Bagian Keempat dari Empat Tulisan
Relasi
KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.
Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup,
problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan
aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus
independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga
Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai
retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak,
intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru
menyiratkan hal yang sebaliknya.
“Dobby si-Peri-Rumah”
Bagi
yang pernah membaca serial Harry Potter pasti akan bertemu dengan figur
makhluk aneh bernama ‘peri-rumah’ (house-elves). Peri-rumah adalah
makhluk yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani penyihir. Ia tinggal
di rumah-rumah para bangsawan penyihir, dan hidup sebagai pelayan dalam
keluarga mereka. Para penyihir ‘darah-murni’ biasanya memiliki
peri-rumah. Hukum tertinggi mereka adalah ‘ketundukan terhadap para
majikan’ dan ‘hasrat’ mereka adalah menyenangkan dan melayani dengan
sepenuh hati para majikannya.
Peri-rumah menjadi metafor yang
sangat baik untuk menggambarkan KAMMI. Jelas, peri-rumah adalah subjek
–ia adalah ‘sesuatu’/makhluk. Namun, hasratnya diinterpelasi sedemikian
rupa hingga hasratnya adalah bekerja memberikan pelayanan kepada
tuannya. KAMMI juga demikian. Ia telah mengalami proses subjektivikasi
secara historis yang membuatnya menjadi ‘sesuatu’. Ini yang
membedakannya, misalnya, dari Gema Keadilan atau sayap-sayap pemuda yang
memang dibentuk secara spesifik oleh partai. Namun, sama halnya dengan
peri-rumah, hasratnya diinterpelasi sedemikian rupa dalam diskursus
“Sang-Pekerja” yang dibuat sebagai jalan untuk menuju diskursus
“Sang-Penikmat” –dari PKS.
Hampir semua peri-rumah secara patuh
mendedikasikan diri pada pelayanan terhadap tuannya. Ia baru bisa bebas
jika ia mendapatkan ‘pakaian’ dari tuannya. Namun, anehnya, berbeda
dengan manusia, peri-rumah justru tidak ingin diberi pakaian
–mendapatkan ‘pakaian’ bagi mereka adalah bentuk kastrasi/pemisahan.
Jadi, dalam posisi subjektif seorang peri-rumah, Mereka tidak menolak
kondisi ini. dan bahkan mengabdikan seluruh hidupnya dengan senang hati
untuk satu majikan –kecuali satu: Dobby. Karakter yang muncul dalam buku
Harry Potter 2 ini, hingga saat ia meninggal dunia, menyatakan bahwa
dirinya adalah a free elf –peri yang bebas.
Tetapi, yang
jadi pertanyaan, mungkinkah peri-rumah membebaskan diri dari majikannya?
Kita bisa berkaca dari cerita Dobby –dan mungkin membandingkan dengan
peri-rumah yang lain untuk melihat hal ini. Dobby, sebagai ‘subjek’
peri-rumah, menyadari bahwa posisi subjektifnya direpresi oleh
sang-tuan. Yang ia lakukan adalah mengenali hasrat-hasratnya yang
terkesampingkan oleh ‘tuan’-nya. Ia melihat, misalnya, bahwa cara dia
untuk membebaskan dirinya dari penindasan oleh tuannya bukanlah dengan
cara membebaskan diri, melainkan mencari sumber hasrat yang
merepresinya. Ia melihat sumber hasrat tersebut bukan pada praktik
penindasannya oleh tuannya, melainkan pada relasi kekuasaan antara
tuannya dengan Lord Voldemort –‘Sang-Penindas’.
Dengan demikian,
Dobby mengenali symptom-nya, gejala-gejala yang menandakan ada ‘masalah’
pada yang real. Dengan mengenali symptom-nya ia bergerak ke arah sumber
hasrat yang menyangga symptom itu: dirinya sendiri Ia mengakui bahwa
dirinya adalah peri-rumah, subjek yang tidak-lengkap, dan dengan
demikian melakukan pencarian untuk melengkapi ‘ketidaklengkapan’ itu. Ia
kemudian melakukan penyingkapan hasrat-hasartnya, melalui cermin. Ia
harus bercermin agar ia tahu siapa ‘diri’-nya. Ia mencari cermin
sendiri, yang berarti ia menempatkan penanda-utama baru, membangkitkan
sumber-sumber hasrat yang terpendam karena direpresi oleh majikannya.
Persoalannya
adalah bagaimana ia bisa keluar dari ‘cengkeraman’ penanda-utama yang
lama –perbudakan peri-rumah. Yang Dobby lakukan adalah pergi ke sumber
symptom dan menciptakan antagonisme pada sumber symptom itu. Hal ini ia
manifestasikan dengan membantu perjuangan Harry Potter. Hal tersebut
–tidak dijelaskan oleh si pengarang— tidak akan bisa dilakukan tanpa
upaya untuk mengenali subjektivitas dari peri-rumah. Dengan menciptakan
antagonisme inilah, kemudian, ia dibebaskan, dan pada akhirnya, ia
menjadi subjek peri-rumah yang bebas.
Cerita di atas memang hanya
rekaan, alias tidak nyata. Tetapi, kita bisa sama-sama mengambil
faedahnya di sini. Inilah yang disebut oleh Lacan –sebagaimana dikupas
oleh Bracher (2005)— sebagai diskursus Sang-Penganalisis. Jika ingin
membebaskan diri dari diskursus Sang-Penguasa, yang dilakukan bukanlah
menantang penanda-utama yang dibentuk oleh Sang-Penguasa, melainkan,
membentuk penanda-utama baru yang bisa membangkitkan hasrat-hasrat yang
selama ini dipendam/direpresi oleh penanda-utama. Artinya, proyek
emansipasi dimulai dari pengenalan-ulang atas subjek diri-kita (Zizek,
1989). Mengenal subjek, kata Zizek, dilakukan dengan mengetahui
fantasi-fantasi ideologis yang mengerangkeng kesadaran manusia dan
melakukan identifikasi-ulang sebagaimana diproseskan oleh Lacan dalam
konsep Oedipus Complex-nya.
Begitu juga KAMMI. Selama ini,
hasrat-hasrat yang membentuk kesadaran KAMMI diinterpelasi oleh subjek
yang-lain, yang membuatnya menjadi semacam peri-rumah bagi subjek
tersebut. Hal ini termanifestasikan dalam praktik-praktik diskursif yang
mewarnai KAMMI selama 15 tahun. Tentu saja, bukannya tidak ada
resistensi. Tetapi, seperti kata Polimpung (2008), resistensi itu tidak
efektif karena ia tidak bekerja pada sumber represi itu. Maka dari itu,
perlu dilihat bagaimana cara-cara untuk membebaskan diri dari represi
PKS tersebut.
Kita bisa analisis beberapa gerakan yang bertujuan
untuk resisten terhadap hegemonisasi yang selama ini terjadi. Kita bisa
lihat, misalnya, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
dapat restu Jamaah untuk dapat duduk di kursi kepemimpinan (seperti,
misalnya, yang dilakukan oleh Amang cs ketika Muktamar 2008 atau
maneuver faksi-faksi elit yang tidak setuju dengan kepemimpinan pusat).
Yang mereka lakukan adalah bertarung di Muktamar dengan segala macam
intrik politisnya dan merebut kursi Ketua Umum KAMMI Pusat. Hal ini,
jika meminjam Lacan, pada dasarnya justru mengembalikan diskursus
sang-Penguasa yang dijalankan oleh Jamaah, dan pada gilirannya justru
tidak mengubah logika patron-klien yang ada. Akibatnya, fantasi-fantasi
yang mereka berikan pada dasarnya justru tidak berbeda dengan fantasi
yang ada terdahulu. Ini memberikan konsekuensi pada penciptaan konflik
yang malah berujung pada represi tersendiri karena Sang-Ayah masih
sangat superior (lihat tragedy Muktamar Luar Biasa KAMMI tahun 2009).
Gerakan
berbeda digelorakan oleh Daulat KAMMI. Namun, gerakan Daulat –yang
menginginkan adanya independensi— juga tidak masuk pada sumber
symptom-nya; mereka terjebak pada logika pertarungan vis-à-vis, yang
pada nantinya justru melahirkan bunuh diri kultural karena terlalu lelah
menantang penanda utama yang dikonstruksi oleh ‘Sang-Ayah’. Akibatnya,
gerakan ini terjebak pada sebuah permainan praksis yang ujung-ujungnya
stagnan dan mengembalikan diskursus Sang-Penguasa pada artikulasinya.
Sementara
itu, pada tahun 2013, muncul embrio gerakan baru; Gerakan Kultural.
Gerakan ini lahir dari Sarasehan di Yogyakarta dan segera menyebar-luas
ke kota-kota lain, di antaranya Surabaya, Malang, Jakarta, bahkan luar
daerah. Ciri khas Gerakan Kultural ini menarik: ia tidak terjebak pada
pertarungan politik, melainkan secara kreatif membangun model-model
gerakan baru yang berbasis pada pengetahuan, kebudayaan, maupun
diskusi-diskusi berbasis media sosial. Gerakan ini, secara teoretis,
sebenarnya sudah lebih maju dari Daulat: ia keluar dari penanda-utama
yang dikonstruksi oleh Jamaah PKS –bahwa dakwah berarti berpolitik— dan
mencoba untuk membangkitkan penanda-penanda utama yang baru yang
berbeda, sehingga bisa membangkitkan hasrat-hasrat yang selama ini
terpendam.
Gerakan Kultural ini sebetulnya bisa menjadi semacam
alternatif untuk memecahkan kebuntuan perdebatan soal independensi KAMMI
yang selama ini menghantui gerakan. Tantangan gerakan ini adalah pada
konsistensi yang diberikan. Artinya, gerakan ini seharusnya memang tidak
diciptakan untuk menjadi semacam gerakan politik seperti yang
sudah-sudah, melainkan gerakan yang diorganisir untuk membebaskan
kader-kadernya dari interpelasi hasrat yang membelenggu.
Seperti
kata Zizek, yang penting adalah “kerja, kerja, kerja!” tentu saja kerja
di sini adalah kerja yang emansipatoris, yang menghargai KAMMI sebagai
subjek sendiri, dan tidak menjadikan KAMMI sebagai proxy dari
partai/kekuatan lain. Gerakan kultural bukanlah gerakan politik yang
bersifat euforia, ia adalah gerakan pengetahuan yang konsisten
memberikan alternatif penanda-utama yang baru bagi KAMMI. Tentu, dengan
segala suka-duka-cita yang dialami, dengan resiko bergesekan sedikit
dengan orang-orang tertentu.
Yang terpenting dari gerakan
"Kultural" bukanlah bentuk gerakannya; ia bisa saja berubah wujud
menjadi yang-lain, atau pada satu titik bisa jadi "Kultural" sendiri
mengalami kemandegan. Tapi ada semangat yang mestinya dibawa:
kader-kader KAMMI bukanlah kader yang diinterpelasi hasratnya! Jika
kader KAMMI ingin mengaksentuasikan dan mengartikulasikan gerakannya,
itu adalah karena ia mengaksentuasikan fantasi yang ia buat sendiri di
PKS. Pun begitu pula jika ada kader yang berbeda.
Inilah yang
kemudian dilakukan oleh Dobby. Ia kemudian tetap bekerja –sebagai
peri-rumah ia tidak bisa melepaskan diri dari hasrat utamanya— namun ia
bekerja tanpa harus terikat pada majikan tertentu. Ia bekerja di
Hogwarts dan mau mematuhi perintah murid-murid yang ia sukai dan ia
hormati. Kita dapat mengambil faedah di sini. Gerakan Kultural bukanlah
gerakan yang lepas dari 'niat awal'-nya. Tentu saja, Gerakan Kultural
yang ada di KAMMI tidak bisa lepas dari KAMMI –ia tetap gerakan
‘dakwah’. Tetapi, ia memberikan cara-pandang baru KAMMI sebagai ‘aku’
–bukan ‘aku’ yang diinginkan oleh PKS, tetapi ‘aku’ yang subjektif.
‘aku’ adalah ‘aku’, bukan yang lain!
Maka dari itu, terlepas dari
format-format gerakan yang ada, kita dapat memahami bahwa independensi
bukanlah sekadar pilihan yang diambil. Ia adalah, meminjam Lacan, sebuah
proses oedipal yang mengantarkan subjek KAMMI sebagai 'aku' menjadi
dirinya yang sesungguhnya. Maka dari itu, independensi adalah proses! Ia
adalah proses KAMMI menuju kedewasaan. Jika dalam titik tertentu KAMMI
tidak bisa independen, dalam arti hasratnya terus-menerus diinterpelasi
oleh sang-ayah, maka mungkin kita bisa mencurigainya sebagai symptom; gejala yang menunjukkan gangguan kejiwaan.
Maka
dari itu, jika kita memahami independensi sebagai sebuah proses, maka
kita akan memahami bahwa 'menjadi mahasiswa' itu berarti mengenali siapa
'aku' mahasiswa itu. Artinya, 'menjadi gerakan mahasiswa' mesti: Pertama, mendefinisikan siapa The Big Other yang dijadikan cermin. Kedua, mengenali
penanda-utama yang menjangkarkan 'bahasa' simbolik untuk menerjemahkan
realitas. Jika KAMMI ingin menjadi benar-benar dirinya sendiri, ia harus
mengenal dirinya sendiri, dengan mengenali siapa lawannya, siapa
kawannya, dan bahasa apa yang akan ia gunakan untuk membedakan kawan dan
lawan, serta memosisikan dirinya.
Jika hal-hal itu bisa
diterjemahkan, paling tidak di Muktamar yang akan digelar akhir bulan
ini di Ciputat, KAMMI akan bisa 'mengenali dirinya'. Dan artinya, siap
untuk menjadi sebuah entitas yang benar-benar dewasa seutuhnya, menjadi
GERAKAN MAHASISWA seutuhnya.
Kenali-Diri-KAMMI!
“Kenali-hasratmu!”
imperatif Lacanian ini saya gunakan untuk mengakhiri pemaparan mengenai
relasi KAMMI dan PKS. Tulisan ini memulai dari proses ‘identifikasi’
diri KAMMI di awal pendiriannya –sebagai bagian besar dari Jamaah
Tarbiyah yang mengaksentuasikan dakwah. Menggunakan kompleks Oedipus
yang diajukan Lacan, tulisan ini berargumen bahwa citra ‘KAMMI adalah
PKS’ sejatinya adalah citra yang diberikan oleh PKS melalui interpelasi
hasrat. Kepentingannya adalah untuk mengenalkan si-anak pada kebudayaan
dan menjadikan si-anak sebagai alat untuk meraih hasratnya. Ia
menjadikan KAMMI sebagai objek yang dimiliki, dihasrati, yang
menyiratkan hasrat anaklitik tersendiri. Hal tersebut dilakukan melalui
interpelasi hasrat.
Namun, proses interpelasi hasrat tersebut
melahirkan celah –adanya resistensi. Tulisan ini menawarkan ‘gerakan
kultural’ sebagai sebuah proses yang bisa menjadi alternatif untuk
mengobati patologi kejiwaan KAMMI ini –bahwa ada hasrat lain yang harus
dibangkitkan, ada penanda-utama baru yang harus dikonstruksi untuk
menggantikan penanda-utama lama yang bersifat represif.
Tentu
saja, hal ini berarti diskursus tentang ‘independensi’ KAMMI selayaknya
dilampaui. Independensi bukan sesuatu yang harus dicapai dengan
perjuangan politik an sich. Independensi, sejatinya, adalah proses
subjektif KAMMI untuk mengenal siapa-dirinya, apa-yang-harus-ia-lakulan,
dan untuk-apa-ia-dilahirkan. Dengan demikian, kita memaknai
independensi sebagai sebuah proses –independensi adalah bagaimana KAMMI
memaknai dirinya sendiri, dan sebagai konsekuensinya, memahami bahwa ia
adalah ‘sesuatu’ yang berbeda dengan PKS.
Mungkin jika ditelaah
benar-benar, diskusi sederhana ini bisa memberikan jawaban yang lebih
konklusif mengenai relasi KAMMI dan PKS –atau mengapa Dobby bisa menjadi
peri-rumah yang bebas. Atau, diharap begitu. ***
habis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar