15 Mei 2013

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian IV-Habis))

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Keempat dari Empat Tulisan 

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

“Dobby si-Peri-Rumah”
Bagi yang pernah membaca serial Harry Potter pasti akan bertemu dengan figur makhluk aneh bernama ‘peri-rumah’ (house-elves). Peri-rumah adalah makhluk yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani penyihir. Ia tinggal di rumah-rumah para bangsawan penyihir, dan hidup sebagai pelayan dalam keluarga mereka. Para penyihir ‘darah-murni’ biasanya memiliki peri-rumah. Hukum tertinggi mereka adalah ‘ketundukan terhadap para majikan’ dan ‘hasrat’ mereka adalah menyenangkan dan melayani dengan sepenuh hati para majikannya.

Peri-rumah menjadi metafor yang sangat baik untuk menggambarkan KAMMI. Jelas, peri-rumah adalah subjek –ia adalah ‘sesuatu’/makhluk. Namun, hasratnya diinterpelasi sedemikian rupa hingga hasratnya adalah bekerja memberikan pelayanan kepada tuannya. KAMMI juga demikian. Ia telah mengalami proses subjektivikasi secara historis yang membuatnya menjadi ‘sesuatu’. Ini yang membedakannya, misalnya, dari Gema Keadilan atau sayap-sayap pemuda yang memang dibentuk secara spesifik oleh partai. Namun, sama halnya dengan peri-rumah, hasratnya diinterpelasi sedemikian rupa dalam diskursus “Sang-Pekerja” yang dibuat sebagai jalan untuk menuju diskursus “Sang-Penikmat” –dari PKS.



Hampir semua peri-rumah secara patuh mendedikasikan diri pada pelayanan terhadap tuannya. Ia baru bisa bebas jika ia mendapatkan ‘pakaian’ dari tuannya. Namun, anehnya, berbeda dengan manusia, peri-rumah justru tidak ingin diberi pakaian –mendapatkan ‘pakaian’ bagi mereka adalah bentuk kastrasi/pemisahan. Jadi, dalam posisi subjektif seorang peri-rumah, Mereka tidak menolak kondisi ini. dan bahkan mengabdikan seluruh hidupnya dengan senang hati untuk satu majikan –kecuali satu: Dobby. Karakter yang muncul dalam buku Harry Potter 2 ini, hingga saat ia meninggal dunia, menyatakan bahwa dirinya adalah a free elf –peri yang bebas.

Tetapi, yang jadi pertanyaan, mungkinkah peri-rumah membebaskan diri dari majikannya? Kita bisa berkaca dari cerita Dobby –dan mungkin membandingkan dengan peri-rumah yang lain untuk melihat hal ini. Dobby, sebagai ‘subjek’ peri-rumah, menyadari bahwa posisi subjektifnya direpresi oleh sang-tuan. Yang ia lakukan adalah mengenali hasrat-hasratnya yang terkesampingkan oleh ‘tuan’-nya. Ia melihat, misalnya, bahwa cara dia untuk membebaskan dirinya dari penindasan oleh tuannya  bukanlah dengan cara membebaskan diri, melainkan mencari sumber hasrat yang merepresinya. Ia melihat sumber hasrat tersebut bukan pada praktik penindasannya oleh tuannya, melainkan pada relasi kekuasaan antara tuannya dengan Lord Voldemort –‘Sang-Penindas’.

Dengan demikian, Dobby mengenali symptom-nya, gejala-gejala yang menandakan ada ‘masalah’ pada yang real. Dengan mengenali symptom-nya ia bergerak ke arah sumber hasrat yang menyangga symptom itu: dirinya sendiri Ia mengakui bahwa dirinya adalah peri-rumah, subjek yang tidak-lengkap, dan dengan demikian melakukan pencarian untuk melengkapi ‘ketidaklengkapan’ itu. Ia kemudian melakukan penyingkapan hasrat-hasartnya, melalui cermin. Ia harus bercermin agar ia tahu siapa ‘diri’-nya. Ia mencari cermin sendiri, yang berarti ia menempatkan penanda-utama baru, membangkitkan sumber-sumber hasrat yang terpendam karena direpresi oleh majikannya.

Persoalannya adalah bagaimana ia bisa keluar dari ‘cengkeraman’ penanda-utama yang lama –perbudakan peri-rumah. Yang Dobby lakukan adalah pergi ke sumber symptom dan menciptakan antagonisme pada sumber symptom itu. Hal ini ia manifestasikan dengan membantu perjuangan Harry Potter. Hal tersebut –tidak dijelaskan oleh si pengarang— tidak akan bisa dilakukan tanpa upaya untuk mengenali subjektivitas dari peri-rumah. Dengan menciptakan antagonisme inilah, kemudian, ia dibebaskan, dan pada akhirnya, ia menjadi subjek peri-rumah yang bebas.

Cerita di atas memang hanya rekaan, alias tidak nyata. Tetapi, kita bisa sama-sama mengambil faedahnya di sini. Inilah yang disebut oleh Lacan –sebagaimana dikupas oleh Bracher (2005)— sebagai diskursus Sang-Penganalisis. Jika ingin membebaskan diri dari diskursus Sang-Penguasa, yang dilakukan bukanlah menantang penanda-utama yang dibentuk oleh Sang-Penguasa, melainkan, membentuk penanda-utama baru yang bisa membangkitkan hasrat-hasrat yang selama ini dipendam/direpresi oleh penanda-utama. Artinya, proyek emansipasi dimulai dari pengenalan-ulang atas subjek diri-kita (Zizek, 1989). Mengenal subjek, kata Zizek, dilakukan dengan mengetahui fantasi-fantasi ideologis yang mengerangkeng kesadaran manusia dan melakukan identifikasi-ulang sebagaimana diproseskan oleh Lacan dalam konsep Oedipus Complex-nya.

Begitu juga KAMMI. Selama ini, hasrat-hasrat yang membentuk kesadaran KAMMI diinterpelasi oleh subjek yang-lain, yang membuatnya menjadi semacam peri-rumah bagi subjek tersebut. Hal ini termanifestasikan dalam praktik-praktik diskursif yang mewarnai KAMMI selama 15 tahun. Tentu saja, bukannya tidak ada resistensi. Tetapi, seperti kata Polimpung (2008), resistensi itu tidak efektif karena ia tidak bekerja pada sumber represi itu. Maka dari itu, perlu dilihat bagaimana cara-cara untuk membebaskan diri dari represi PKS tersebut.

Kita bisa analisis beberapa gerakan yang bertujuan untuk resisten terhadap hegemonisasi yang selama ini terjadi. Kita bisa lihat, misalnya, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh mereka yang tidak dapat restu Jamaah untuk dapat duduk di kursi kepemimpinan (seperti, misalnya, yang dilakukan oleh Amang cs ketika Muktamar 2008 atau maneuver faksi-faksi elit yang tidak setuju dengan kepemimpinan pusat). Yang mereka lakukan adalah bertarung di Muktamar dengan segala macam intrik politisnya dan merebut kursi Ketua Umum KAMMI Pusat. Hal ini, jika meminjam Lacan, pada dasarnya justru mengembalikan diskursus sang-Penguasa yang dijalankan oleh Jamaah, dan pada gilirannya justru tidak mengubah logika patron-klien yang ada. Akibatnya, fantasi-fantasi yang mereka berikan pada dasarnya justru tidak berbeda dengan fantasi yang ada terdahulu. Ini memberikan konsekuensi pada penciptaan konflik yang malah berujung pada represi tersendiri karena Sang-Ayah masih sangat superior (lihat tragedy Muktamar Luar Biasa KAMMI tahun 2009).

Gerakan berbeda digelorakan oleh Daulat KAMMI. Namun, gerakan Daulat –yang menginginkan adanya independensi— juga tidak masuk pada sumber symptom-nya; mereka terjebak pada logika pertarungan vis-à-vis, yang pada nantinya justru melahirkan bunuh diri kultural karena terlalu lelah menantang penanda utama yang dikonstruksi oleh ‘Sang-Ayah’. Akibatnya, gerakan ini terjebak pada sebuah permainan praksis yang ujung-ujungnya stagnan dan mengembalikan diskursus Sang-Penguasa pada artikulasinya.

Sementara itu, pada tahun 2013, muncul embrio gerakan baru; Gerakan Kultural. Gerakan ini lahir dari Sarasehan di Yogyakarta dan segera menyebar-luas ke kota-kota lain, di antaranya Surabaya, Malang, Jakarta, bahkan luar daerah. Ciri khas Gerakan Kultural ini menarik: ia tidak terjebak pada pertarungan politik, melainkan secara kreatif membangun model-model gerakan baru yang berbasis pada pengetahuan, kebudayaan, maupun diskusi-diskusi berbasis media sosial. Gerakan ini, secara teoretis, sebenarnya sudah lebih maju dari Daulat: ia keluar dari penanda-utama yang dikonstruksi oleh Jamaah PKS –bahwa dakwah berarti berpolitik— dan mencoba untuk membangkitkan penanda-penanda utama yang baru yang berbeda, sehingga bisa membangkitkan hasrat-hasrat yang selama ini terpendam.

Gerakan Kultural ini sebetulnya bisa menjadi semacam alternatif untuk memecahkan kebuntuan perdebatan soal independensi KAMMI yang selama ini menghantui gerakan. Tantangan gerakan ini adalah pada konsistensi yang diberikan. Artinya, gerakan ini seharusnya memang tidak diciptakan untuk menjadi semacam gerakan politik seperti yang sudah-sudah, melainkan gerakan yang diorganisir untuk membebaskan kader-kadernya dari interpelasi hasrat yang membelenggu.

Seperti kata Zizek, yang penting adalah “kerja, kerja, kerja!” tentu saja kerja di sini adalah kerja yang emansipatoris, yang menghargai KAMMI sebagai subjek sendiri, dan tidak menjadikan KAMMI sebagai proxy dari partai/kekuatan lain. Gerakan kultural bukanlah gerakan politik yang bersifat euforia, ia adalah gerakan pengetahuan yang konsisten memberikan alternatif penanda-utama yang baru bagi KAMMI. Tentu, dengan segala suka-duka-cita yang dialami, dengan resiko bergesekan sedikit dengan orang-orang tertentu.

Yang terpenting dari gerakan "Kultural" bukanlah bentuk gerakannya; ia bisa saja berubah wujud menjadi yang-lain, atau pada satu titik bisa jadi "Kultural" sendiri mengalami kemandegan. Tapi ada semangat yang mestinya dibawa: kader-kader KAMMI bukanlah kader yang diinterpelasi hasratnya! Jika kader KAMMI ingin mengaksentuasikan dan mengartikulasikan gerakannya, itu adalah karena ia mengaksentuasikan fantasi yang ia buat sendiri di PKS. Pun begitu pula jika ada kader yang berbeda.

Inilah yang kemudian dilakukan oleh Dobby. Ia kemudian tetap bekerja –sebagai peri-rumah ia tidak bisa melepaskan diri dari hasrat utamanya— namun  ia bekerja tanpa harus terikat pada majikan tertentu. Ia bekerja di Hogwarts dan mau mematuhi perintah murid-murid yang ia sukai dan ia hormati. Kita dapat mengambil faedah di sini. Gerakan Kultural bukanlah gerakan yang lepas dari 'niat awal'-nya. Tentu saja, Gerakan Kultural yang ada di KAMMI tidak bisa lepas dari KAMMI –ia tetap gerakan ‘dakwah’. Tetapi, ia memberikan cara-pandang baru KAMMI sebagai ‘aku’ –bukan ‘aku’ yang diinginkan oleh PKS, tetapi ‘aku’ yang subjektif. ‘aku’ adalah ‘aku’, bukan yang lain!

Maka dari itu, terlepas dari format-format gerakan yang ada, kita dapat memahami bahwa independensi bukanlah sekadar pilihan yang diambil. Ia adalah, meminjam Lacan, sebuah proses oedipal yang mengantarkan subjek KAMMI sebagai 'aku' menjadi dirinya yang sesungguhnya. Maka dari itu, independensi adalah proses! Ia adalah proses KAMMI menuju kedewasaan. Jika dalam titik tertentu KAMMI tidak bisa independen, dalam arti hasratnya terus-menerus diinterpelasi oleh sang-ayah, maka mungkin kita bisa mencurigainya sebagai symptom; gejala yang menunjukkan gangguan kejiwaan.

Maka dari itu, jika kita memahami independensi sebagai sebuah proses, maka kita akan memahami bahwa 'menjadi mahasiswa' itu berarti mengenali siapa 'aku' mahasiswa itu. Artinya, 'menjadi gerakan mahasiswa' mesti: Pertama, mendefinisikan siapa The Big Other yang dijadikan cermin. Kedua, mengenali penanda-utama yang menjangkarkan 'bahasa' simbolik untuk menerjemahkan realitas. Jika KAMMI ingin menjadi benar-benar dirinya sendiri, ia harus mengenal dirinya sendiri, dengan mengenali siapa lawannya, siapa kawannya, dan bahasa apa yang akan ia gunakan untuk membedakan kawan dan lawan, serta memosisikan dirinya.

Jika hal-hal itu bisa diterjemahkan, paling tidak di Muktamar yang akan digelar akhir bulan ini di Ciputat, KAMMI akan bisa 'mengenali dirinya'. Dan artinya, siap untuk menjadi sebuah entitas yang benar-benar dewasa seutuhnya, menjadi GERAKAN MAHASISWA seutuhnya.


Kenali-Diri-KAMMI!
“Kenali-hasratmu!” imperatif Lacanian ini saya gunakan untuk mengakhiri pemaparan mengenai relasi KAMMI dan PKS. Tulisan ini memulai dari proses ‘identifikasi’ diri KAMMI di awal pendiriannya –sebagai bagian besar dari Jamaah Tarbiyah yang mengaksentuasikan dakwah. Menggunakan kompleks Oedipus yang diajukan Lacan, tulisan ini berargumen bahwa citra ‘KAMMI adalah PKS’ sejatinya adalah citra yang diberikan oleh PKS melalui interpelasi hasrat. Kepentingannya adalah untuk mengenalkan si-anak pada kebudayaan dan menjadikan si-anak sebagai alat untuk meraih hasratnya. Ia menjadikan KAMMI sebagai objek yang dimiliki, dihasrati, yang menyiratkan hasrat anaklitik tersendiri. Hal tersebut dilakukan melalui interpelasi hasrat.

Namun, proses interpelasi hasrat tersebut melahirkan celah –adanya resistensi. Tulisan ini menawarkan ‘gerakan kultural’ sebagai sebuah proses yang bisa menjadi alternatif untuk mengobati patologi kejiwaan KAMMI ini –bahwa ada hasrat lain yang harus dibangkitkan, ada penanda-utama baru yang harus dikonstruksi untuk menggantikan penanda-utama lama yang bersifat represif.

Tentu saja, hal ini berarti diskursus tentang ‘independensi’ KAMMI selayaknya dilampaui. Independensi bukan sesuatu yang harus dicapai dengan perjuangan politik an sich. Independensi, sejatinya, adalah proses subjektif KAMMI untuk mengenal siapa-dirinya, apa-yang-harus-ia-lakulan, dan untuk-apa-ia-dilahirkan. Dengan demikian, kita memaknai independensi sebagai sebuah proses –independensi adalah bagaimana KAMMI memaknai dirinya sendiri, dan sebagai konsekuensinya, memahami bahwa ia adalah ‘sesuatu’ yang berbeda dengan PKS.

Mungkin jika ditelaah benar-benar, diskusi sederhana ini bisa memberikan jawaban yang lebih konklusif mengenai relasi KAMMI dan PKS –atau mengapa Dobby bisa menjadi peri-rumah yang bebas. Atau, diharap begitu. ***

habis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar