15 Mei 2013

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian III)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Ketiga dari Empat Tulisan

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

Diskursus “Sang Penikmat”
Lantas, bagaimana cara PKS membangkitkan hasrat KAMMI hingga ia memiliki kerinduan mendasar untuk mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan PKS? Subjek Lacanian, berbeda dengan Subjek Foucauldian, adalah subjek yang sepenuhnya sadar untuk menyerahkan dirinya pada Sang-Ayah. Oleh sebab itu, proses penundukan tidak dilakukan melalui suruhan atau koersi, melainkan melalui  hasrat. Proses interpelasi hasrat itulah yang akan kita bicarakan pada bagian ini.

Ada dua jenis hasrat: hasrat narsistik yang berbentuk aktif dan pasif, serta hasrat anaklitik yang juga berbentuk aktif dan pasif. ‘Hasrat narsistik’, sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah ‘hasrat untuk menjadi’ (wants-of-being). Hasrat untuk mendapat pengakuan atas diri dari The-Other. Hasrat narsistik aktif artinya ia berupaya untuk mengimitasi The-Other—menjadi Orang Lain. Sebagai contoh, KAMMI yang ingin menjadi Hassan Al-Banna atau Syabaab Ikhwan dan mengimitasinya. Sementara hasrat narsistik pasif artinya ia berupaya untuk mendapatkan cinta dari The-Other, semisal KAMMI yang ingin mendapatkan cinta/pengakuan diri dari PKS.

Adapun hasrat anaklitik adalah hasrat untuk memiliki. Hasrat ini, menurut Lacan, bisa terpuaskan. Hasrat anaklitik aktif, berarti subjek berhasrat untuk memiliki orang-lain sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan. Contohnya, KAMMI yang berhasrat untuk memiliki BEM di kampusnya –atau kursi Bupati di daerahnya— untuk memuaskan ‘hasrat’-nya. Sementara itu, hasrat anaklitik pasif berarti hasrat untuk dihasrati oleh orang-lain; yaitu ketika diri menjadi alat untuk memuaskan hasrat orang lain. Ini berhubungan dengan ‘hasrat anaklitik aktif’ orang lain, yang membuat KAMMI menjadi ‘objek’ dari orang-lain.

Interpelasi ‘hasrat’ terjadi ketika KAMMI ‘diajak’ untuk mengambil satu posisi/disposisi subjektif tertentu. Keempat jenis hasrat tersebut tentu saja tidak bisa dipuaskan pada saat yang bersamaan. Hasrat anaklitik aktif seseorang menjadikan orang lain sebagai objek. Artinya, ada semacam ‘pertarungan’ di sini; siapa yang lebih superior untuk menginterpelasi hasrat orang lain. Jika yang superior adalah subjek A, ia akan menjadikan B sebagai objek hasratnya. Juga sebaliknya, dan berlaku pula pada ‘nasrat harsistik’.

Relasi KAMMI dan PKS bisa dilihat pada relasi ini. Untuk membangkitkan ‘hasrat narsistik’ dan ‘hasrat anaklitik’ KAMMI, hasrat KAMMI harus terlebih dulu diinterpelasi. Ada tiga cara interpelasi tersebut –melalui penanda utama, citra, dan fantasi. Ketiga cara ini bisa dilihat operasinya dalam penciptaan diskursus tentang demokrasi: Diskursus Sang Penikmat dan Diskursus Sang Pekerja.

Pada tahun 2002, Anis Matta menulis buku yang berjudul “Menikmati Demokrasi”. Tulisan itu memang hanya kumpulan artikel-artikel lepas yang ditulisnya tentang politik, tetapi kita bisa mengambil sebuah posisi penting PKS di sini: apa yang dilakukannya setelah tahun 2004 adalah upaya untuk menikmati/menghasrati demokrasi. Di sini, PKS menjadikan aktivitas politiknya sebagai aktivitas pemenuhan hasrat dari apa yang ia sebut sebagai ‘demokrasi’. Dengan demikian, logika berpolitik dapat kita identifikasi sebagai logika jouissance, penikmatan, pemenuhan hasrat. Konteks ‘menikmati demokrasi’ akan kita jadikan latar belakang untuk membicarakan artikulasi PKS setelah tahun 2004.

Pada tahun 2004, PKS secara resmi memulai apa yang secara politis disebut sebagai koalisi—PKS bergabung dan mendapatkan posisi dalam pemerintahan. Posisi PKS sebagai bagian dari pemerintahan akan mengimplikasikannya untuk mengambil posisi subjektif berbeda. PKS tidak lagi menjadikan eksekutif –pemerintahan— sebagai ‘lawan’, melainkan ia sendiri berada pada posisi tersebut.

Bagi PKS, itu berarti ia harus mengubah posisi subjektifnya; pada titik inilah istilah ‘menikmati demokrasi’ kemudian dikumandangkan. Apa artinya menikmati demokrasi? Slavoj Zizek menggambarkan hal ini secara lebih konkret. Dalam First as Tragedy, Then as Farce, Zizek melihat kenikmatan itu inheren dengan proses konsumsi di era new spirit of capitalism, “kita membeli sebuah produk bukan karena kita memerlukannya, melainkan karena kita ingin membuat hidup kita lebih senang dan berarti. Anis Matta mengatakan, demokrasi adalah proses yang dinikmati oleh semua orang. Kapitalis menikmati demokrasi karena ia memberikan kesempatan pada orang-orang untuk membeli produk mereka. Begitu juga aktivis dakwah, ia menikmati demokrasi karena ia memberikan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi langsung dengan objek dakwah.

Jika kita ubah perkataan Anis Matta ini, kita akan menemukan bahwa, “untuk mengisi demokrasi, kita harus menikmatinya”. Ini setipe dengan kata-kata Zizek, kita membeli barang karena kita menikmatinya! Secara psikoanalitis, ini artinya, berpolitik berarti memenuhi hasrat kita untuk memiliki arena politik itu (“demokrasi”). Anis Matta menampilkan hasrat anaklitik aktif kepada proses demokrasi. Ia (dan juga PKS tentu saja) ingin demokrasi itu dimiliki, dihasrati, dan dijadikan alat pemuasan keinginan dakwah.

Tapi, kita belum sampai pada argumennya. Bagi Anis Matta, menikmati demokrasi itu ada harganya, karena baginya pelaku kemungkaran juga punya kesempatan yang sama; bisa jadi punya hasrat yang sama. Ini artinya, wacana demokrasi itu harus direbut! Nah, Anis Matta punya tiga argument di sini: Pertama, menangkanlah wacana publik agar opini publik berpihak kepada kita. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum untuk di menangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan legislasi ini menjadi legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya. Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan menerapkan hukum tersebut (Islamedia, 2012).

Jika kita lihat formula di atas, maka bisa kita lihat: bagi PKS, demokrasi adalah sesuatu yang dinikmati. Bagi KAMMI, tentu saja, perlu sedikit ‘usaha’: ‘menikmati’ demokrasi membutuhkan kerja! Konsekuensinya, agar bisa menikmati demokrasi, maka semua elemen dakwah harus bekerja. Kata-kata “kerja” kemudian menjadi jargon PKS di masa-masa berikutnya (“bekerja untuk Indonesia”; “Cinta, Kerja, dan Harmoni”). Ingat, di sini Anis Matta menggunakan kosakata “dakwah”, yang tentu saja tidak hanya merujuk pada penanda PKS –tetapi juga seluruh elemen yang berkategori sebagai aktivis dakwah.

Dengan demikian, Diskursus “Sang-Penikmat” berimplikasi pada diskursus “Sang-Pekerja” –semua elemen ‘dakwah’ harus bekerja memenangkan dakwah agar demokrasi bisa dinikmati. Bagi PKS, diskursus yang beroperasi adalah diskursus “Sang-Penikmat”. Namun, bagi KAMMI –elemen dakwah— yang beroperasi adalah diskursus “Sang-Pekerja”. Maka, tak heran jika kita akan mendengar beberapa ungkapan berikut dari aktivis KAMMI, “bekerja lebih penting dari berpikir”; atau “yang penting karya nyata, bukan wacana”; dan sejenisnya.

Konsekuensi inilah yang kemudian memberikan pengaruh terhadap KAMMI. Mari kita kembali pada diskusi sebelumnya. Perubahan posisi subjektif yang dilakukan oleh PKS berimbas pada KAMMI. Di tahun 2001, proses pendisiplinan KAMMI akibat ia melanggar taboo yang diciptakan oleh ‘aturan-sang-ayah’ menyebabkan KAMMI mengalami kegalauan.

Kita tentu akan bertanya, apa yang menyebabkan ‘Sang-Ayah’ begitu marah hingga mendisiplinkan anaknya ketika anaknya ‘bandel’? Argumen Lacanian akan menjawab, kemarahan sang Ayah terjadi karena anaknya dianggap keluar dari kebudayaan, dan kewajiban sang ayah-lah untuk membuat anaknya kembali pada kebudayaan itu! Tetapi kita tentu akan bertanya lagi, bentuk kebudayaan seperti apa yang kemudian diinginkan oleh ‘Sang-Ayah’, terutama dalam konteks politik? Kita akan segera bertemu jawabnya ketika kita melihat pada diskursus Sang-Penikmat yang ditampilkan oleh Anis Matta di atas: Kebandelan Sang-Anak akan mengeluarkan si-anak pada diskursus Sang-Pekerja yang dikonstruksi oleh Sang-Ayah, dan tentu saja, KAMMI harus ambil bagian dalam bekerja memenangkan dakwah yang dikomandani oleh sang-Ayah. Jika si-anak ingin mengambil posisi subjektif yang berbeda, Sang-Ayah akan mengancam: kau akan dipisahkan dari kebudayaan jika membangkang!

Di sini, kita bisa mengambil sebuah posisi kritis: Sebetulnya, ‘Sang-Ayah’ membutuhkan KAMMI sebagai alat. KAMMI menjadi semacam ‘tombak’ untuk menusuk partai lain dengan kekuatan mobilisasi yang ia miliki, dan menjadi kekuatan mobilisasi untuk kepentingan politiknya tanpa harus mengikutsertakan mereka secara formal. KAMMI menjadi semacam ‘peri-rumah’ (house elves) dalam mitologi Harry Potter yang bisa diperintah untuk tujuan apapun tanpa harus dibayar, karena ketundukan tertingginya adalah pada hukum-sang-ayah. Inilah manifestasi the-name-of-Father; kekuatan untuk mengendalikan dalam wujud budaya.


Modus-Modus Interpelasi
Tetapi, perlu dicatat, posisi pengendalian itu diterima sepenuhnya oleh KAMMI. Sebab, ia sudah menyerahkan dirinya pada phallus yang mengatur kebudayaan itu –Jemaah Tarbiyah atau PKS. Sebagaimana peri-rumah juga melayani majikannya karena ia berhasrat untuk menyerahkan dirinya. KAMMI, setelah tahun 1998, memiliki semacam hasrat narsistik –hasrat tak sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan kedirian yang utuh, yang pada gilirannya akan membuat subyek dapat dikenali, diterima, dan bahkan dicintai oleh yang lain (Polimpung, 2010).

Untuk itu, subjek KAMMI harus mengikatkan dirinya pada ‘budaya’ yang membuat hasrat narsistik itu bisa terpuaskan. Maka KAMMI mengikatkan dirinya pada budaya Jemaah, yang membuat relasinya dengan partai politik PKS menjadi klientelistik. KAMMI menjadi ‘sesuatu’ dalam sistem penandaan yang dijangkarkan oleh PKS.

Namun, dengan memasukkan dirinya pada system penandaan yang dijangkarkan oleh PKS, KAMMI telah membuka ruang kemungkinan bagi PKS untuk menginterpelasi hasratnya. Sebab, artinya KAMMI telah menyerahkan dirinya pada superioritas PKS. Interpelasi itu sendiri dilakukan dengan tiga cara: melalui penanda-utama, melalui citra, dan melalui fantasi. Mari kita kupas satu per satu.

PKS menginterpelasi hasrat narsistik dan anaklitik PKS melalui penanda utama. Artinya, PKS mengosongkan penanda-utama yang dipahami oleh KAMMI dan mengisinya dengan penanda-utama yang mereka pahami. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, penanda-utama yang dipahami oleh PKS berpusat pada dua hal: “mahasiswa” dan “dakwah”. PKS menginterpelasi penanda utama tersebut dengan menguasai makna “dakwah”. Hal ini mudah saja, sebab sejak ia berdiri, ia sudah mendeklarasikan dirinya sebagai partai-dakwah; membuat setiap makna yang-lain tentang dakwah akan merujuk pada dirinya sendiri.

Menurut Bracher (2005), kemampuan PKS untuk membentuk sebuah diskursus-universitas (diskursus yang menundukkan system penandaan) terletak pada kemampuannya menjadikan penanda-utamanya beroperasi dan menundukkan penanda-utama yang lain. Ketika KAMMI mengidentifikasikan dirinya pada satu penanda-utama dakwah, artikulasi yang ia rujukkan akan bersandar ke aktivitas dakwah. PKS dengan superioritasnya menginterpelasi penanda-utamanya tentang dakwah itu, membuat artikulasi dakwah yang dipahami KAMMI –melalui politik jalanan dan gerakan mahasiswa— goyah, dan mau-tidak-mau KAMMI harus beranjak ke sana.

Yang lebih sulit adalah menginterpelasi penanda-utama mahasiswa. Untuk itu, ia perlu satu alat bantu: manhaj dakwah. Untuk menginterpelasi penanda-utama “mahasiswa”, seluruh artikulasi tentang “dakwah” diintegrasikan dalam satu manhaj. Tentu saja, ini berarti memasukkan seluruh komponen yang mengartikulasikan dakwah sebagai penanda-utamanya pada sebuah kesatuan manhaj yang powerful. Yang paling utama dari manhaj ini adalah manhaj kaderisasi. Jadi, jika seseorang ingin menjadi bagian dari organisasi dakwah, ia harus ikut alur kaderisasi. Dengan menguasai kaderisasi, praktis, setiap orang yang ingin menjadi bagian dari aktivitas dakwah harus masuk ke proses ini.  Tanpa harus memasukkan KAMMI sebagai organ underbouw-nya, ia telah menginterpelasi Hasrat KAMMI dalam menjadi bagian dakwah.

Ada cara lain untuk menginterpelasi ‘hasrat’menurut Bracher (2005): melalui citra. Cara ini berarti membangkitkan hasrat dengan cara menampilkan sesuatu yang menggetarkan emosinya. Menurut Bracher, emosi tumbuh dari citra yang didapatkan dari fase imajiner. Di fase cermin, identifikasi diri dihasilkan melalui citra, yang kemudian ditetapkan menjadi bahasa melalui proses simbolik. Namun, citra itu ternyata tidak hilang. Ia muncul sebagai emosi ketika seseorang melihat pada The-Other-nya.

Slavoj Zizek melihat interpelasi melalui citra ini pada contoh iklan televisi. Ia menggambarkan bagaimana Starbuck bisa membangkitkan hasrat seseorang untuk membeli produknya bukan saja karena ia enak, tetapi karena produknya disumbangkan untuk bagian dunia yang lain. Dengan melihat seperti ini, bahkan seorang aktivis yang terbuai oleh indahnya Hak Asasi Manusia pun akan membeli Starbuck. Persoalannya terletak pada bagaimana Starbuck melahirkan sebuah citra yang membangkitkan hasrat orang lain untuk membeli, dan dengan demikian menginterpelasi citra mereka.

Contoh lain dari interpelasi melalui citra adalah pada tampilan-tampilan yang diberikan oleh seorang aktor di film/siaran televisi. Aktor yang menampilkan adegan sedih, mampu mentransfer seorang pemirsa untuk menangis. Atau, ketika ia berbuat kejahatan, dengan efek yang ditampilkan oleh medium televisi, para penonton akhirnya terdorong untuk marah. Citra ‘sedih’–tentu saja apa yang dilakukannya tidak sungguhan— membangkitkan hasrat para pemirsa untuk mengimitasi apa yang ia lakukan. Proses interpelasi tersebut dilakukan melalui emosi.

Begitu juga dengan KAMMI. Interpelasi melalui citra dilakukan, misalnya, pada penyikapan-penyikapan gerakan. Kita bisa lihat hal ini secara jelas dalam kasus penangkapan Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS, yang kemudian disikapi oleh KAMMI (ini agak membingungkan, karena KAMMI selalu mengatakan bahwa ia bukan underbouw PKS). Ada satu petikan menarik dari Ketua Umum PP KAMMI, Muhammad Ilyas, yang mungkin bisa menggambarkan interpelasi melalui citra tersebut,

(1)
Menurut Ilyas, ada kasus yang terang benderang di depan mata, namun tidak dituntaskan oleh KPK. Kasus itu adalah kasus Century dengan nilai 6.7 Trilyun dan kasus BLBI dengan nilai sekitar 500 Trilyun. Kedua kasus itu melibatkan Wakil Presiden Boediono.“Kenapa KPK tidak mengungkap kasus Boediono. Apakah KPK takut sama Boediono?” kata Ilyas kepada KabarKampus, (01/02/2013).

(2)
Ilyas menjelaskan, bahwa ia mengenal mantan presiden PKS tersebut sebagai orang yang berintegritas. Namun terlibat atau tidaknya Luthfi itu sangat manusiawi. Dalam kesepatan itu Ilyas menegaskan bahwa organisasinya bukan underbouw PKS. Anggota KAMMI yang bergabung dengan PKS adalah personal. “KAMMI dan PKS hanya memiliki hubungan emosional. Secara institusi kami Independen,” jelas Ilyas.

Apa yang bisa diambil dari petikan di atas? Petikan pertama menampilkan citra tentang ketakutan KPK terhadap Boediono yang dijadikan dasar oleh Ketua Umum KAMMI untuk mempertanyakan KPK. Ketua KAMMI menempatkan kasus Century sebagai cermin, sebagai alat untuk membandingkan kasus itu dengan kasus LHI. Tetapi, tentu saja yang ditangkap KAMMI kemudian adalah citraan yang dipertegas dengan emosi. Citraan itu dapat dilihat, misalnya, dari pertanyaan, “Apakah KPK takut sama Boediono?” Meskipun ini hanya dugaan, tetapi jelas apa yang ditangkap oleh Ilyas adalah citra. Bagaimana Ilyas bisa menyimpulkan bahwa KPK ‘takut’? Pertanyaannya, adalah bagaimana ini bisa terkonstruksi pada diri KAMMI.

Sementara itu, petikan kedua dari berita yang sama melihat citra itu pada diri Luthfi Hasan Ishaaq. “Ia mengenal Presiden PKS tersebut sebagai seorang yang berintegritas”. Tetapi, lagi-lagi, itu adalah citra. Bagaimana Ilyas bisa menyimpulkan bahwa Presiden PKS itu berintegritas? Identifikasi semacam itu jelas adalah citra –sesuatu yang ditangkap oleh subjek dari hasil pencerminan. Kedua citra di atas lahir ketika Ilyas mencerminkan Luthfi Hasan Ishaaq dan KPK dengan The-Other. Dengan mencerminkan LHI dengan keseharian pergaulannya sehari-hari, ia menangkap citra bahwa LHI adalah orang yang berintegritas. Dan juga, dengan mencerminkan KPK dengan kasus Boediono, ia menangkap citra bahwa KPK takut dengan Boediono.

Lantas, bagaimana citra itu bisa melekat pada diri seorang Ketua Umum KAMMI? Jawabnya langsung bisa kita temukan di statement berikutnya: “KAMMI dan PKS hanya memiliki hubungan emosional. Secara institusi kami Independen”. Hubungan emosional itulah yang membentuk citra. Secara teoretis, citra hanya bisa ditangkap jika ada konstruksi emosional yang ditangkap oleh si-penerima dari si-pemberi. Ketika melihat kasus LHI, misalnya, hubungan emosional yang terbentuk antara PKS dengan KAMMI –dalam hal ini Ilyas— memberikan ia konstruksi yang nyaris persis: bahwa LHI tidak bersalah. Dan hubungan emosional itu pula yang melahirkan citra bahwa KPK takut terhadap Boediono –kita bisa lihat beberapa statement dari politikus macam Mahfudz Sidiq atau Fahri Hamzah untuk membuktikan ini.

Pendeknya, PKS menggunakan citraan –yang dikonstruksi secara emosional— untuk menginterpelasi KAMMI. Cara ketiga untuk menginterpelasi adalah melalui fantasi. Di sini, Slavoj Zizek yang menggambarkan ‘fantasi’ ini dalam The Sublime Object of Ideology –bahwa ‘fantasi’ adalah apa yang menggiring seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa harus mengetahui apa yang ada pada pengetahuan itu. Zizek merefrase Marx –‘they do not know it, but they are doing it’; ini yang disebut sebagai ideological fantasy oleh Zizek. Fantasi-fantasi ideologis ini bekerja, misalnya, dalam fethisisme (semisal uang). Sesuatu yang fethish dipuja karena ia memiliki nilai mitis yang bisa membuat orang-orang masuk pada jerat sistem penandaan yang ia miliki. ‘Nilai mitis’ inilah yang kemudian kita identifikasi sebagai fantasi. Bagi subjek yang diinterpelasi, fantasi memberikan rasa suka-cita dan penikmatan tanpa ada sesuatu yang bisa dinikmati; penikmatan itu berada dalam imaji.

PKS menginterpelasi hasrat KAMMI melalui penciptaan fantasi-fantasi semacam itu. Kita bisa lihat, misalnya, pada “fantasi” mengenai kekayaan. Anis Matta spesial menulis tiga seri tulisan tentang ‘uang’ untuk menciptakan fantasi mengenai kader yang kaya. Anis Matta tahu, aktivis-aktivis KAMMI bukanlah kader-kader yang kaya secara finansial. Untuk menginterpelasi hasrat KAMMI, maka diciptakanlah fantasi tentang kader yang bisa berdakwah dengan lebih baik melalui penguasaan atas ‘uang’. Dengan menulis tentang ‘uang’, fantasi tentang dakwah yang mapan, gerakan yang mampu menguasai sumber daya ekonomi, atau KAMMI yang bisa membiayai aktivitasnya secara mandiri, langsung terbayang dan memberikan  kenikmatan tersendiri –tetapi itu hanyalah fantasi.

Dengan fantasi ini, aktivitas pergerakan KAMMI setelah tahun 2004 dapat kita lihat implikasinya: menjadi sangat berorientasi pada pencarian sumber daya finansial. Ini bukan berarti tidak dilakukan sebelum 2004, namun menjadi sangat menonjol ketika PKS duduk di kursi pemerintahan, anggaran-anggaran publik lebih terbuka untuk diakses, dan KAMMI tidak lagi menampakkan kegarangannya –setidaknya lebih slow dibanding sebelumnya— di depan pemerintah. Sejak 2006, kita menyaksikan aktivitas yang lebih berbasis pada pengokohan finansial dan interaksi yang lebih ‘manis’ dengan institusi-institusi pemerintahan.

Apalagi, dengan adanya istilah mihwar dauli –di mana dakwah masuk pada ranah ‘negara’ dan konsekuensinya harus menguasai sumber daya yang memungkinkan Jemaah mengakuisisi sedikit-demi-sedikit posisi negara— fantasi mengenai gerakan yang mapan ini semakin menghujam ke diri KAMMI. Persoalannya, apa yang kemudian bisa dilakukan agar gerakan KAMMI punya banyak uang? Tentu saja, menggunakan relasi dan jejaring dengan partai menjadi salah satu shortcut. Aktivasi kedekatan dengan sumber dana memungkinkan KAMMI menerima dana-dana publik. Lahirlah, dari sini, aktivis pemburu-rente, broker, dan lain sebagainya.  Ini mungkin sah saja dan legal, tetapi, secara psikoanalitis, mencerminkan satu hal: interpelasi ‘hasrat’ KAMMI melalui penciptaan fantasi tentang ‘KAMMI yang-kaya’.

Penjelasan mengenai modus interpelasi di atas menunjukkan beroperasinya hegemoni ‘PKS’ atas ‘KAMMI’ yang ironisnya, dilakukan dengan menginterpelasi hasrat KAMMI dan beroperasi dalam posisi subjektif KAMMI sendiri. Hal ini yang membuat pembicaraan tentang ‘independensi’ KAMMI seperti menemui jalan buntu. ‘Independensi’ KAMMI memang termaktub dalam konstitusi, namun artikulasi yang ditampilkan jauh sekali dari itu. Psikoanalisis membantu kita untuk memahami bahwa hal tersebut terjadi tidak hanya karena proses-proses hegemonisasi –sebagaimana ditunjukkan dalam pembacaan Foucauldian yang saya tampilkan dalam artikel sebelumnya— tetapi juga karena adanya interpelasi hasrat yang memungkinkan adanya peran-peran subjektif KAMMI sendiri.

Akhirnya, kita akan menghadapi fenomena: ‘independensi’ mungkin cuma jadi semacam basa-basi muktamar. Tetapi, pertanyaan yang harus diajukan, adakah peluang resistensi? Kalau kita percaya dengan logika Foucauldian, bahwa ‘kekuasaan’ selalu melahirkan ‘anti-kekuasaan’, maka resistensi masih dimungkinkan. Tetapi, bagaimana formula represi yang efektif? Mungkin, metafor “peri-rumah” yang muncul di serial Harry Potter karangan JK Rowling bisa membantu kita sedikit untuk membahas hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar