Bagian Ketiga dari Empat Tulisan
Relasi
KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.
Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup,
problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan
aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus
independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga
Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai
retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak,
intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru
menyiratkan hal yang sebaliknya.
Diskursus “Sang Penikmat”
Lantas,
bagaimana cara PKS membangkitkan hasrat KAMMI hingga ia memiliki
kerinduan mendasar untuk mengidentifikasikan dirinya sesuai dengan apa
yang diinginkan PKS? Subjek Lacanian, berbeda dengan Subjek Foucauldian,
adalah subjek yang sepenuhnya sadar untuk menyerahkan dirinya pada
Sang-Ayah. Oleh sebab itu, proses penundukan tidak dilakukan melalui
suruhan atau koersi, melainkan melalui hasrat. Proses interpelasi
hasrat itulah yang akan kita bicarakan pada bagian ini.
Ada dua
jenis hasrat: hasrat narsistik yang berbentuk aktif dan pasif, serta
hasrat anaklitik yang juga berbentuk aktif dan pasif. ‘Hasrat
narsistik’, sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah ‘hasrat untuk
menjadi’ (wants-of-being). Hasrat untuk mendapat pengakuan atas diri
dari The-Other. Hasrat narsistik aktif artinya ia berupaya untuk
mengimitasi The-Other—menjadi Orang Lain. Sebagai contoh, KAMMI yang
ingin menjadi Hassan Al-Banna atau Syabaab Ikhwan dan mengimitasinya.
Sementara hasrat narsistik pasif artinya ia berupaya untuk mendapatkan
cinta dari The-Other, semisal KAMMI yang ingin mendapatkan
cinta/pengakuan diri dari PKS.
Adapun hasrat anaklitik adalah
hasrat untuk memiliki. Hasrat ini, menurut Lacan, bisa terpuaskan.
Hasrat anaklitik aktif, berarti subjek berhasrat untuk memiliki
orang-lain sebagai cara untuk mendapatkan kepuasan. Contohnya, KAMMI
yang berhasrat untuk memiliki BEM di kampusnya –atau kursi Bupati di
daerahnya— untuk memuaskan ‘hasrat’-nya. Sementara itu, hasrat anaklitik
pasif berarti hasrat untuk dihasrati oleh orang-lain; yaitu ketika diri
menjadi alat untuk memuaskan hasrat orang lain. Ini berhubungan dengan
‘hasrat anaklitik aktif’ orang lain, yang membuat KAMMI menjadi ‘objek’
dari orang-lain.
Interpelasi ‘hasrat’ terjadi ketika KAMMI
‘diajak’ untuk mengambil satu posisi/disposisi subjektif tertentu.
Keempat jenis hasrat tersebut tentu saja tidak bisa dipuaskan pada saat
yang bersamaan. Hasrat anaklitik aktif seseorang menjadikan orang lain
sebagai objek. Artinya, ada semacam ‘pertarungan’ di sini; siapa yang
lebih superior untuk menginterpelasi hasrat orang lain. Jika yang
superior adalah subjek A, ia akan menjadikan B sebagai objek hasratnya.
Juga sebaliknya, dan berlaku pula pada ‘nasrat harsistik’.
Relasi
KAMMI dan PKS bisa dilihat pada relasi ini. Untuk membangkitkan ‘hasrat
narsistik’ dan ‘hasrat anaklitik’ KAMMI, hasrat KAMMI harus terlebih
dulu diinterpelasi. Ada tiga cara interpelasi tersebut –melalui penanda
utama, citra, dan fantasi. Ketiga cara ini bisa dilihat operasinya dalam
penciptaan diskursus tentang demokrasi: Diskursus Sang Penikmat dan
Diskursus Sang Pekerja.
Pada tahun 2002, Anis Matta menulis buku
yang berjudul “Menikmati Demokrasi”. Tulisan itu memang hanya kumpulan
artikel-artikel lepas yang ditulisnya tentang politik, tetapi kita bisa
mengambil sebuah posisi penting PKS di sini: apa yang dilakukannya
setelah tahun 2004 adalah upaya untuk menikmati/menghasrati demokrasi.
Di sini, PKS menjadikan aktivitas politiknya sebagai aktivitas pemenuhan
hasrat dari apa yang ia sebut sebagai ‘demokrasi’. Dengan demikian,
logika berpolitik dapat kita identifikasi sebagai logika jouissance,
penikmatan, pemenuhan hasrat. Konteks ‘menikmati demokrasi’ akan kita
jadikan latar belakang untuk membicarakan artikulasi PKS setelah tahun
2004.
Pada tahun 2004, PKS secara resmi memulai apa yang secara
politis disebut sebagai koalisi—PKS bergabung dan mendapatkan posisi
dalam pemerintahan. Posisi PKS sebagai bagian dari pemerintahan akan
mengimplikasikannya untuk mengambil posisi subjektif berbeda. PKS tidak
lagi menjadikan eksekutif –pemerintahan— sebagai ‘lawan’, melainkan ia
sendiri berada pada posisi tersebut.
Bagi PKS, itu berarti ia
harus mengubah posisi subjektifnya; pada titik inilah istilah ‘menikmati
demokrasi’ kemudian dikumandangkan. Apa artinya menikmati demokrasi?
Slavoj Zizek menggambarkan hal ini secara lebih konkret. Dalam First as Tragedy, Then as Farce, Zizek melihat kenikmatan itu inheren dengan proses konsumsi di era new spirit of capitalism,
“kita membeli sebuah produk bukan karena kita memerlukannya, melainkan
karena kita ingin membuat hidup kita lebih senang dan berarti. Anis
Matta mengatakan, demokrasi adalah proses yang dinikmati oleh semua
orang. Kapitalis menikmati demokrasi karena ia memberikan kesempatan
pada orang-orang untuk membeli produk mereka. Begitu juga aktivis
dakwah, ia menikmati demokrasi karena ia memberikan kebebasan untuk
bertemu dan berinteraksi langsung dengan objek dakwah.
Jika kita
ubah perkataan Anis Matta ini, kita akan menemukan bahwa, “untuk mengisi
demokrasi, kita harus menikmatinya”. Ini setipe dengan kata-kata Zizek,
kita membeli barang karena kita menikmatinya! Secara psikoanalitis, ini
artinya, berpolitik berarti memenuhi hasrat kita untuk memiliki arena
politik itu (“demokrasi”). Anis Matta menampilkan hasrat anaklitik aktif
kepada proses demokrasi. Ia (dan juga PKS tentu saja) ingin demokrasi
itu dimiliki, dihasrati, dan dijadikan alat pemuasan keinginan dakwah.
Tapi,
kita belum sampai pada argumennya. Bagi Anis Matta, menikmati demokrasi
itu ada harganya, karena baginya pelaku kemungkaran juga punya
kesempatan yang sama; bisa jadi punya hasrat yang sama. Ini artinya,
wacana demokrasi itu harus direbut! Nah, Anis Matta punya tiga argument
di sini: Pertama, menangkanlah wacana publik agar opini publik berpihak
kepada kita. Kedua, formulasikan wacana itu ke dalam draf hukum untuk di
menangkan dalam wacana legislasi melalui lembaga legislatif. Kemenangan
legislasi ini menjadi legitimasi bagi Negara untuk mengeksekusinya.
Ketiga, pastikan bahwa para eksekutif pemerintah melaksanakan dan
menerapkan hukum tersebut (Islamedia, 2012).
Jika kita lihat
formula di atas, maka bisa kita lihat: bagi PKS, demokrasi adalah
sesuatu yang dinikmati. Bagi KAMMI, tentu saja, perlu sedikit ‘usaha’:
‘menikmati’ demokrasi membutuhkan kerja! Konsekuensinya, agar bisa
menikmati demokrasi, maka semua elemen dakwah harus bekerja. Kata-kata
“kerja” kemudian menjadi jargon PKS di masa-masa berikutnya (“bekerja
untuk Indonesia”; “Cinta, Kerja, dan Harmoni”). Ingat, di sini Anis
Matta menggunakan kosakata “dakwah”, yang tentu saja tidak hanya merujuk
pada penanda PKS –tetapi juga seluruh elemen yang berkategori sebagai
aktivis dakwah.
Dengan demikian, Diskursus “Sang-Penikmat”
berimplikasi pada diskursus “Sang-Pekerja” –semua elemen ‘dakwah’ harus
bekerja memenangkan dakwah agar demokrasi bisa dinikmati. Bagi PKS,
diskursus yang beroperasi adalah diskursus “Sang-Penikmat”. Namun, bagi
KAMMI –elemen dakwah— yang beroperasi adalah diskursus “Sang-Pekerja”.
Maka, tak heran jika kita akan mendengar beberapa ungkapan berikut dari
aktivis KAMMI, “bekerja lebih penting dari berpikir”; atau “yang penting
karya nyata, bukan wacana”; dan sejenisnya.
Konsekuensi inilah
yang kemudian memberikan pengaruh terhadap KAMMI. Mari kita kembali pada
diskusi sebelumnya. Perubahan posisi subjektif yang dilakukan oleh PKS
berimbas pada KAMMI. Di tahun 2001, proses pendisiplinan KAMMI akibat ia
melanggar taboo yang diciptakan oleh ‘aturan-sang-ayah’ menyebabkan
KAMMI mengalami kegalauan.
Kita tentu akan bertanya, apa yang
menyebabkan ‘Sang-Ayah’ begitu marah hingga mendisiplinkan anaknya
ketika anaknya ‘bandel’? Argumen Lacanian akan menjawab, kemarahan sang
Ayah terjadi karena anaknya dianggap keluar dari kebudayaan, dan
kewajiban sang ayah-lah untuk membuat anaknya kembali pada kebudayaan
itu! Tetapi kita tentu akan bertanya lagi, bentuk kebudayaan seperti apa
yang kemudian diinginkan oleh ‘Sang-Ayah’, terutama dalam konteks
politik? Kita akan segera bertemu jawabnya ketika kita melihat pada
diskursus Sang-Penikmat yang ditampilkan oleh Anis Matta di atas:
Kebandelan Sang-Anak akan mengeluarkan si-anak pada diskursus
Sang-Pekerja yang dikonstruksi oleh Sang-Ayah, dan tentu saja, KAMMI
harus ambil bagian dalam bekerja memenangkan dakwah yang dikomandani
oleh sang-Ayah. Jika si-anak ingin mengambil posisi subjektif yang
berbeda, Sang-Ayah akan mengancam: kau akan dipisahkan dari kebudayaan
jika membangkang!
Di sini, kita bisa mengambil sebuah posisi
kritis: Sebetulnya, ‘Sang-Ayah’ membutuhkan KAMMI sebagai alat. KAMMI
menjadi semacam ‘tombak’ untuk menusuk partai lain dengan kekuatan
mobilisasi yang ia miliki, dan menjadi kekuatan mobilisasi untuk
kepentingan politiknya tanpa harus mengikutsertakan mereka secara
formal. KAMMI menjadi semacam ‘peri-rumah’ (house elves) dalam
mitologi Harry Potter yang bisa diperintah untuk tujuan apapun tanpa
harus dibayar, karena ketundukan tertingginya adalah pada hukum-sang-ayah. Inilah manifestasi the-name-of-Father; kekuatan untuk mengendalikan dalam wujud budaya.
Modus-Modus Interpelasi
Tetapi,
perlu dicatat, posisi pengendalian itu diterima sepenuhnya oleh KAMMI.
Sebab, ia sudah menyerahkan dirinya pada phallus yang mengatur
kebudayaan itu –Jemaah Tarbiyah atau PKS. Sebagaimana peri-rumah juga
melayani majikannya karena ia berhasrat untuk menyerahkan dirinya.
KAMMI, setelah tahun 1998, memiliki semacam hasrat narsistik –hasrat tak
sadar untuk memperoleh landasan bagi perasaan kedirian yang utuh, yang
pada gilirannya akan membuat subyek dapat dikenali, diterima, dan bahkan
dicintai oleh yang lain (Polimpung, 2010).
Untuk itu, subjek
KAMMI harus mengikatkan dirinya pada ‘budaya’ yang membuat hasrat
narsistik itu bisa terpuaskan. Maka KAMMI mengikatkan dirinya pada
budaya Jemaah, yang membuat relasinya dengan partai politik PKS menjadi
klientelistik. KAMMI menjadi ‘sesuatu’ dalam sistem penandaan yang
dijangkarkan oleh PKS.
Namun, dengan memasukkan dirinya pada
system penandaan yang dijangkarkan oleh PKS, KAMMI telah membuka ruang
kemungkinan bagi PKS untuk menginterpelasi hasratnya. Sebab, artinya
KAMMI telah menyerahkan dirinya pada superioritas PKS. Interpelasi itu
sendiri dilakukan dengan tiga cara: melalui penanda-utama, melalui
citra, dan melalui fantasi. Mari kita kupas satu per satu.
PKS
menginterpelasi hasrat narsistik dan anaklitik PKS melalui penanda
utama. Artinya, PKS mengosongkan penanda-utama yang dipahami oleh KAMMI
dan mengisinya dengan penanda-utama yang mereka pahami. Sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya, penanda-utama yang dipahami oleh PKS
berpusat pada dua hal: “mahasiswa” dan “dakwah”. PKS menginterpelasi
penanda utama tersebut dengan menguasai makna “dakwah”. Hal ini mudah
saja, sebab sejak ia berdiri, ia sudah mendeklarasikan dirinya sebagai
partai-dakwah; membuat setiap makna yang-lain tentang dakwah akan
merujuk pada dirinya sendiri.
Menurut Bracher (2005), kemampuan
PKS untuk membentuk sebuah diskursus-universitas (diskursus yang
menundukkan system penandaan) terletak pada kemampuannya menjadikan
penanda-utamanya beroperasi dan menundukkan penanda-utama yang lain.
Ketika KAMMI mengidentifikasikan dirinya pada satu penanda-utama dakwah,
artikulasi yang ia rujukkan akan bersandar ke aktivitas dakwah. PKS
dengan superioritasnya menginterpelasi penanda-utamanya tentang dakwah
itu, membuat artikulasi dakwah yang dipahami KAMMI –melalui politik
jalanan dan gerakan mahasiswa— goyah, dan mau-tidak-mau KAMMI harus
beranjak ke sana.
Yang lebih sulit adalah menginterpelasi
penanda-utama mahasiswa. Untuk itu, ia perlu satu alat bantu: manhaj
dakwah. Untuk menginterpelasi penanda-utama “mahasiswa”, seluruh
artikulasi tentang “dakwah” diintegrasikan dalam satu manhaj. Tentu
saja, ini berarti memasukkan seluruh komponen yang mengartikulasikan
dakwah sebagai penanda-utamanya pada sebuah kesatuan manhaj yang
powerful. Yang paling utama dari manhaj ini adalah manhaj kaderisasi.
Jadi, jika seseorang ingin menjadi bagian dari organisasi dakwah, ia
harus ikut alur kaderisasi. Dengan menguasai kaderisasi, praktis, setiap
orang yang ingin menjadi bagian dari aktivitas dakwah harus masuk ke
proses ini. Tanpa harus memasukkan KAMMI sebagai organ underbouw-nya,
ia telah menginterpelasi Hasrat KAMMI dalam menjadi bagian dakwah.
Ada
cara lain untuk menginterpelasi ‘hasrat’menurut Bracher (2005): melalui
citra. Cara ini berarti membangkitkan hasrat dengan cara menampilkan
sesuatu yang menggetarkan emosinya. Menurut Bracher, emosi tumbuh dari
citra yang didapatkan dari fase imajiner. Di fase cermin, identifikasi
diri dihasilkan melalui citra, yang kemudian ditetapkan menjadi bahasa
melalui proses simbolik. Namun, citra itu ternyata tidak hilang. Ia
muncul sebagai emosi ketika seseorang melihat pada The-Other-nya.
Slavoj
Zizek melihat interpelasi melalui citra ini pada contoh iklan televisi.
Ia menggambarkan bagaimana Starbuck bisa membangkitkan hasrat seseorang
untuk membeli produknya bukan saja karena ia enak, tetapi karena
produknya disumbangkan untuk bagian dunia yang lain. Dengan melihat
seperti ini, bahkan seorang aktivis yang terbuai oleh indahnya Hak Asasi
Manusia pun akan membeli Starbuck. Persoalannya terletak pada bagaimana
Starbuck melahirkan sebuah citra yang membangkitkan hasrat orang lain
untuk membeli, dan dengan demikian menginterpelasi citra mereka.
Contoh
lain dari interpelasi melalui citra adalah pada tampilan-tampilan yang
diberikan oleh seorang aktor di film/siaran televisi. Aktor yang
menampilkan adegan sedih, mampu mentransfer seorang pemirsa untuk
menangis. Atau, ketika ia berbuat kejahatan, dengan efek yang
ditampilkan oleh medium televisi, para penonton akhirnya terdorong untuk
marah. Citra ‘sedih’–tentu saja apa yang dilakukannya tidak sungguhan—
membangkitkan hasrat para pemirsa untuk mengimitasi apa yang ia lakukan.
Proses interpelasi tersebut dilakukan melalui emosi.
Begitu juga
dengan KAMMI. Interpelasi melalui citra dilakukan, misalnya, pada
penyikapan-penyikapan gerakan. Kita bisa lihat hal ini secara jelas
dalam kasus penangkapan Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS, yang kemudian
disikapi oleh KAMMI (ini agak membingungkan, karena KAMMI selalu
mengatakan bahwa ia bukan underbouw PKS). Ada satu petikan menarik dari
Ketua Umum PP KAMMI, Muhammad Ilyas, yang mungkin bisa menggambarkan
interpelasi melalui citra tersebut,
(1)
Menurut Ilyas, ada kasus yang terang benderang di depan mata, namun tidak dituntaskan oleh KPK. Kasus itu adalah kasus Century dengan nilai 6.7 Trilyun dan kasus BLBI dengan nilai sekitar 500 Trilyun. Kedua kasus itu melibatkan Wakil Presiden Boediono.“Kenapa KPK tidak mengungkap kasus Boediono. Apakah KPK takut sama Boediono?” kata Ilyas kepada KabarKampus, (01/02/2013).
(2)
Ilyas menjelaskan, bahwa ia mengenal mantan presiden PKS tersebut sebagai orang yang berintegritas. Namun terlibat atau tidaknya Luthfi itu sangat manusiawi. Dalam kesepatan itu Ilyas menegaskan bahwa organisasinya bukan underbouw PKS. Anggota KAMMI yang bergabung dengan PKS adalah personal. “KAMMI dan PKS hanya memiliki hubungan emosional. Secara institusi kami Independen,” jelas Ilyas.
Apa
yang bisa diambil dari petikan di atas? Petikan pertama menampilkan
citra tentang ketakutan KPK terhadap Boediono yang dijadikan dasar oleh
Ketua Umum KAMMI untuk mempertanyakan KPK. Ketua KAMMI menempatkan kasus
Century sebagai cermin, sebagai alat untuk membandingkan kasus itu
dengan kasus LHI. Tetapi, tentu saja yang ditangkap KAMMI kemudian
adalah citraan yang dipertegas dengan emosi. Citraan itu dapat dilihat,
misalnya, dari pertanyaan, “Apakah KPK takut sama Boediono?” Meskipun
ini hanya dugaan, tetapi jelas apa yang ditangkap oleh Ilyas adalah
citra. Bagaimana Ilyas bisa menyimpulkan bahwa KPK ‘takut’?
Pertanyaannya, adalah bagaimana ini bisa terkonstruksi pada diri KAMMI.
Sementara
itu, petikan kedua dari berita yang sama melihat citra itu pada diri
Luthfi Hasan Ishaaq. “Ia mengenal Presiden PKS tersebut sebagai seorang
yang berintegritas”. Tetapi, lagi-lagi, itu adalah citra. Bagaimana
Ilyas bisa menyimpulkan bahwa Presiden PKS itu berintegritas?
Identifikasi semacam itu jelas adalah citra –sesuatu yang ditangkap oleh
subjek dari hasil pencerminan. Kedua citra di atas lahir ketika Ilyas
mencerminkan Luthfi Hasan Ishaaq dan KPK dengan The-Other. Dengan
mencerminkan LHI dengan keseharian pergaulannya sehari-hari, ia
menangkap citra bahwa LHI adalah orang yang berintegritas. Dan juga,
dengan mencerminkan KPK dengan kasus Boediono, ia menangkap citra bahwa
KPK takut dengan Boediono.
Lantas, bagaimana citra itu bisa
melekat pada diri seorang Ketua Umum KAMMI? Jawabnya langsung bisa kita
temukan di statement berikutnya: “KAMMI dan PKS hanya memiliki hubungan
emosional. Secara institusi kami Independen”. Hubungan emosional itulah
yang membentuk citra. Secara teoretis, citra hanya bisa ditangkap jika
ada konstruksi emosional yang ditangkap oleh si-penerima dari
si-pemberi. Ketika melihat kasus LHI, misalnya, hubungan emosional yang
terbentuk antara PKS dengan KAMMI –dalam hal ini Ilyas— memberikan ia
konstruksi yang nyaris persis: bahwa LHI tidak bersalah. Dan hubungan
emosional itu pula yang melahirkan citra bahwa KPK takut terhadap
Boediono –kita bisa lihat beberapa statement dari politikus macam
Mahfudz Sidiq atau Fahri Hamzah untuk membuktikan ini.
Pendeknya,
PKS menggunakan citraan –yang dikonstruksi secara emosional— untuk
menginterpelasi KAMMI. Cara ketiga untuk menginterpelasi adalah melalui
fantasi. Di sini, Slavoj Zizek yang menggambarkan ‘fantasi’ ini dalam The Sublime Object of Ideology
–bahwa ‘fantasi’ adalah apa yang menggiring seseorang untuk melakukan
sesuatu tanpa harus mengetahui apa yang ada pada pengetahuan itu. Zizek
merefrase Marx –‘they do not know it, but they are doing it’; ini
yang disebut sebagai ideological fantasy oleh Zizek. Fantasi-fantasi
ideologis ini bekerja, misalnya, dalam fethisisme (semisal uang).
Sesuatu yang fethish dipuja karena ia memiliki nilai mitis yang bisa
membuat orang-orang masuk pada jerat sistem penandaan yang ia miliki.
‘Nilai mitis’ inilah yang kemudian kita identifikasi sebagai fantasi.
Bagi subjek yang diinterpelasi, fantasi memberikan rasa suka-cita dan
penikmatan tanpa ada sesuatu yang bisa dinikmati; penikmatan itu berada
dalam imaji.
PKS menginterpelasi hasrat KAMMI melalui penciptaan
fantasi-fantasi semacam itu. Kita bisa lihat, misalnya, pada “fantasi”
mengenai kekayaan. Anis Matta spesial menulis tiga seri tulisan tentang
‘uang’ untuk menciptakan fantasi mengenai kader yang kaya. Anis Matta
tahu, aktivis-aktivis KAMMI bukanlah kader-kader yang kaya secara
finansial. Untuk menginterpelasi hasrat KAMMI, maka diciptakanlah
fantasi tentang kader yang bisa berdakwah dengan lebih baik melalui
penguasaan atas ‘uang’. Dengan menulis tentang ‘uang’, fantasi tentang
dakwah yang mapan, gerakan yang mampu menguasai sumber daya ekonomi,
atau KAMMI yang bisa membiayai aktivitasnya secara mandiri, langsung
terbayang dan memberikan kenikmatan tersendiri –tetapi itu hanyalah
fantasi.
Dengan fantasi ini, aktivitas pergerakan KAMMI setelah
tahun 2004 dapat kita lihat implikasinya: menjadi sangat berorientasi
pada pencarian sumber daya finansial. Ini bukan berarti tidak dilakukan
sebelum 2004, namun menjadi sangat menonjol ketika PKS duduk di kursi
pemerintahan, anggaran-anggaran publik lebih terbuka untuk diakses, dan
KAMMI tidak lagi menampakkan kegarangannya –setidaknya lebih slow
dibanding sebelumnya— di depan pemerintah. Sejak 2006, kita menyaksikan
aktivitas yang lebih berbasis pada pengokohan finansial dan interaksi
yang lebih ‘manis’ dengan institusi-institusi pemerintahan.
Apalagi,
dengan adanya istilah mihwar dauli –di mana dakwah masuk pada ranah
‘negara’ dan konsekuensinya harus menguasai sumber daya yang
memungkinkan Jemaah mengakuisisi sedikit-demi-sedikit posisi negara—
fantasi mengenai gerakan yang mapan ini semakin menghujam ke diri KAMMI.
Persoalannya, apa yang kemudian bisa dilakukan agar gerakan KAMMI punya
banyak uang? Tentu saja, menggunakan relasi dan jejaring dengan partai
menjadi salah satu shortcut. Aktivasi kedekatan dengan sumber dana
memungkinkan KAMMI menerima dana-dana publik. Lahirlah, dari sini,
aktivis pemburu-rente, broker, dan lain sebagainya. Ini mungkin sah
saja dan legal, tetapi, secara psikoanalitis, mencerminkan satu hal:
interpelasi ‘hasrat’ KAMMI melalui penciptaan fantasi tentang ‘KAMMI
yang-kaya’.
Penjelasan mengenai modus interpelasi di atas
menunjukkan beroperasinya hegemoni ‘PKS’ atas ‘KAMMI’ yang ironisnya,
dilakukan dengan menginterpelasi hasrat KAMMI dan beroperasi dalam
posisi subjektif KAMMI sendiri. Hal ini yang membuat pembicaraan tentang
‘independensi’ KAMMI seperti menemui jalan buntu. ‘Independensi’ KAMMI
memang termaktub dalam konstitusi, namun artikulasi yang ditampilkan
jauh sekali dari itu. Psikoanalisis membantu kita untuk memahami bahwa
hal tersebut terjadi tidak hanya karena proses-proses hegemonisasi
–sebagaimana ditunjukkan dalam pembacaan Foucauldian yang saya tampilkan
dalam artikel sebelumnya— tetapi juga karena adanya interpelasi hasrat
yang memungkinkan adanya peran-peran subjektif KAMMI sendiri.
Akhirnya,
kita akan menghadapi fenomena: ‘independensi’ mungkin cuma jadi semacam
basa-basi muktamar. Tetapi, pertanyaan yang harus diajukan, adakah
peluang resistensi? Kalau kita percaya dengan logika Foucauldian, bahwa
‘kekuasaan’ selalu melahirkan ‘anti-kekuasaan’, maka resistensi masih
dimungkinkan. Tetapi, bagaimana formula represi yang efektif? Mungkin,
metafor “peri-rumah” yang muncul di serial Harry Potter karangan JK
Rowling bisa membantu kita sedikit untuk membahas hal ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar