15 Mei 2013

Banjir dan Suara Diam Gerakan Mahasiswa

Oleh : Yusuf Maulana*   
*Pendamping Ideologis Pegiat KAMMI Kultural 

Banjir yang terjadi di Jakarta dan daerah di sekitarnya tidak hanya menyita perhatian aparat pemerintah, namun juga gerakan mahasiswa (GM). Jika warga biasa mengkritik penanganan bencana pemerintah, aktivis GM punya cara sendiri untuk melakukannya: berdemonstrasi. Jika warga, perusahaan hingga partai politik berjibaku menyalurkan bantuan kepada para korban, aktivis GM tidak mau tertinggal: menjadi relawan kemanusiaan. Pendek kata, apa yang dilakukan warga atau aparat, GM telah melakukan pula; tidak relevan lagi, mana yang mengawali, mana yang meniru.


Keterlibatan GM dalam bencana alam seperti banjir Jakarta beberapa waktu lalu memang suatu tindakan terpuji. Masih ada harapan untuk memercayai mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah krisis kepercayaan terhadap mereka. Apatisme terhadap kiprah mahasiswa atau GM, seperti yang dilontarkan banyak pihak belakangan ini, setidaknya bisa dikurangi dengan adanya kegiatan seperti menjadi relawan. 



Meskipun demikian, keterlibatan GM itu sayangnya masih bersifat sporadis dan temporer. Mereka terlibat begitu bencana sudah terjadi dan masih berlangsung. Artinya, sebelumnya belum ada sebuah gerakan yang bersifat antisipatif yang bisa memperkirakan, sebagai imbas dari keterlibatan yang intensif. Demikian pula setelah bencana surut, GM umumnya meninggalkan medan tanpa ada rencana untuk menindaklanjuti program semasa bencana masih berlangsung. Keterlibatan yang muncul sewaktu-waktu, seperti yang masih terjadi sekarang ini, akan mengalami tantangan berat apabila bencana yang terjadi di tanah air tidak hanya satu atau dua kali. Dengan bermunculannya berbagai bencana di berbagai tempat, sudah seharusnya ada upaya yang lebih terkoordinasi dan tersistematisasi dalam merespons isu lingkungan.


Di sinilah makna penting melibatkan lebih jauh lagi partisipasi GM dalam beberapa bencana yang terjadi di tanah air. Keterlibatan mereka nantinya tidak hanya sebagai pemberi bantuan lantas setelah itu pergi. Juga bukan pula peneriak pemerintah, lalu setelah bencana mulai teratasi mereka pun kebingungan mau berbuat apa. Jangan sampai, GM ikut-ikutan berbuat latah, seperti para politisi, yang mengail di air keruh dengan menuntut mundur pemerintah. Yang salah bukan terletak pada kritik agar pemerintah mundur, melainkan kedudukan kritik itu sendiri: kritik dilakukan hanya sebagai bentuk menunjukkan eksistensi GM. 


Bentuk pelarian? 

Sejauh ini, ada kecenderungan isu lingkungan masih belum menjadi agenda prioritas GM.Boleh dikatakan bahwa ekstensifnya bencana akhir-akhir ini belum berbanding lurus dengan penempatan agenda lingkungan oleh GM. Meskipun hal ini tidak berarti isu lingkungan harus ditempatkan sebagai nomor wahid, namun setidaknya ada bentuk perhatian yang serius untuk menjadikannya sebagai investasi gerakan; terlebih di tengah malaise aktivisme GM.

Di sisi lain, antusiasme GM dalam memberikan bantuan perlu pula untuk dicermati. Di balik segi positifnya, tidak menutup kemungkinan, upaya mereka ini sebagai sebuah wujud yang perlu pula “diprihatinkan”. Mengapa? Pasalnya, ada kesan, antusiasme itu bentuk katarsis dari ketidakmampuan mereka mengatasi persoalan lingkungan yang memang besar. GM ikut mengalami frustrasi begitu menyimak bencana demi bencana hadir di depan mata mereka, sementara saat yang sama mereka tidak kuasa untuk menekan pemerintah untuk bertindak tegas dan serius terhadap pelaku kejahatan lingkungan.


Dalam keadaan frustrasi inilah mereka pun memilih untuk memperlihatkan identitasnya—bahwa mereka masih tetap peduli kepada para korban bencana—alih-alih dianggap tidak peduli karena—meminjam pernyataan Amien Rais—“makin dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme yang berkembang.” Karena memang demikian keadaannya, hal yang logis saja apabila artikulasi kepedulian mereka akhirnya hanya dengan jalur yang memungkinkan, mudah dan sebisanya.


Andai saja almanak saat lumpur Lapindo terjadi, tsunami di Selatan Jawa hingga banjir Jakarta menunjukkan awal 1990-an, yakni ketika mahasiswa antusias mengangkat isu lingkungan. Maka, bukan hal mengherankan apabila advokasi ala Kedungombo, memiliki pelanjut menjadi Kedungombo II, III, IV, dan seterusnya. Di situ ada bencana lingkungan, di sana ada peran aktif mahasiswa. Sayangnya, keadaan sekarang ini tidak (belum) bisa seperti saat kasus Kedungombo mencuat. Tidak ada lagi (setidaknya untuk saat ini) GM yang betul-betul menjadikan sebuah bencana alam sebagai agenda prioritasnya. Keadaan sekarang tak ubahnya seperti kembali ke titik nol! Jangankan untuk terlibat aktif seperti kelompok aksi mahasiswa yang pernah dijumpai dalam kasus Kedungombo (bersama elemen lembaga swadaya masyarakat dan kelompok prodemokrasi lainnya), untuk memelopori pembentukan gerakan ke arah sana saja untuk sekarang ini para aktivis GM seperti kebingungan hendak memulai dari mana.


Oleh karena itu, GM yang memecah keheningan dengan tetap melakukan demonstrasi atau sedikit upaya advokasi, sebenarnya sebuah “kejutan” yang menggembirakan bila dilihat dalam konteks sekarang ini. Meskipun perlu buru-buru ditambahkan, langkah ini hanya sebagai awalan menuju heroisme GM di masa sekarang. Sebab, belum bisa dikatakan sebagai tindakan herois apabila langkah-langkah yang ditempuh untuk mengusung isu lingkungan hanya sebagai respons sesaat atau bahkan kegenitan belaka: hanya untuk mengekspresikan kemarahan pada pemerintah. Sementara, saat yang sama, mereka sendiri masih sangat awam berbicara soal lingkungan. Jangankan berbicara mengenai solusi, mereka justru sudah lebih dulu kebingungan untuk memahami isu lingkungan. Penyebabnya, karena isu lingkungan selama ini selalu ditempatkan bukan sebagai agenda prioritas. Bisa juga karena tidak adanya cara pandang yang holistik bahwa dalam isu lingkungan pun sebenarnya ada irisan dengan agenda lain yang selama ini mereka usung; korupsi misalnya. 


Sekulerisasi 

Pasifnya GM dalam merespons isu lingkungan—merespons yang bukan hanya berwujud menjadi relawan atau demonstran temporer—sepertinya memang memiliki pembenaran yang logis. Betapa tidak, pendidikan dan orientasi kampus sendiri memang mengarahkan mahasiswa agar tidak menjadikan lingkungan sebagai sebuah perspektif. Pihak kampus ada kalanya terang-terangan membuat kebijakan yang bertentangan dengan isu lingkungan. Misalnya, perluasan jalan di dalam kampus mengorbankan pepohonan yang ada di sekitarnya. Bila ada kampanye peduli lingkungan di dalam kampus, seringnya masih sebuah langkah sporadis bahkan tak jarang hanya kampanye plastis agar kampus tidak dicap tidak peduli lingkungan.

Jadi, isu lingkungan mengalami semacam sekulerisasi lingkungan bahwa isu lingkungan adalah soal lain yang berdiri sendiri; bukan bagian dari orientasi mahasiswa. Isu ini dipandang hanya layak untuk mereka yang ingin aktif di lembaga swadaya masyarakat atau yang tidak tertarik bekerja di industri besar. Padahal, cara pandang seperti ini tak ubahnya seperti bentuk penyuapan oleh kalangan industri kepada pihak kampus. Bila di masa Orde Baru suap diberikan industri perusak lingkungan kepada penguasa, kini kampuslah yang diberikan insentif agar membungkam mereka yang kritis terhadap isu lingkungan dengan cara-cara yang “ilmiah”.


Dalam posisi demikian, tidak bisa tidak, GM perlu menghidupkan kembali kelompok aksi lingkungan. Yakni, sebuah kegiatan GM yang memfokuskan isu lingkungan, mulai dari pengkajian hingga pengadvokasian masyarakat korban bencana. Untuk itu, setiap GM seharusnya bisa mengevaluasi kembali agendanya masing-masing, jangan sampai agenda lingkungan hanya sebatas pemoles agar mereka tidak dicap tidak peduli isu lingkungan. Membentuk kelompok aksi di tengah kondisi kampus (dan pemerintah) yang terkooptasi industri kamuflase hijau, tentu saja menyulitkan. Maka, dibutuhkan sebuah pengayaan wacana lingkungan yang selama ini masih menjadi kelemahan mayoritas GM. Harapannya, ketika beraksi GM tidak sebatas berteriak lantang tapi kosong makna dan praksis. Dan, saat yang sama, ketika beraksi berupa advokasi, mereka tidak kebingungan arah dan orientasi.


Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, maukah GM menyikapi ini sebagai agenda prioritas dengan tetap mengonsisteni, meski tanpa sponsor dari mana pun? []




Tidak ada komentar:

Posting Komentar