21 Maret 2013

Ya, Memang Beginilah KAMMI...

oleh: Alikta HS *)

GambarMUDA DAN ENERGIK. Begitulah saya memandang KAMMI di usianya yang tak lebih dari lima belas tahun ini. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang lahir di masa transisi perpolitikan Indonesia tahun 1998, harus diakui KAMMI telah berhasil menorehkan identitas kesejarahannya dalam dinamika keislaman, kemahasiswaan, dan keindonesiaan.

Namun, dengan latar belakang historis tersebut, kita harus jujur mengakui bahwa ada semacam kegamangan untuk positioning dalam dinamika kekinian yang semakin turbulen. KAMMI masih terbelenggu pada otoritas masa lalu yang defensif dan determinatif, sehingga menyebabkan dominasi berlebih pada setiap wacana, pola pikir, dan langkah gerak organisasi. Padahal, tuntutan untuk melakukan pembaharuan guna menjawab tantangan zaman tentu merupakan suatu keharusan yang tak bisa ditawar.


Salah satu stigma yang melekat pada KAMMI, sekaligus menjadi brand imagenya adalah aksi-aksinya yang menitikberatkan pada mobilisasi massa sebagai gerakan parlemen jalanan. Stigma tersebut kini telah melembaga dalam tradisi pergerakannya, sehingga legitimasi dari otoritas sejarah ini menyisakan kalimat, “Ya, memang beginilah KAMMI, dari dulu memang seperti ini..” ketika muncul berbagai kritik, baik itu dari eksternal maupun internal KAMMI sendiri terkait aksi-aksi reaktif dan sporadis, serta terkesan miskin solusi, yang dijadikan isu sentral dalam pergerakannya.

Inti dari kritikan tersebut kebanyakan menyoroti minimnya kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas di tubuh KAMMI. Tentu hal ini bukan perkara remeh, sebab mau tidak mau, suka tidak suka, eksistensi organisasi dalam garis sejarah akan dipengaruhi oleh kinerja dan produk organisasi. Kinerja dan produk organisasi, tentu saja, berkaitan sangat erat dengan kadar intelektual kader dan kultur intelektualitas yang melingkupinya.

Dua Kutub dan Gebrakan Baru

Dua orientasi besar kader dalam organisasi pergerakan mahasiswa dibagi menjadi dua kutub, yakni orientasi keilmuan-intelektual dan politik-praktis. Kalangan intelektual merupakan minoritas yang mencintai tradisi akademisi, sedangkan kalangan politik-praktis merupakan mayoritas yang mencintai politik praktis dan kerja-kerja teknis.[1] Rasa-rasanya, istilah yang dipakai Arip Mustopha dalam mendiagnosa ‘penyakit’ ini cukup tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi di tubuh KAMMI saat ini.

Dengan konteks historis yang mendasari kelahirannya, KAMMI memang dituntut bergumul dengan hal-hal yang sifatnya praktis-teknis,  namun bukan berarti setelah zaman bergulir, KAMMI pun kemudian mengambil jarak dari hal-hal yang bersifat intelektual-keilmuan. Bukankah begitu?

Berbagai kritik yang menerpa KAMMI belakangan ini mestinya berhasil menumbuhkan kesadaran untuk membuat sebuah perubahan di KAMMI. Bahkan, beberapa kader pun telah mengkristalkan wacana tersebut dengan menggelar forum-forum diskusi pekanan dan Sarasehan Intelegensia KAMMI yang menghadirkan para founding fathers KAMMI guna merealisasikan secara kongkrit perubahan yang diharapkan.

Memang, sistem otoritatif yang telah melembaga dan terwariskan dalam regenerasi KAMMI seolah telah membungkam kader untuk banyak berkata selain menghela nafas dan berkata, “Ya, beginilah KAMMI..”, sehingga sebuah gebrakan yang tegas dan persisten tentu menjadi sebuah alternatif solusi yang ideal guna menciptakan iklim demokratis, terbuka, kritis, dan jujur dalam pencarian kebenaran dengan memaparkan fakta sejarah disertai argumentasi pendukung yang sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual.

Kini, ruang guna mengembangkan kultur intelektualitas ini terlembaga dalam sebuah forum kultural yang menopang setiap ide dan pengetahuan baik berupa lisan maupun tulisan, yang kemudian didokumentasikan dan disosialisasikan menembus batas-batas ruang dan menjadi pelajaran dan referensi bagi kader-kader lain di seluruh Indonesia.

"Ya Memang Beginilah KAMMI"

Saya berharap, forum kultural yang digagas ini bisa menjadi medium yang mampu memediasi warisan masa lalu dan mengelaborasikannya dengan semangat menghadirkan perubahan dan pembaruan sebagai ikhtiar penafsiran tanda-tanda zaman yang telah berubah tanpa membuat kader merasa terbebani dengan sakralisasi terhadap tradisi yang menyebabkan kekritisannya menjadi tersumbat.

Sudah saatnya, ledakan budaya intelektual secara massif ini  digalakan. Sehingga sebagai seorang kader KAMMI kita akan dengan percaya diri dan lantang mengatakan, “Ya, Memang Beginilah KAMMI. .”

Semoga.

[1] Lihat lebih lanjut dalam  buku yang ditulis Arip Musthopa  dengan judul “Menata Warisan Masa Lalu, Berinvestasi untuk Masa Depan”, halaman 113

*) Alikta HS, Aktivis KAMMI Sholahuddin Al Ayyubi UNS, Solo, Baru saja mengikuti DM2 di Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar