21 Maret 2013

Meredefinisi Musuh KAMMI (Tanggapan atas tulisan Syarifuddin, 9 Maret 2011)

oleh Sofistika Carevy Ediwindra *)

GambarSAYA tertarik dengan tulisan Syarifudin, salah seorang alumni KAMMI, yang berjudul Reflektivitas Profetik dan Mihwar Kegamangan KAMMI. Tulisan ini menjadi sajian pada diskusi Roadshow Pra-Sarasehan Inteligensia KAMMI di Depok, UI, pada 9 Maret lalu.

Bagian yang paling menyentil bagi saya dalam tulisan yang juga menggugat klasifikasi mihwar KAMMI versi Rijalul Imam ini adalah tentang redefinisi musuh KAMMI.  Apakah KAMMI punya musuh? Ya, tentu saja. Disebutkan dengan jelas dalam prinsip gerakan bahwa musuh utama KAMMI adalah kebatilan. Maka tak jarang, KAMMI dahulu kerap mendemo bahkan menjatuhkan pemerintahan rezim seperti Suharto, Abdur Rahman Wahid, dan Megawati.


Pada sub judul ‘Dari State Oriented ke Civil Islam’ penulis mengangkat kalimat pertama yang bagi saya cukup menusuk. Tertulis, “Selama ini, pendefinisian ‘musuh’ dalam tubuh KAMMI perlu ditinjau ulang.” Bagi saya, kalimat ini adalah tohokan karena maknanya kita (KAMMI) entah kerap menyempitkan atau malah salah tafsir akan konsep musuh KAMMI. Penulis kemudian memaparkan ‘kebiasaan’ KAMMI dalam memosisikan negara (state) sebagai musuh. Negara yang dimusuhi KAMMI adalah lantaran ia kerap tidak memihak pada kesejahteraan rakyat; menaikkan harga BBM dan TDL listrik, misalnya.

Ya, saya sepakat dengan definisi ‘musuh’ KAMMI. Tapi ternyata, penulis memberikan perspektif berbeda yang menarik. Penulis ingin mengajak para aktivis KAMMI untuk berpikir lebih jauh dan luas bahwa musuh KAMMI tidak hanya negara. Bahkan suprastruktur nation state seperti IMF, World Bank, WTO, grup MNC, dll yang agaknya terlupakan untuk KAMMI posisikan sebagai musuh. Justru merekalah pihak yang sering mendikte negara kita untuk mencekik rakyat.

Lebih luas dari itu, saya menambahkan bahwa meredefinisi musuh KAMMI itu memberikan konsekuensi yang besar. Beberapa di antaranya yakni perlunya perluasan dan eksplorasi lebih dari kompetensi para kader KAMMI. Menghadapi musuh yang pertama, canggih, tentu membutuhkan ilmu yang tak kalah canggih. Ketajaman analisis, kekuatan data, dan utamanya solusi dan kemampuan untuk menggerakkan suara rakyat agar memihak pada kita yang berupaya menyuarakan kebenaran adalah penting. Kedua, musuh kita jelas berduit. Alih-alih kita kritis baik lewat tulisan, aksi jalanan, advokasi, dll malah menyeret kita pada ujian penuntutan pada kita atau malah penyuapan agar kita bungkam.

Pertanyaan besarnya, adakah kita siap dengan musuh yang lebih besar tersebut?

Di samping redefinisi musuh KAMMI, Syafrudin dalam tulisannya juga membuka wawasan pembaca akan luasnya domain gerakan KAMMI, yakni umat muslim. Bagi saya, adalah aneh jika KAMMI (kader KAMMI-red) kini mati gaya dan menyatakan diri kehabisan ruang gerak. Umat muslim saja terhampar luas di tanah air kita meski persentase jumlahnya kian menyusut. Tak ada ruang alibi untuk tidak bergerak dalam perbaikan umat. Atau bahkan kita kini sering lupa dengan mereka (masyarakat muslim). Kesibukan berkutat pada hal yang terkesan tinggi seperti di ranah perpolitikan, internasional, dll namun melupakan garapan perbaikan umat Islam di dekat kita.

Semoga pijar perjuangan KAMMI senantiasa bersinar utamanya di bumi Indonesia tercinta. Saya sangat yakin itu, karena Islamlah yang kita bela dan kebatilan adalah musuh abadi KAMMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar