16 Maret 2013

Mihwar Gerakan KAMMI: Sebuah Penjelasan (Makalah Sarasehan Jakarta-1)

Oleh    : Rijalul Imam, S.Hum, M.Si.

*Disarikan dari paparan yang disampaikan dalam Sarasehan Inteligensia KAMMI II di Jakarta, 16 Maret 2013. notulis: Umar

rijalul imamLATAR BELAKANG saya merumuskan konsep ‘mihwar gerakan’ adalah karena latar petualangan saya di dunia pemikiran. Semangat saya untuk masuk ke dunia pemikiran adalah karena ada ‘kekosongan’ di KAMMI –kekosongan intelektual. Arah gerakan tidak jelas ditentukan ke mana. Ini terjadi ketika saya berada di Komisariat IAIN Sunan Kalijaga. KAMMI tidak mampu berdialektika dengan pemikiran yang berkembang, seperti JIL. Saya mencoba melakukan ‘sintesis’ pemikiran. Saya harus mengetahui: apa/siapa sebenarnya KAMMI itu? Masa lalunya seperti apa? Ternyata, pada tahun 1998, saya menemukan bahwa tidak ada struktur kaderisasi di sana. Tetapi, punya ratusan ribu kader. Sehingga, menjadi sebuah fakta bahwa kader KAMMI itu mayoritas tarbiyah.

Ketika di Yogya, saya bertemu dengan pak Yusuf Maulana. Beliau salah satu pendiri KAMMI IAIN Sunan Kalijaga. Saya kebetulan salah satu ‘binaan’ beliau. Saya berinisiatif membuat Lingkar Diskusi K3BP. Karena namanya sedikit tidak asyik, namanya diganti jadi Gardan (Lembaga Rekayasa Peradaban). Saya banyak meng-construct KAMMI. pada waktu itu, struktur KAMMI melarang forum ini. Saya coba bernegosiasi: saya bersedia membubarkan kelompok diskusi ini jika KAMMI tidak ada agenda. Saya mencoba untuk membuat tiga komitmen pada waktu itu: (1) membaca; (2) hadir; (3) bicara. Di IAIN, diskusi yang dulu dibentuk sesederhana itu.


Ketika saya menjadi Ketua KAMMI IAIN, saya pernah membuat ICA (Islamic Civilization Academy) yang beranggotakan para AB2. Peserta ICA mampu mengisi kekosongan wacana di kalangan mahasiswa. Inilah sebabnya, tradisi intelektual menjadi penting untuk dikembangkan di KAMMI. Ada dua hal yang paling penting diperhatikan di KAMMI. Intelektualisme dan Aktivisme. ‘Intelektualisme’ an  sich tidak punya kekuatan mobilisasi dan melakukan perubahan. Tetapi, ia bisa mengubah cara berpikir orang lain. Oleh sebab itu, kekuatan intelektual tidak bertumpu pada kemampuan mobilisasi, tapi pada basis tekstual. ‘Teks’ menggerakkan arah perubahan secara lebih panjang. Orang lebih takut dengan teks daripada kemampuan demonstrasi. Jadi, menjadi aktivis tidak hanya demonstrasi, tetapi juga kemampau menulis teks-teks yang menggerakkan perubahan.

KAMMI punya empat paradigma (dakwah, intelektual, sosial, politik). Pada level kampus (Komisariat), empat paradigma itu sangat pas. Saya menerapkan empat paradigma ini ketika menjadi Ketua Komisariat di kampus. Perkaderan dimulai dari hal yang sangat fondasional: dakwah tauhid. Tauhid mendasari pola perkaderan ketika seseorang masuk KAMMI. Setelah itu, masuk pada lokus intelektual. Baru pembangunan basis sosial dan politik (Partai PAS, basis-basis sosial, dll).

*****

MARI berpindah ke ‘narasi’ tentang mihwar gerakan. Kalau menggunakan mihwar yang dipercayai PKS, tidak sesuai dengan KAMMI. Tidak perlu anak-anak KAMMI mengurusi hal-hal seperti itu. Kalau menggunakan cara pandang Ikhwanul Muslimin (maratibul ‘amal), juga tidak pas. Akhirnya, saya mencari, mihwar gerakan apa yang cocok diterapkan untuk KAMMI.

Akhirnya, saya mencoba mencarinya di salah satu teks filosofi gerakan KAMMI. Bertemulah dengan prinsip. Saya memulai dengan ‘ideologisasi’. Lalu, dengan basis ideologi tersebut, muncullah ‘resistensi’ atau perlawanan. Titik ketegangan dari perlawanan melahirkan ‘solusi/formulasi’, yang kemudian disusul oleh rekonstruksi. Kemudian, ada leaderisasi dan internasionalisasi.

Kami dulu memulai dari konsep kaderisasi. Ardhi Rahman, Ketua KID Yogya, menawarkan konsep ‘kaderisasi intelektual profetik’. Kami bahas itu di Gunung Kidul. Ternyata, konsep itu hanya cocok untuk Yogya. Bahkan untuk ukuran pusat pun, tidak ada jawaban. Akhirnya, kami kemudian melakukan berbagai refleksi. Ternyata, referensi ‘ideologi’ KAMMI tidak hanya tarbiyah, tetapi juga punya inspirasi dari Muhammadiyah, ISP Kuntowijoyo, ‘intelektual organik’ Antonio Gramsci, dlsb.

Saya melangkah lebih jauh, yaitu pada visi gerakan KAMMI. Kerangka organis dari visi gerakan KAMMI dapat kita bagi menjadi tiga bagian: (1) Wadah, yaitu KAMMI; (2) Produk, yaitu kader dan alumni; (3) tujuan akhir, yaitu bangsa dan negara Indonesia yang Islami.

Apa makna ‘pemimpin tangguh? Saya mencoba mencari beberapa referensi, ada konsep yang bernama 'Aidal Quwwan. Dalam konteks Indonesia, apa bentuk Aidal Quwwan ini? Ternyata, saya bertemu dengan satu konsep penting: negarawan. Kami kemudian bertemu dengan beberapa orang pemimpin KAMMI, seperti Amin Fahrudin, Asep Teguh Firmansyah, Badaruddin, dsb. Kami berpikir, terlalu jauh KAMMI untuk menjadi Negarawan Muslim. Konsep ini kemudian sampai pada bentuk yang disepakati: Muslim Negarawan.  Ini yang kemudian jadi orientasi kaderisasi KAMMI.

Bagaimana dengan mihwar? Harus diakui, ini bukan ijtihad kolektif. Ini ijtihad individual. Saya percaya bahwa perubahan ada yang bersifat per seribu tahun dan per seratus tahun. Dulu, garis intelektual kita yang tadinya ke Mekkah pada abad ke-17 dan ke-18 akhirnya bercabang ke Eropa. Mereka bertemu di abad ke-20. Di sinilah terjadi demarkasi ideologi pada abad ke-20. Tapi kita harus tahu, meminjam Hegel, zeitgeist (jiwa zaman) yang ada. Abad ke-20. Trennya adalah Islamisasi, dan di abad ke-21, trennya adalah integrasi.

Saya mencoba untuk melakukan tesis-antitesis-sintesis (yang mana digunakan oleh Hegel, red.) pada konsepsi Islam dan Nasionalisme (sebagai konsekuensi dari ‘integrasi’). Jika kita baca Pancasila, ada konsep rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (Kemanusiaan), Wihdah (persatuan), musyawarah wal-hikmah (demokrasi dan kebijaksanaan) serta Al-‘Adalah wal Ijtima;iyah (Keadilan Sosial). Konsep Pancasila sangat Islami, tapi yang berbahaya adalah jika konsep ini dijadikan asas tunggal.

Lalu, ada pula siklus per sepuluh tahun. Ini adalah siklus gerakan mahasiswa. Kita bisa lihat fasenya: 1945 (merdeka), 1955 (koalisi gerakan mahasiswa dengan partai), 1965 (koalisi gerakan mahasiswa dengan militer), 1978 (NKK/BKK), 1988 (Forum Studi Islam dan munculnya FSLDK), dan 1998 (Munculnya KAMMI).

******

PERSOALANNYA, bagaimana ke depan? Kita mesti, kemudian, merancang masa depan.  Jika kita perhatikan, siklus lima-tahunan (Pemilu) diikuti oleh pergantian kepemimpinan KAMMI (baik yang biasa ataupun yang luar biasa). Artinya, siklus Pemilu berdampak. Maka, jika menggunakan patokan itu, Pemilu bisa dijadikan acuan untuk merumuskan mihwar gerakan KAMMI. 1998-2004 adalah fase resistensi. Dan momentum 2004-2009 saya merumuskannya sebagai fase reformulasi. KAMMI kemudian merumuskan formulasi kaderisasi, komptensi, riset, pengetahuan dll yang perlu diwadahi. Masa KAMMI untuk melakukan rekonstruksi –perbaikan— adalah 2009-2014. Dan setelah itu, masa KAMMI untuk memimpin. 2014-2019 adalah masa internasionalisasi –saat KAMMI go international.

Saya sempat bertemu dengan Al-Muzammil Yusuf, seorang anggota DPR. Saya menemukan tulisannya di Saksi edisi pertama. Judulnya, “Mahasiswa Negarawan”. Beliau membayangkan mahasiswa sebagai satu-satunya harapan untuk mengisi kekosongan wacana kenegaraan. Selama ini, di Jamaah Tarbiyah yang jadi rujukan referensi hanya tentang kepribadian, keluarga, atau sejenisnya. Wacana kenegaraan kosong. Wacana itulah yang perlu diisi oleh gerakan mahasiswa.

Porkas Halomoan (perumus Prinsip Gerakan KAMMI) pernah bertanya pada saya, “kok antum bisa menulis hal seperti ini?” Saya jawab, “Kita tidak boleh memulai dari nol. Kita memulai dari titik di mana pendahulu kita berhenti” Saya membayangkan, tugas KAMMI saat ini adalah melakukan perkaderan, aksi, dan melakukan tawaran-tawaran. Tugas kader KAMMI hanya sebatas itu. Sisanya, basis rekonstruksi, ada di pundak para alumni. Sayangnya, hingga kini, tak ada wadah Forum Alumni KAMMI.

Dulu sempat saya membuat Forum Pascasarjana KAMMI. Saya buatkan akta notaris. Ada beberapa wadah lain yang dibentuk. Ini perjuangan yang saya dan kawan-kawan rintis. Ke depan, wilayah apa yang perlu diisi oleh kader-kader KAMMI? Ke depan, alumni menjadi sangat penting. Ini untuk mengisi kekosongan, wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh kader KAMMI karena keterbatasannya sebagai mahasiswa.

Ada satu ayat, “wal tanzhur nafsun maa qaddamat lighad”. Ayat itu diapit oleh dua kalimat taqwa. Ittaqullaah. Dari ayat itu, kekuatan seorang muttaqiin bertumpu pada kekuatan an-nazhariyat, yang dalam bahasa Arab berarti kekuatan penalaran; teoritisasi. Penalaran itu bertumpu pada bagaimana KAMMI bisa menatap masa lalu untuk menata masa depannya.

KAMMI punya tiga posisi yang saling bersinggungan: Harakah thullabiyah, Harakah Islamiyah, Harakah Wathaniyah. KAMMI berada dalam posisi strategis di pertemuan tiga jenis harakah itu. Jika kita bisa melakukan sintesis, KAMMI bisa masuk ke semua ranah yang khas tentang itu.

******

SADARKAH anda bahwa bangsa ini sedang ‘oleng’, tanpa narasi? Mihwar Gerakan adalah bentuk ijtihad untuk mengisi kekosongan narasi gerakan Indonesia saat ini. Ini yang perlu dipikirkan di Sarasehan. Jika ingin maju, jangan  sekali-kali menutup pintu ijtihad.

Penting pada KAMMI, beranilah mengkritik. KAMMI saat ini harus berani mengkritik generasi angkatan 1998 atau generasi-generasi sebelumnya. Kritiklah Fahri Hamzah, Fadjroel Rachman, dan generasi 1998 lain. Sebab, generasi mereka bukanlah generasi yang terbaik, masih ada yang perlu diperbaiki.

Jangan hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Untuk mengubah masa depan, kita harus bisa berpikir kritis. Tidak ada perubahan tanpa didahului pikiran yang kritis. Tataplah masa depan dan gugatlah peran ke-Indonesia-an KAMMI selama ini. [maru]

1 komentar:

  1. [...] Isi lengkap pemaparan Rijalul Imam bisa diakses di: http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/16/mihwar-gerakan-kammi-sebuah-penjelasan-makalah-saraseh... [...]

    BalasHapus