30 Mei 2013

Meneguhkan Otonomi: KAMMI dan Proyek Intelektual Kolektif (Catatan untuk Yusuf Maulana)

Bowo Sugiarto
Alumni KAMMI
  
Paling tidak ada dua isu yang digarisbawahi oleh Yusuf Maulana (YM) dalam tulisannya ‘KAMMI, dan Elaborasi Masyarakat Sipil’, yaitu tentang adanya kecenderungan mahasiswa menjadi semakin apolitis dan masalah independensi KAMMI dengan partai politik. Isu kedua sebenarnya sudah selesai jika kita mengacu ke konstitusi KAMMI. Faktanya sampai sekarang masih menjadi “hantu” yang mewarnai hari-hari sebagian aktivis KAMMI. 

Kata ‘sebagian’ perlu ditekankan karena bagi sebagian yang lain itu mungkin bukan sesuatu yang strategis untuk dibicarakan, baik karena dianggap isu basi, memang sudah selesai atau bahkan sesuatu yang tabu untuk didiskusikan. Tulisan ini sendiri, alih-alih mendiskusikan problem independensi itu secara khusus, justru hendak menawarkan jalan lain untuk memecah kebuntuan psiko-legal tersebut.

Jalan yang akan ditawarkan itu sekaligus berguna untuk membuka pintu jawaban terhadap isu pertama yang disampaikan oleh YM. Saya akan meminjam konsep Louis Althusser tentang karakter kekuasaan negara dalam sebuah masyarakat kapitalis untuk menggarisbawahi kekeliruan cara pandang awam tentang politik. Althusser secara jelas menyebutkan bahwa dalam negara kapitalis, selain keluarga, Aparat Ideologis Negara yang berperan sangat besar dalam melanggengkan dominasi kelas borjuis adalah lembaga pendidikan. Urgensi soal peran lembaga pendidikan dalam melanggengkan ketidaksetaraan sosial juga disampaikan oleh Pierre Bourdieu. 

Dalam upaya melawan penindasan atau ketidaksetaraan itu, Bourdieu menganjurkan para intelektual untuk melakukan intervensi politis lewat apa yang disebutnya dengan intelektual kolektif. Gagasannya soal intelektual kolektif inilah yang diharapkan menjadi inspirasi bagi KAMMI mendobrak kebuntuan masalah psiko-legal yang dihadapinya.

Pendidikan dan Ketidaksetaraan 
 Dalam tulisannya yang saya sebut di atas, YM menyarankan KAMMI untuk melirik konsepsi Gramscian soal ‘elaborasi masyarakat sipil’ dalam rangka menyiasati kemungkinan menurunnya aktivitas KAMMI terkait dengan relasinya dengan (partai politik) mitranya. Konsepsi masyarakat sipil (civil society) versi Gramscian memang strategis untuk mengerti mekanisme dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya karena dalam masyarakat sipillah perjuangan memperebutkan hegemoni itu berlangsung. Dengan itu berarti aktivitas kontra-hegemoni yang dilakukan oleh kelompok yang dikuasai juga lebih banyak terjadi di ranah masyarakat sipil. Yang penting untuk diingat, hegemoni dalam pengertian Gramscian itu berarti dominasi kelas yang berkuasa yang didasarkan pada persetujuan dan persuasi, dan bukan dengan cara paksaan atau kekerasan  (Forgacs (ed), 2000)

Meskipun dengan mengacu pada persepektif Gramscian tentang masyarakat sipil dan hegemoni sudah dapat membantu kita untuk memahami bahwa perjuangan memperebutkan hegemoni lebih luas dari sekedar pengertian awam tentang politik yang hanya sebatas politik formal, kita masih membutuhkan sudut pandang lain untuk penjelasan yang lebih detil. Untuk itu kita perlu berpaling ke Althusser. 

Dalam khasanah pemikiran Marxisme, salah satu sumbangan penting Althusser adalah konsepnya tentang Ideological State Aparratus (ISA). Dalam teori Marxis, negara terutama dipahami sebagai ”aparatus Negara”, yaitu, sebagai keseluruhan dari institusi-institusi yang lewatnya kelas berkuasa mengelola dominasi ekonominya – pemerintah, birokrasi, polisi, peradilan, tentara dan seterusnya. Menurut Althusser, dalam kenyataannya negara merupakan realitas yang lebih kompleks daripada itu. 

Dia berpendapat bahwa aparatus negara terdiri atas dua kumpulan institusi yang tumpang tindih sekaligus berbeda. Pertama, apa yang umum dipahami oleh teori Marxis sebagai bagian dari aparat negara, yaitu institusi-institusi represif yang lewatnya kelas berkuasa memaksakan aturan. Althusser menyebutnya Represive State Apparatus (RSA), yang terdiri dari pemerintah, birokrasi, polisi, peradilan, tentara dan lainnya. Kedua, negara juga terdiri dari apa yang dia sebut sebagai ISA. Institusi-institusi yang menjadi dalam ISA adalah lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, keluarga, serikat dagang, media, budaya dan lainnya. 

Perbedaan mendasar antara ISA dan RSA adalah ISA terutama berfungsi “lewat ideologi” sedangkan RSA terutama berfungsi lewat kekerasan. Baik ISA dan RSA bersama-sama menjalankan fungsi sosial untuk mengelola tatanan negara  (Ferretter, 2006).

Menurut Althusser (1971), ISA yang dominan dalam mereproduksi hubungan produksi dalam sebuah masyarakat kapitalis adalah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan ini menggantikan Gereja yang sebelumnya berperan sebagai ISA dominan dalam masyarakat pra-kapitalis. Lembaga pendidikan memiliki peran yang strategis dalam melanggengkan dominasi sebuah kelas terhadap kelas lainnya karena dia memberi jaminan terhadap masa depan proses reproduksi. Setiap bangunan sosial hanya dapat bertahan jika dia dapat mereproduksi  syarat-syarat produksinya pada saat yang bersamaan dengan dia berproduksi. 

Oleh karena itu, agar tetap berproduksi maka dia harus mereproduksi, salah satunya, kekuatan-kekuatan produktif. Salah satu problem pokok dalam reproduksi kekuatan produktif adalah bagaimana mereproduksi ketrampilan-ketrampilan tenaga kerja. Dalam formasi sosial kapitalis, reproduksi ketrampilan tenaga kerja dilakukan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan melatih anak-anak buruh dengan sejumlah keterampilan dan pengetahuan tertentu dalam rangka agar mereka siap menggantikan kedua orang tua mereka sebagai buruh kelak di masa depan. 

Selain ketrampilan praktis, di sekolah para murid juga mempelajari aturan-aturan atau norma-norma yang dapat diterima secara sosial ataupun profesional. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan pada dasarnya mereproduksi ketundukan terhadap aturan yang mapan atau ideologi kelas dominan.

Berdasarkan pendapat Althusser tentang tempat lembaga pendidikan dalam proses reproduksi hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis, kita mafhum bahwa lembaga pendidikan ternyata dapat turut terlibat dalam proses pelanggengan relasi  sosial yang tidak setara. Bourdieu memberi penjelasan yang agak berbeda  terkait kegagalan pendidikan dalam mendukung perubahan sosial dan malah mereproduksi hubungan sosial tak setara yang sudah ada. Menurut Boudieu, modal ekonomi dan kultural yang dimiliki oleh orang tua akan diwariskan kepada anaknya. 

Dengan modal ekonomi dan kultural yang didapatkan dari orang tuanya itu, anak yang berasal dari keluarga kaya akan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga miskin. Selain itu, habitus yang dimiliki oleh anak dari kelas dominan berbeda dengan yang dimiliki oleh anak dari kelas bawah. 

Model pembelajaran yang dipraktikkan di sekolah-sekolah terbaik biasanya mengadopsi habitus kelas dominan sehingga anak dari keluarga miskin akan membutuhkan waktu lebih untuk beradaptasi yang akan membuat peluang mereka untuk sukses secara akademis lebih kecil. Kredensial pendidikan yang didapatkan setelah lulus, juga dengan modal sosial dan kultural lain, itu yang kemudian akan digunakan untuk mengakumulasi modal ekonomi (Webb, Schirato, & Danaher, 2002).

Jalan Intelektual Kolektif
Uraian tentang ranah pendidikan yang berperan dalam melanggengkan ketidaksetaraan sosial dan mereproduksi hubungan sosial yang ekspliotatif tidak dimaksudkan untuk memberi penjelasan kenapa mahasiswa sekarang banyak yang apolitis – walaupun upaya pemberian penjelasan itu sangat mungkin. Uraian tersebut lebih dimaksudkan untuk memperluas cakrawala mahasiswa (yang oleh YM dianggap) apolitis itu tentang makna perjuangan politis yang mungkin dilakukan oleh (gerakan) mahasiswa. Menyempitkan sasaran dan target intervensi politis (gerakan) mahasiswa hanya pada, meminjam Althusser, ranah aparat represif negara saja justru jangan-jangan merupakan sebentuk “salah-kenal” terhadap keseluruhan bangunan sosial masyarakat kapitalis. Reformasi 1998 bisa kita jadikan pelajaran berharga. 

Lengsernya Soeharto dan bergeraknya ruang politik ke pendulum demokrasi apakah merupakan indikasi terjadinya perubahan mendasar di ranah ekonomi? Robison dan Hadiz (Robison & Hadiz, 2004) menyatakan bahwa yang terjadi sebenarnya adalah konsolidasi-ulang kaum kapitalis.

Saya tidak sedang meromantisasi peran mahasiswa sebagai subyek utama perubahan sosial sehingga kemungkinan salah arah reformasi 1998 itu mesti dibebankan ke pundak mereka. Yang ingin saya tekankan justru mahasiswa yang menjadi bagian dari agen penting aparat ideologis negara, yaitu ranah pendidikan, harus sadar akan posisinya yang bersifat paradoks itu: di satu sisi mereka dapat ikut mendorong perubahan sosial, tetapi di sisi lain berpotensi menjadi bagian dari status quo. 

Sebagai intelektual, sebenarnya mahasiswa memiliki modal yang cukup untuk digunakan dalam keterlibatannya dalam politik dan ikut mengubah tatanan sosial yang tak setara, yaitu otoritas keilmuannya. Mengacu pada pendapat  Bourdieu, seorang intelektual dapat mengklaim keterlibatannya di arena politik jika dia terlebih dahulu diakui kompetensinya di arena akademis. Pengakuan akan kompetensi itu penting karena dia merupakan modal kultural yang selanjutnya dapat dikonversi menjadi aksi politis  (Mutahir, 2011).

 Agar dapat mengembangkan kompetensi keilmuannya dengan baik, arena intelektual harus otonom dari kekuasaan tertentu, terutama ekonomi dan politik. Ancaman dari arena ekonomi dapat membuat penelitian atau pendidikan secara umum dijalankan demi tujuan bisnis yang pada ujungnya hanya menguntungkan kelas dominan. Ancaman dari arena politik (baik pemerintah maupun partai politik) dapat membuat intelektual hanya menjadi pemberi legitimasi ilmiah atas kebijakan yang dibuat politisi sekaligus buta terhadap ketimpangan yang dihasilkannya. 

Dalam konteks gerakan mahasiswa, upaya untuk terlibat dalam perjuangan politik hanya mungkin jika dia terlebih dahulu memiliki kompetensi yang diakui di arena inteleltual. Agar dapat mengembangkan otoritasnya di bidang keilmuan, dia harus menjaga agar dirinya bebas dari ancaman ekonomi maupun politik. Di titik inilah, upaya untuk terus-menerus menjaga otonomi arena intelektual gerakan mahasiswa menjadi prasyarat penting agar keterlibatannya di arena politik menjadi lebih signifikan.
Untuk mengembalikan otonomi intelektual yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik sebagai fondasi utamanya (Mutahir, 2011: 143-144)

Gerakan mahasiswa dapat mengambil inspirasi dari gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif ini. Semangat tentang pentingnya kemandirian intelektual, keterlibatan politik, dan penggabungan intelektual dari beragam bidang ilmu dapat direplikasi ke tubuh gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa yang anggotanya terdiri dari mahasiswa dengan latar belakang bidang ilmu dapat membumikan gagasan Bourdieu itu dalam skala yang lebih kecil.

Agar dapat mengadopsi gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif, gerakan mahasiswa harus mengakumulasi modal kultural dengan cara mengembangkan kompetensi yang dimiliki anggotanya yang berasal dari beragam bidang ilmu tersebut. Pengembangan kompetensi itu tidak melulu hanya berkisar di ruang-ruang perkuliahan, tetapi juga melalui forum-forum diskusi dan penerbitan tulisan-tulisan yang sedapat mungkin merupakan kajian ilmiah. 

Yang diutamakan di sini adalah bukan popularitas di ruang media massa, tetapi kualitas kajian yang diakui oleh komunitas akademis. Pada saat yang sama, gerakan mahasiswa juga harus menghindari godaan maupun ancaman dari arena ekonomi maupun politik yang dapat meruntuhkan otonomi intelektual mereka. Keterlibatan aksi politis itu mengambil bentuk beragam, mulai dari kajian ilmiah, seminar, demonstrasi sampai menggalang petisi.  
               
Penutup
Pelajaran baru apa yang bisa diambil KAMMI dengan mengadopsi gagasan Bourdieu tentang intelektual kolektif? Dari Althusser dan Bourdieu kita belajar bahwa dominasi kelas berkuasa dan pelanggengan ketidaksetaraan dapat terjadi melalui lembaga pendidikan. Arena pendidikan pada dasarnya merupakan arena yang diperebutkan oleh kelas yang berkuasa dan yang dikuasai. KAMMI harus segera meninggalkan sudut pandang yang sempit dalam memahami aksi politis seolah-olah pertarungan politik hanya berada di ruang politik formal. 

Untuk menyegarkan gerakannya dan memperluas cakrawala tindakan politisnya, KAMMI dapat mengadopsi semangat gerakan intelektual kolektif yang digagas Bourdieu. Pengadopsian itu menjadi alternatif yang layak dipikirkan untuk mengembalikan wibawa KAMMI sebagai gerakan intelektual. 

Agar gagasan itu dapat dibumikan dalam kerangka gerakan yang praksis, KAMMI harus meneguhkan otonomi arena intelektualnya dari ancaman kekuatan ekonomi dan politik serta memperkuat basis kompetensi keilmuan para anggotanya. Hal ini dapat memecah kebuntuan perihal masalah relasi KAMMI dengan partai politik karena konsentrasi gerakan akan dialihkan ke penguatan otonomi arena inteleltual kader-kader KAMMI, dan penguatan otonomi itu sendiri berarti upaya terus-menerus mereduksi “godaan” yang datang dari kekuatan ekonomi dan politik. []    

Daftar Pustaka
Althusser, L. (1971). Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
Ferretter, L. (2006). Louis Althusser. London: Routledge.
Forgacs, D. (2000). The Gramsci Reader, Selected Writings 1916-1935. New York: New York University Press.
Mutahir, A. (2011). Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu, Sebuah gerakan untuk melawan dominasi. Bantul: Kreasi Wacana.
Robison, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganizing Power in Indonesia, The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge.
Webb, J., Schirato, T., & Danaher, G. (2002). Understanding Bourdieu. New South Wales: Allen and Unwin.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar