Kalian” ditafsirkan kepada umat islam yang hudip masanya. Dengan menggunakan tafsir tersebut maka menginspirasi saya untuk melakukan klaim, kata “KAMU” di awal ayat itu saya jadikan KAMMI.

Kalimat pada alinea ke dua muqaddimah Anggaran Dasar KAMMI berbunyi,

Sesungguhnya mahasiswa adalah entitas intelektual yang menempati posisi strategis dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mahasiswa adalah agen-agen pengubah, pilar-pilar keadilan dan kebenaran, teladan perjuangan, dan aset masa depan bangsa Indonesia.

Kalimat ini merujuk anggota KAMMI adalah mahasiswa yang notabene masyarakat terdidik, yang sering di sebut sebagai intelektual. Dari kalangan mahasiswa inilah yang menjadi cilak-bakal kaum professional dan kelas menengah.

Inspirasi berikutnya adalah kutipan Ali Syari’ati[3] dalam bukunya Islam Agama “Protes”. Beliau mengutip buku yang ditulis oleh Tibor Mende (cendikiawan prancis) yang dianggap sangat inspiratif, buku tersebut berjudul ”A Glance at Tomorrow’s History”.[4] Buku tersebut menyatakan bahwa negara-negara di dunia ketiga, Afrika, Asia dan Amerika Selatan yang akan memegang sejarah masa depan. Saya sepakat dengan Syari’ati bahwa cara pandang Tibor Mende berbeda dengan cara pandang kita, namun istilah Tomorrow’s history mengispirasi saya akan sejarah hari esok bisa kita tulis dan kita rancang hari ini. Sejarah yang selama ini selalu berhubungan dengan masa lalu ternyata bisa kita transformasikan dan diubah menjadi sebuah kekuatan untuk menentukan sejarah masa depan dengan cara kita melakukan beberapa tahap yang sudah terancang rapi. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang bisa memegang dan menulis sejarah masa depan.

Syari’ati menggunakan istilah “Intellectual religious” sebagai wakil dari para intelektual yang berasal dari kalangan mullah (ulama’) yang dapat menentukan sejarah masa depan. Walaupun peran Ali Syari’ati tidak begitu besar terhadap revolusi Iran karena yang banyak berpengaruh adalah para mullah yang mampu memobilisasi masyarakat.[5] Gagasan yang lain juga saya dapatkan dalam buku karangan Murtadha Muthahhari[6]. Peter F Drucker dalam bukunya “Post Capitalist-society” menulis bab khusus tentang peralihan dari kapitalisme ke masyarakat berpengetahuan.[7]

Sementara itu Alqur’an banyak memberikan gambaran kita tentang orang-orang  yang beakal atau yang berfikir, bahasa yang dipakai alqur’an antara lain:

  1. Ulil Albab



Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. 2:179


 (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. 2:197


Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 3:190

  1. Ulin Nuha



Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal. 20:54


Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. 20:128

Sebagai penghargaan kita atas karya putra terbaik Indonesia maka saya tidak memakai intelektual religius, namun saya memakai istilah intelektual profetik. Kata ini digagas oleh Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Kalau kita lihat dari arti kata maka kita dapatkan kata profetik berasal dari bahasa Inggris ‘prophet’, yang berarti nabi. Menurut Oxford Dictionary ‘prophetic’ adalah (1) “Of, pertaining or proper to a prophet or prophecy”; “having the character or function of a prophet”; (2) “Characterized by, containing, or of the nature of prophecy; predictive”. Jadi, makna profetik adalah mempunyai sifat atau ciri seperti nabi, atau bersifat prediktif, memperkirakan. Sehingga intelektual profetik mempunyai makna intelektual yang mempunyai sifat kenabian, transcendental dan prediktif.

Penjelasan lebih lanjut bisa di baca makalah Heddy Shri Ahimsa-Putra, makalah : Paradigma Profetik, mungkinkah ? perlukah? [8], Pada kesempatan kali ini saya sarikan beberapa pemikiran pak Kuntowijoyo tentang ilmu social profetiknya.

Pak Kunto menulis bahwa “Asal-usul dari pikiran tentang Ilmu Sosial Profetik itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy”. Muhammad Iqbal adalah tokoh pemikir Islam, sedang Roger Garaudy adalah ahli filsafat Prancis yang masuk Islam. Pak Kunto banyak mengambil gagasan dua pemikir untuk mengembangkan apa yang diangan-angankannya sebagai ilmu-ilmu profetik, lebih khusus lagi ilmu sosial profetik, karena Pak Kunto adalah seorang sejarawan, seorang ilmuwan sosial.

Ilmu Sosial Transformatif, “tidak berhenti hanya untuk menjelaskan fenomena social namun juga berupaya untuk mentransformasikannya”. Masalahnya kemudian adalah, “ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa? Terhadap pertanyaan- pertanyaan ini, Ilmu Sosial Transformatif tidak memberikan penjelasannya. Oleh karena itu, Kuntowijoyo kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial “yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu”.

Selain itu, pak Kunto memilih strukturalisme untuk mendekati Al Qur’an karena menurutnya “tujuan kita bukanlah memahami Islam, tetapi bagaimana menerapkan ajaranajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya” (p.28). Dalam hal ini pak Kunto banyak mendapat inspirasi dari strukturalisme yang dikembangkan oleh ahli antropologi Prancis, Claude Lévi-Strauss.

*******


PERUBAHAN KAMMI dari organ aksi menjadi organisasi massa, belum membumi pada diri anggotanya, hal ini terlihat dari kegagapan para kader KAMMI ketika diharapkan untuk berdiskusi dengan elemen gerakan lain. Kekuatan yang diandalkan bukan kekuatan intelektual namun hanya kekuatan massa yang massif.

Setelah pemilu demokratis pertama setelah Orde Baru tahun 1999, menempatkan perwakilan rakyat yang lebih mencerminkan aspirasi masyarakat, walaupun belum optimal pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat namun gelombang demokratisasi mulai terasa di semua lini, tidak hanya di pusat, namun hingga ke daerah-daerah. Seperti yang diungkapkan oleh Afan Gaffar dalam bukunya “politik Indonesia: transisi menuju demokrasi”. Menyatakan bahwa semenjak pemerintahan Habibie gelombang ketiga demokrasi yang diungkapkan oleh Samuel P Huntington benar-benar terjadi di Indonesia. Pilar-pilar demokrasi tumbuh bak jamur di musim penghujan, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan pers mulai ditegakkan.[9]

Gelombang demokrasi yang terus membesar ini pulalah yang mendidik masyarakat menjadi lebih cerdas untuk membentuk kelompok-kelompok kepentingan yang mampu menjadi group pressers terhadap pemerintah. Kepentingan-kepentingan yang bersentuhan langsung dengan hajad hidup masyarakat sudah mulai tersuarakan, kelompok petani, buruh, nelayan, mulai menyuarakan hak-hak mereka. Dengan melakukan aksi-aksi jalan mereka menyuarakan kepentingan mereka, ketertindasan yang selama ini mulai tersuarakan menjadi tuntutan public.

Dengan kondisi ini maka peran pergerakan mahasiswa yang selama reformasi bergulir menyuarakan hati nurani rakyat tidak lagi relefan. Karena rakyat yang mana yang mereka suarakan, masyarakat sudah bisa menyuarakan kepentingan mereka sendiri tidak perlu diwakili. Hal inilah yang menyebabkan termarjinalisasikan (gerakan) mahasiswa kembali untuk masuk di dalam kampus dan menyelesaikan strudi mereka.

Hal ini telah terjadi di tahun 70-an di Negara-negara maju, dengan mulai terbukanya kran demokratisasi maka gerakan mahasiswa lama-kelamaan mati, dan berubah menjadi kelompok-kelompok studi penelitian, dan kelompok mahasiswa yang interest dengan hoby. Jika gerakan mahassiswa tidak cerdas melihat gejala ini, maka gerakan mahasiswa akan mati dengan sendirinya karena kehilangan peran. Mahasiswa sudah mulai kembali disibukan dengan harus menyelesaikan kuliah dengan cepat sehingga tidak ada waktu lagi mereka membangun pergerakan.

Kegelisahan inilah yang menyebabkan saya mulai berfikir untuk melakukan transformasi KAMMI menjadi organisasi intelektual profetik. Transformasi ini tidak mudah, karena paradigma gerakan mahasiswa selama ini adalah organisasi mahasiswa yang menyibukkan diri dalam kajian-kajian wacana intelektual ideologis. Mereka sibuk mendiskusikan pergulatan ideologi, dari ideologi kiri yang diwakili oleh sosialisme hingga ideologi kanan yang diwakili oleh kapitalisme. Dialektika yang ada hanya berkutat pada ”kegenitan” wacana, namun tidak menyentuh realitas kehidupan dan kepentingan masyarakat.

Sementara Lembaga Swadaya Masyarakat LSM/NGO semakin banyak, dan mereka sudah bersinggungan dengan hajad hidup masyarakat. Namun kelemahan LSM adalah berkaitan dengan Funding , yang menyebabkan jika penyandang dana mempunyai kepentingan tertentu maka LMS tersebut akan tumpul terhadap pemberi uang. Nah hal ini yang membuat ada peluang gerakan mahasiswa masih bisa masuk ke sela-sela kepentingan masyarakat dan kepentingan LSM.

Transformasi KAMMI yang menurut saya belum selesai hanya dari organ aksi menuju organ massa, namun harus dilanjutkan menjadi organ massa intelek profetik. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana itu organ massa intelek profetik, serta mau menjadi apa. Pertanyaan filosofis ini harus terjawabkan.

Ontologi gerakan massa intelek profetik adalah sebuah gerakan mahasiswa yang mampu mengoptimalakan kemampuan intelektualnya sebagai mahasiswa sesuai bidang yang dia pelajari dan kuasai dalam melakukan analisa kebijakan pemerintah yang lebih subtansial. Jika jumlah kementrian yang ada di pemerintahan pemerintah ada 10 bidang maka sebanyak itu pula organ gerakan mahasiswa tersebut. Misalkan terdapat bidang-bidang yang penting antara lain, bidang ekonomi, pendidikan, hokum, keolahragaan, pertanian, pariwisata, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, energi, social, kesehatan dll maka dibentuklah komisariat sebanyak itu pula.

Mari kita kupas sedikit demi sedikit, kita mulai dengan Anggaran Rumah Tangga KAMMI pasal 23 yang berbunyi:

“Komisariat merupakan satu kesatuan organisasi di bawah Daerah yang dibentuk di satu perguruan tinggi atau satu/beberapa fakultas dalam satu perguruan tinggai”

Kalau kita kritisi konstitusi tersebut maka KAMMI tingkat komisariat terdikotomi oleh geografis kampus, sehingga dalam satu komisariat terdapat multi disipliner intelektual kader, sehingga internalisasi intelektual mereka kurang optimal dan peran mahasiswa sebagai kekuatan intelektual kurang terasa. Sehingga isu-isu yang bisa di bahas oleh KAMMI hanya isu-isu populis, antara lain, isu kenaikan harga BBM, korupsi.

Transformasi yang saya inginkan adalah merubah KAMMI tidak hanya menjadi macan kertas, namun betul-betul menjadi patner pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan hajad hidup masyarakat.

Perubahan ini akan terasa sangat radikal namun akan memunculkan sebuah gerakan makasiswa yang betul-betul baru dan fresh, salah satu usulan perubahan antara lain merubah bentuk organisasi paling bawah yaitu komisariat menjadi organisasi yang berbasis pada bidang-bidang yang dibutuhkan dan menyesuaikan dengan kemampuan kader, jika masih belum mencukupi, maka bisa diadakan penggabungan antar disiplin.

Hal ini menyita perhatian saya, karena banyak sekali isu-isu sektoral yang terasa kecil namun ternyata sangat bersentuhan dengan hajad hidup masyarakat, salah satunya terilhami buku “blue gold” yang dikarang oleh ilmuan air dari India, bahwa beberapa puluh tahun kedepan peparangan akan terjadi bukan lagi memperebutkan sumber gas alam, namun memperebutkan sumber air. Dengan inspirasi tersebut menyebabkan kita bisa sensitif terhadap prifatisasi air yang dilakukan pemerintah, data menunjukkan bahwa sumber-sumber air bersih telah dikuasai oleh produsen air mineral. Namun kesejahteraan masyarakat disekitar pablik sangat memprihatinkan.

Di sisi lain isu-isu kehutanan (HPH), yang berujung pada bencana alam, isu keolahragaan yang masuk dalam ranah politik, dan lain sebagainya, semua isu ini luput dari gerakan mahasiswa, yang mereka pikirkan hanya isu-isu populis yang menyerang puncak kekuasaan dan tidak berimbas langsung terhadap hajat hidup masyarakat

Kalau tahap ini bisa di lalui KAMMI di tingkat komisariat, lantas peranyaan berikutnya bagaimana peran kepengurusan daerah, dan wilayah. Menurut hemat saya peran kepengurusan di tingkat daerah atau wilayah adalah melakukan akomodasi dari berbagai isu yang sudah dikaji secara mendalam di tingkat komisariat. Jika hal ini bisa terjadi maka KAMMI akan menjadi kekuatan organisasi mahasiswa yang sangat powerful.

Transformasi ini akan membuat KAMMI menjelma menjadi sebuah organisasi intelektual profetik yang transformatif.

Daftar Pustaka:

Afan Gaffar, 1999, Politik Indonesia: Transisi menuju Demokrasi, Yogyakarta, Putra Pelajar

Ali Syariati, 1992, Humanisme: antara islam dan mazhab barat, Bandung, Pustaka Hidayah

Ali Syariati, 1993, Islam agama “Protes” , Bandung, Pustaka Hidayah

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 2011, Makalah sarasehan, Paradigma Profetik, mungkinkah? Perlukah?, Yogyakarta

Drucker, Peter F, 1994, Masyarakat Paska Kapitalis, Bandung, Penerbit Angkasa

Muthahari, Murtadha, 1984, MAnusia dan Agama: sebuah perspektif Alqur’an. Bandung. Mizan

Suriasumatri, Jujun S, 2009, Filsafat Ilmu: sebuah Pengantar Populer, Jakarta. Sinar Harapan







[1] Guru di Central School. pernah menjadi pengurus KAMMI DIY 2001-2002




[2] Pengasuh Pondok pesantren Muhammadiyah Babad, Lamongan, Jawa Timur




[3] Seorang cendikiawan iran yang beraliran syi’i, lahir di Masyad, Iran. Dia juga aktifir pergerakan pembaharuan di iran, lama tinggal di Prancis dan bersama Mutafa Chamran dan Ibrahim Yazdi mendirikan gerakan pembebasan iran di luar negeri.




[4] Ali Syaria’ati, Islam Agama “Protes”. Hal 11




[5] Kritik pak Kuntowijoyo dalam buku “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia”




[6] Murtadha Muthahhari,  Manusia dan Agama..




[7] Peter F Drucker , Masyarakat pasca kapitalis..




[8] Heddy Shri Ahimsa-Putra, makalah : Paradigma Profetik, mungkinkah ? perlukah?




[9] Afan Gaffar, Politik Indonesia: menuju transisi demokrasi. Hal 343


1 komentar:

  1. [...] *makalah lengkap Mu’tamar Ma’ruf bisa dilihat di http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/16/menuntaskan-paradigma-intelektual-profetik-kammi/ [...]

    BalasHapus