15 Mei 2013

KAMMI dan PKS [atau Mengapa Dobby bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian II)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 
  
Bagian Kedua dari Empat Tulisan
Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.


KAMMI: ‘Sang-Aku’
Dengan melihat analisis Lacan di atas, kita bisa berargumen bahwa relasi ‘ayah dan anak’, yang dalam bahasa Ilmu Politik digambarkan sebagai ‘relasi patron-klien’ menggambarkan bahwa ada semacam konstruksi budaya (Phallus) yang mendisiplinkan klien dan menjadikannya berada pada sebuah sistem penandaan tertentu. Begitu juga ketika kita membaca relasi KAMMI dan PKS. Tak diragukan lagi, walaupun elit-elit KAMMI menyatakan bahwa KAMMI bersifat independen dan tak berhubungan dengan PKS, relasi yang ditumbuhkan bersifat klientelistik; terlihat dari peran sentral alumni yang berada di PKS dalam mengendalikan aksi-aksi gerakan KAMMI (lihat Kurniawan, 2013; Machmudi, 2006; Muhtadi, 2012).

Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, mengapa dengan relasi klientelistik tersebut, mengapa proses kultural tersebut bertahan hingga kini? Dan mengapa relasi kultural ini mengakar sedemikian rupa, hingga jarang sekali ada kader KAMMI yang berani mempertanyakannya, dan dengan demikian menutup kemungkinan perubahan? Pada titik ini, kritik kebudayaan yang ditawarkan melalui psikoanalisis Lacanian menjadi cukup relevan untuk membongkar praktik-praktik diskursif tersebut.

Saya akan memulai dari proses perkembangan KAMMI ketika ia lahir –fase Pra-Oedipal dalam terminology Lacanian. Andi Rahmat dan Muhammad Najib menggambarkan proses kelahiran ini secara cerdas dalam bukunya, “Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus”. Menurut Rahmat dan Najib (2001), KAMMI dilahirkan dari dua variable penting: ‘masjid’ dan ‘kampus’. KAMMI tidak lahir dari ‘deklarasi’ 29 Maret 1998. KAMMI, diafirmasi juga oleh Imam (2010), lahir ketika aktivis-aktivis Muslim membawa embrio yang bernama Jemaah Tarbiyah dari Mesir. Oleh sebab itu, memahami KAMMi harus ditarik jauh ke belakang, di tahun 1980an, ketika aktivis dakwah memasuki Indonesia dan beroperasi di masjid-masjid kampus.

KAMMI lahir dari aktivis-aktivis masjid yang kemudian bertransformasi menjadi kekuatan politik setelah krisis ekonomi bergulir di tahun 1998. Aktivis-aktivis masjid kampus ini adalah mereka yang membawa kesalihan dan mengartikulasikannya dalam pergerakan mahasiswa. Dimulai dari adaptasi gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin yang dibawa melalui proses penerjemahan buku pada tahun 1980an, aktivis-aktivis dakwah yang bernaung dalam LDK mulai mengartikulasikan ‘Islam’ dalam kerangka ‘dakwah kampus’, menarik aktivis-aktivis mahasiswa dan mulai mendakwahkan Islam di kalangan mereka. Tidak ada aksi politik di sini; yang ada hanyalah dakwah kepada mahasiswa yang diatur melalui tanzhim/organisasi yang bersifat ‘amniyah/rahasia (Machmudi, 2006).

‘Diskursus’ yang ditampilkan oleh Jemaah Tarbiyah di era awal pembentukan dan konsolidasinya di Indonesia adalah diskursus tentang ‘negara Islam’ (Machmudi, 2006). Bagi aktivis Jemaah Tarbiyah, pembentukan basis-basis sosial untuk menuju negara Islam menjadi penting. Maka dari itu, Jemaah Tarbiyah menggunakan halaqah (kelompok-kelompok kecil) sebagai bagian penting dari pembangunan basis sosial dakwah. Pembangunan basis dakwah tersebut, pada mulanya dilakukan di kampus-kampus. Mengapa kampus? Machmudi (2006) mencatat, kampus menjadi ‘sarana’ artikulasi setelah pemerintah Orde Baru mendepolitisasi aktivitas Islam Politik.

Jika menggunakan term Lacanian, aktivitas ‘dakwah kampus’ ini adalah fase pra-oedipal. Mahasiswa masih bersatu dengan Liyan (The-Other), yaitu Jemaah Tarbiyah yang berbasis di masjid-masjid kampus (Machmudi, 2006). Ia hanya mengenali lingkungan dari gerakan dakwah itu. Kebutuhan mereka, yaitu dakwah dan artikulasi keagamaan, terpenuhi dengan dakwah kampus itu. Dengan berdakwah dan menampilkan kesalihan di kampus, ‘hasrat’ untuk meng-Islamisasi lingkungan terpenuhi. Mahasiswa berada pada fase The Real, kondisi ‘state of nature’ ketika aktivitas dakwah hanyalah pada seruan keagamaan di kampus atau kajian-kajian keagamaan di masjid. Mahasiswa dan gerakan dakwah adalah satu; tidak terpisahkan. Inilah fase ketika KAMMI masuk pada proses ‘ideologisasi’ –meminjam istilah Rijalul Imam (2010).

Namun, kondisi ‘pra-oedipal’ ini tak bisa terus-menerus terjadi seperti itu. Pada tahun 1998, ‘negara’ mengalami krisis. Gerakan dakwah mengharuskan dirinya tampil ke panggung politik. Melalui apa? Tentu saja, mahasiswa! Inilah saat ketika mahasiswa keluar dari fase The Real dan harus mengenal lingkungannya. Pada tanggal 29 Maret 1998, ketika pertemuan FSLDK X baru saja ditutup di Universitas Muhammadiyah Malang, aktivis-aktivis dakwah ini kemudian sepakat membentuk KAMMI.

Tentu saja, lahirnya KAMMI tidak bisa hanya dipandang dari inisiatif anak-anak muda. Sebagaimana ditanyakan oleh Sudarsono (2010), bagaimana mungkin organisasi yang baru lahir tak sampai sebulan bisa menggerakkan massa hingga ribuan mahasiswa? Dalam catatan yang tersebar di milis KAMMI, kelahiran KAMMI juga merupakan ikhtiar aktivis-aktivis Jemaah Tarbiyah yang bukan lagi berada pada posisi mahasiswa. Ketua KAMMI pertama, Fahri Hamzah, dan Sekretaris Jenderalnya, Haryo Setyoko, bukanlah peserta formal FSLDK X (Meskipun Fahri dan Haryo adalah tokoh LDK ketika zamannya). Campur tangan tokoh-tokoh senior Jemaah Tarbiyah masih sangat besar.

Apa artinya ini? Dalam perspektif Lacanian, aktivis dakwah kampus pada saat itu ‘diharuskan’ untuk keluar dari fase The Real-nya. Medan yang ditempuh adalah pertemuan FSLDK. Mereka keluar dari fase Yang Real untuk kemudian berhadapan dengan dunia sekitarnya. Pada saat itulah, mereka mengenal Liyan-nya. Saat itulah mereka kemudian sadar bahwa ‘diri’ mereka adalah diri yang Lack; serba berkekurangan. Pencarian atas ‘hasrat’ yang tak dapat dipuaskan dari kampus itu kemudian dicari dalam politik jalanan.

Di sini, peran ‘Father’ (Sang-Ayah) sangat sentral. Dalam perspektif Lacanian, tokoh-tokoh senior Jemaah Tarbiyah yang kemudian mendeklarasikan berdirinya PKS itu adalah ‘Sang-Ayah’. Kemampuan mereka untuk ‘memaksa’ si-anak (mahasiswa) turun ke ranah politik dan dimobilisasi adalah kemampuan mereka untuk meng-kastrasi/memisahkan si anak dari ibunya. Sang-Ayah punya kepentingan untuk mengenalkan anak-anak mahasiswa itu dengan ‘kebudayaan’, yaitu politik praktis di era transisi rezim Suharto, dan dengan demikian menginjeksi mereka dengan logika berpikir yang diinginkan sang-Ayah.

Peran ‘Sang-Ayah’ itulah yang kemudian menjelma pada ‘diri’ PKS. Di sini, kita tidak mendefinisikan ‘Sang-Ayah’ itu lahir dalam PKS. PKS, dalam perspektif ini, hanyalah penjelmaan ‘Sang-Ayah’ dalam bentuk Yang-Lain setelah ia berhasil mengkastrasi mahasiswa. ‘Sang-Ayah’ itu sudah lahir jauh sebelumnya, ketika aktivis-aktivis Jemaah Tarbiyah melakukan konsolidasi bawah tanah. Mahasiswa dakwah kampus, atau KAMMI, adalah ‘anak’ yang harus dibesarkan dalam satu kebudayaan tertentu, yaitu demokratisasi.

Di sinilah ‘si-anak’ atau KAMMI menghadapi proses ‘cermin’ sebagaimana diperkenalkan Lacan. Ketika si-anak keluar dari fase The Real, ia menyadari bahwa ia harus mendapatkan kenyamanan narsistik ‘untuk menjadi’ seseorang. Argumen Lacan, proses tersebut diperoleh melalui pencerminan. Begitu juga KAMMI. Ketika KAMMI keluar dari fase The Real dan masuk pada dunia politiknya begitu reformasi 1998, KAMMI harus mengidentifikasikan dirinya. Ia kemudian bercermin pada The-Other yang ada di sekitarnya.

Namun, sebagaimana kata Lacan, cermin itu tidak memberikan sesuatu yang utuh, melainkan mispersepsi. Ketika KAMMI bercermin ke luar, ia bercermin pada realitas perubahan sosial yang diejawantahkan melalui aksi-aksi demonstrasi. Dari sinilah, gagasan mengenai ‘agent of social change’ kemudian diinjeksikan. ‘Agent of Social Change’ yang dimaksud, tentu saja, bercermin pada realitas bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan-gerakan yang berbasis pada aksi demonstrasi.  ‘Cermin’ ini diperkuat oleh pembenaran dari Father yang menyatakan bahwa ‘ya, kamu memang agent of social change yang harus melakukan demonstrasi’, sehingga cermin ini menjadi basis identifikasi KAMMI.

Kita bisa lihat contoh, misalnya, kondisi ketika KAMMI dideklarasikan. Ketika itu, gerakan mahasiswa baru saja menghadapi krisis ekonomi yang membuat ketidakpercayaan publik terhadap presiden Suharto meluas.  Terma “Kesatuan Aksi” menjadi basis identifikasi awal KAMMI. Ketika ia awal mula didirikan, ia sadar bahwa ‘hasrat narsistik’ mereka tidak bisa terpuaskan hanya dengan mencarinya kepada ibunya –masjid kampus. Keberadaan ‘sang-Ayah’ (tanzhim tarbiyah) yang ingin anaknya terlibat dalam politik juga membuat sang-Anak takut dan tunduk pada perintah ‘Sang-Ayah’ Ia kemudian keluar dari fase The Real mereka di kampus, dan mencari pemuasan hasratnya di luar. Ia mencari ‘cermin’ dan melihat kepada sekelilingnya, krisis ekonomi. Ia segera bercermin dan mengatakan, “hey, aku adalah agent of social change, aku harus demonstrasi!” Dan hal ini diafirmasi oleh The Other, “kalian adalah gerakan aksi/protes terhadap Suharto”. Identifikasi inilah yang kemudian mengantarkan KAMMI pada praktik berbahasa –aksi-aksi gerakan.

Namun, proses pencerminan tersebut baru sebatas konstruksi. Identitas itu ditetapkan melalui fase berikutnya, yaitu fase simbolik. Di fase ini, KAMMI sudah mengenal ‘bahasa’, yang diejawantahkan dalam aksi-aksi gerakan. KAMMI mulai mengenal ‘bahasa’ ketika ia dideklarasikan pada tahun 1998 oleh aktivis-aktivis FSLDK X. KAMMI mula-mula membahasakan diri mereka dengan ‘Deklarasi Malang’. Deklarasi ini menyatakan, “Didasari keprihatinan mendalam terhadap krisis nasional yang melanda negeri ini dan didorong tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat yang masih terus berlangsung, serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan dan perbaikan, maka kami segenap mahasiswa muslim Indonesia mendeklarasikan lahirnya: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)”

Ada dua hal yang bisa diambil dari deklarasi di atas. Pertama, dasar pembentukan. KAMMI dibentuk atas dasar: (1) keprihatinan mendalam terhadap krisis nasional; (2) tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat; dan (3) itikad baik untuk berperan dalam proses perubahan. Dasar ini harus kita lihat sebagai ‘hasil pencerminan’ KAMMI pada waktu itu. The-Other memberikan cermin kepada KAMMI bahwa “kondisi saat ini memang krisis, mahasiswa diperlukan untuk berperan”. KAMMI kemudian memersepsikan diri sesuai dengan krisis tersebut. Inilah yang menjadi dasar identifikasi ‘diri’ KAMMI. Kedua, bentuk gerakan. Setelah bercermin, apa yang KAMMI lakukan? Tentu saja, membahasakan diri sesuai apa yang diberikan oleh cermin! Ia kemudian menutupi kekurangan-kekurangan yang ada sesuai dengan citraan yang diberikan oleh cermin.

Sebagai contoh, seorang anak ingin mencari tahu apakah dia ‘ganteng’ atau tidak. Ia kemudian bercermin, “apakah saya lebih ganteng dari orang lain  dengan pakaian ini”? Cermin bisa saja memberikan jawabannya, “pakaianmu kurang match dsb”. Apa yang diberikan oleh cermin itu, tentu saja, telah terlebih dulu dibandingkan oleh si-anak dengan penampilan orang lain (The-Other). Si-anak kemudian akan mengubah penampilannya dan mencari pakaian yang pas, yang membuat dirinya terlihat lebih ganteng. Begitu juga dengan KAMMI. Ia membandingkan dirinya dengan The-Other dan kemudian membuat format gerakan yang berbasis aksi massa dengan pencerminan tersebut.

Gerakan reformasi 1998 terkenal dengan euforia demonstrasi besar-besaran. Alat penekan Suharto pada waktu itu, yang paling efektif, adalah demonstrasi. Sehingga, pada waktu itu KAMMI masih populer dengan aksi-aksi demonstrasi yang membuatnya sangat dikenal sebagai demonstran-demonstran ulung. KAMMI bergerak dengan melakukan aksi 10.000 massa di Mesjid Al-Azhar, Jakarta, kemudian bergerak dalam aksi-aksi massa besar di kota-kota besar lain (Sidiq, 2003; Rahmat dan Najib, 2001). Puncaknya, pada 20 Mei 1998, KAMMI yang difasilitasi Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais berencana menggelar aksi besar di Monas, yang akhirnya tidak jadi dilaksanakan karena ancaman kepolisian (Sidiq, 2003). Aksi kemudian dipindahkan ke Gedung DPR/MPR dan akhirnya, bersama-sama elemen mahasiswa lain, menyerukan penurunan Suharto.

Format gerakan aksi inilah yang menandai KAMMI masuk pada fase simbolik –fase bahasa. Di sini KAMMI sudah mengenal tuntutan yang dibahasakan dalam bentuk aksi-aksi demonstrasi. KAMMI ingin memuaskan ‘hasrat narsistik’-nya, menciptakan masyarakat dan negara yang Islami, melalui demonstrasi-demonstrasi penolakan terhadap Suharto. Karena bercermin dengan krisis ekonomi dan krisis politik pada waktu itu, KAMMI mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah ‘gerakan aksi’. Sehingga, pada titik ini, kita bisa melihat bahwa ketika KAMMI masuk pada fase simbolik, ia mulai mengenal ‘cara’ memuaskan hasratnya dan mulai mengenal ‘kebudayaan’ berupa politik praktis.

Superioritas ‘Sang-Ayah’
Namun, pada 21 Mei 1998, Suharto akhirnya benar-benar jatuh! Ini menjadikan Kini, yang jadi persoalan bukanlah ‘bagaimana menjatuhkan Suharto’ tetapi bagaimana mengelola Indonesia yang baru saja ditinggalkan penguasanya. Semua kekuatan politik kemudian berlomba-lomba untuk membuat partai politik dan tampil ke pentas demokratisasi sebagai cara untuk men-define Indonesia. Tak ketinggalan pula, Jemaah Tarbiyah. Tak lama sesudah reformasi, ia mentransformasikan dirinya menjadi sebuah partai politik: Partai Keadilan –nanti berubah jadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pertanyaannya, apa kaitan hal ini dengan posisi subjek KAMMI? Ketika KAMMI keluar dari fase The Real, ia menghadapi rasa ‘kehilangan’ yang kemudian menumbuhkan perasaan lack –serba berkekurangan pada diri subjek. Rasa kehilangan tersebut kemudian menimbulkan semacam ‘lubang yang menganga’ pada diri subjek yang membuatnya harus menutupi lubang tersebut (Polimpung, 2008). ‘Lubang yang menganga’ itulah yang dinamakan dengan hasrat. Berbeda dengan ‘kebutuhan’ di fase real, yang bisa dipuaskan oleh ibu biologisnya, hasrat tak bisa dipuaskan. Itulah yang membuat KAMMI kemudian mengidentifikasi dirinya.

Pada akhir tahun 1998, KAMMI menggelar Muktamarnya yang pertama dan memutuskan untuk menjadi Organisasi Masyarakat (Ormas). Sebelumnya, Jemaah Tarbiyah sudah terlebih dulu bertransformasi menjadi partai politik. Konsekuensinya, hubungan antara ‘si-anak’ dan ‘sang-Ayah’ menjadi cukup dilematis. Sebab, dengan keberadaan ‘sang-Ayah’ seperti itu, anak harus menjadikan relasinya dengan ‘Sang-Ayah’ sebagai relasi yang ‘politis’ dan akan bertabrakan dengan identitas-nya sebagai ‘Gerakan Mahasiswa’ –sesuatu yang telah dikonstruksi sejak keluarnya KAMMI dari fase The Real. Kondisi ini akan berbeda jika Tarbiyah memilih untuk menempuh jalur Ormas, misalnya, yang berarti tidak membuat setiap artikulasinya sebagai pengorganisasian politik.

Di Garis Besar Haluan Organisasi yang disahkan di Muktamar tersebut, tertera penjelasan  bahwa, “KAMMI sebagai bagian dari elemen gerakan mahasiswa yang mengedepankan gerakan moral dan intelektual tetap bersikap independent, kritis, moralis dan reformis.  Posisi-posisi itu harus selalu menjadi sikap KAMMI dalam memandang persoalan-persoalan bangsa yang terkait dengan partai politik. KAMMI sebagai organisasi mahasiswa bercorak kepemudaan dan kemahasiswaan harus tetap menjaga kemurnian serta konsistensinya agar tidak terseret secara langsung dalam gerakan politik praktis.”

Dalam berhubungan dengan partai politik, KAMMI membahasakan dirinya dengan terminologi ‘gerakan moral’ dan ‘gerakan intelektual’. ‘Bahasa’ gerakan moral dan gerakan intelektual tersebut dikontraskan dengan gerakan politik praktis yang diasosiasikan dengan partai politik. Untuk menjembatani relasi mereka dengan gerakan politik praktis tersebut, digunakan kata-kata ‘independen, kritis, reformis, dan moralis’. Apa maksudnya? Jika dilihat dari teks ini, KAMMI ingin menegaskan identitasnya sebagai gerakan mahasiswa, yang pada waktu itu adalah gerakan yang independen dan bergerak pada basis kemahasiswaan.

Hal ini merupakan satu catatan penting. Jika mengikuti argument Lacanian, ‘identitas’ itu pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat selalu tergelincir; tidak pernah tetap. Namun, ketergelinciran yang terus-menerus itu kemudian berhenti jika ada satu penanda utama yang menetapkan maknanya. Begitu juga dengan identitas ‘mahasiswa’. Tidak ada yang bisa menyatakan bahwa ‘mahasiswa’ itu siapa. Bagi aktivis, ia adalah ‘bukan partai politik’, ‘bukan pemerintah’, ‘bukan rezim otoriter’, dan seterusnya. Ia adalah apa yang diberikan oleh The Other, yang memiliki kemampuan untuk mengartikulasi hasratnya dan memberikan makna yang tetap.

Namun, ada satu penanda yang menjangkarkan maknanya sehingga ‘bahasa’ menjadi sebuah pemaknaan yang tetap. Inilah yang kemudian disebut seabgai The Master Signifier. Jika kita lihat dalam teks Garis Besar Haluan Organisasi tersebut, identitas KAMMI ditetapkan oleh satu penanda utama: ‘mahasiswa-dakwah’. Penanda utama itulah yang kemudian mengakhiri ketergelinciran makna yang menyertai proses identifikasi KAMMI. Dengan menandai artikulasinya sebagai ‘mahasiswa’, Diri KAMMI secara jelas ditandai: ia adalah gerakan moral dan gerakan intelektual yang merupakan negasi dari gerakan politik praktis.

Pada titik inilah, KAMMI mengenal ‘bahasa’. Si-anak (KAMMI), yang sudah mencapai fase simbolik, kemudian harus masuk pada format kebudayaan tertentu. Ketika ia mengenal bahasa, ia harus tunduk pada aturan-aturan kultural tertentu. Kita sudah memahami bahwa bahasa yang dipahami oleh KAMMI, karena proses identifikasinya, adalah bahasa mahasiswa. Tetapi, jangan lupa pula, KAMMI juga punya bahasa lain yang kemudian membedakannya dengan entitas-entitas mahasiswa yang lain (The Other Students): ‘dakwah’. Bahasa ini merupakan jelmaan dari The-Name-of-Father yang sudah ia pahami sejak ia berpisah dengan ibunya.

Ayah yang simbolik, begitu kata Lacan, memberikan basis aturan-aturan yang mengharuskan si-anak untuk tunduk ketika ia berbahasa. Ketika KAMMI mendeklarasikan dirinya di Malang pada 29 Maret 1998, ia mengenal ‘bahasa’. Tentu saja, ‘bahasa’ itu dirujukkan pada name-of-father yang dimunculkan ‘sang-Ayah’ –Jemaah Tarbiyah. Bahasa dan artikulasi gerak KAMMI, dengan demikian menjadi terikat pada kendali ‘Sang-Ayah’, yang tentu saja diejawantahkan dalam the-name-of-father:, doktrin, perintah, taklimat, atau qarar yang mengharuskan si-anak untuk patuh. Itulah yang kemudian dikenal dengan nama ‘dakwah’. Posisi subjektif ini mencirikan KAMMI sejak ia masuk pada fase bahasa: mahasiswa-dakwah.

Namun, celakanya, pada tahun 1998, ‘Sang-Ayah’ mengubah posisi subjektifnya: ia menjadi partai politik! Di titik ini, jelas posisi subjektif KAMMI mengalami dilemma. Ia sudah mengukuhkan identitasnya dalam sebuah penanda-utama, yaitu mahasiswa-dakwah, dan dengan demikian menetapkan posisi subjektifnya. Diskursus Sang “Pendakwah” mengharuskannya untuk bergerak secara terorganisir dan mengikuti tanzhim dakwah. Namun, ketika posisi subjektif ‘sang-Ayah’ itu berubah dan bertentangan dengan posisi subjektifnya, jelas posisi subjektifnya harus berubah –dalam artian, ia harus mencari cermin baru untuk mengubah identifikasinya.

Pada titik inilah KAMMI mengalami kegalauan. Kita bisa membaca kegalauan ini berlangsung bahkan hingga sekarang! Di satu sisi, KAMMI ingin mempertahankan identitasnya sebagai mahasiswa. Namun, di lain sisi, KAMMI tak bisa berlepas diri dari superioritas ‘Sang-Ayah’. Ada semacam taboo yang menghalangi KAMMI untuk benar-benar mandiri/independen dari sang-Ayah; ini terkait dengan konstruksi budaya yang ditanamkan ‘Sang-Ayah’ kepada KAMMI.

Pada diskursus tentang organisasi (tanzhim) yang ada di Jamaah Tarbiyah, ada dua diskursus penting yang mengikat setiap artikulasi anggota tanzhim dalam satu kesatuan: al-qiyadah wa al-jundiyah dan al-hizb huwa al-jama’ah wa al-jama’ah hiya al-hizb. Konsepsi pertama merujuk pada pengorganisasian model militer, di mana relasi pengurus dan anggota adalah relasi pemimpin dan tentara; sementara konsepsi kedua merujuk pada penyatuan tanzhim dengan partai; konsep yang di Ikhwanul Muslimin dirumuskan di tengah dekade 80an.

Dua konsepsi tersebut melahirkan taboo –meminjam Freud. Jika KAMMI keluar dari pakem itu, ia akan dieksklusi dari jamaah. Tentu saja, ini tak diinginkan oleh KAMMI. Jika ia keluar dari jamaah, meminjam Zizek (1989), rasanya tak hanya membingungkan, tetapi juga menyakitkan! Namun, hal serupa juga terjadi pada posisi subjek KAMMI sebagai mahasiswa. Inilah yang menyebabkan terjadi semacam kegalauan di tubuh KAMMI, yang lama-kelamaan, menyebabkan KAMMI kebingungan menentukan  bahkan jenis kelaminnya sendiri; antara independen dari partai politik atau menyatu dengan partai politik.

Kebingungan ini kemudian akan dapat kita lihat pada artikulasi gerak KAMMI di tahun 2000an. Dari tahun 1998-2000, KAMMI ‘sukses’ mengawal proses-proses demokratisasi dengan memosiskan dirinya sebagai pressure group: menekan kebijakan-kebijakan transisi yang dianggap liberal. Pada titik ini, posisi subjektif KAMMI inheren dengan posisi politik partai yang juga kritis. Namun, lain halnya dengan KAMMI setelah tahun 2000. Kita akan menemukan sebuah kasus penting: Muktamar Luar Biasa KAMMI di Bandung, awal tahun 2001, yang menurunkan Andi Rahmat dari kedudukannya sebagai Ketua Umum KAMMI.

Saya mendapatkan beberapa keterangan dari pelaku sejarah. Dalam pidatonya, juga diperkuat oleh rilis resmi KAMMI pasca-MLB, Andi Rahmat menyatakan mundur karena ia merasa gagal mengelola organisasi sebesar KAMMI. Tetapi, tentu saja, intervensi tangan-tak-terlihat –atau ‘Jemaah Tarbiyah yang sudah bertransformasi menjadi partai politik—sangat terasa. Peserta didatangkan jauh-jauh dari daerah atas instruksi elit-elit PKS. Penyebabnya sederhana: Andi Rahmat punya jalan pikiran sendiri untuk tidak berkontribusi menurunkan presiden Gus Dur, sementara di sisi lain Jamaah menyatakan Gus Dur harus turun.

Pada titik inilah persinggungan posisi subjektif KAMMI dan PKS terjadi. Jelas, PKS tak bisa menerima KAMMI punya jalan pikiran sendiri; ia harus mendisiplinkan ‘si-anak’. Di sisi lain, KAMMI sendiri mencoba untuk melanggar taboo. Ia melanggar perintah-sang-ayah. Ini akhirnya menyebabkan KAMMI sendiri kena marah; dan  akhirnya harus menerima kenyataan didisiplinkan. Kondisi seperti ini, beberapa kali terjadi. Atas dasar yang sejenis –walaupun alasannya ada yang lebih persona— terjadi proses pergantian kepemimpinan ‘luar biasa’ di akhir tahun 2005 dan pertengahan tahun 2009.

Yang jadi persoalan bukanlah mengapa hal semacam ini bisa terjadi, tetapi pertanyaannya, mengapa posisi seperti ini bertahan bahkan hingga 15 tahun tanpa ada resistensi? Bukankah KAMMI juga memiliki hasrat sendiri yang membuat posisinya sebagai subjek mampu memilih? Jawaban yang bisa kita tebak adalah bahwa hasrat KAMMI telah diinterpelasi. Ini berarti bahwa kegalauan KAMMI itu terjadi bukan karena KAMMI menginginkannya Ada kekuatan lain yang mengendalikan hasrat KAMMI sehingga seluruh artikulasi KAMMI akan mengarah pada identifikasi penanda tertentu. Superioritas PKS sebagai ‘Sang-Ayah’ memungkinkannya untuk mempengaruhi subjek agar masuk dan bertindak dalam sebuah gejala kebudayaan tertentu.

Di sini, kita bisa melihat apa yang disebut oleh Foucault (1991) sebagai The Practice of Governmentality –bagaimana sebuah organisasi diatur oleh kekuatan lain yang lebih besar. Dalam perspektif Lacanian, hal ini terjadi karena adanya ‘Sang-Ayah’ yang ingin agar anaknya sesuai dengan budaya yang ia tanamkan. Kemampuan untuk mempengaruhi subjek dalam satu gejala kebudayaan tertentu, menurut Bracher (2005), sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menginterpelasi hasrat. The-Name-of-Father tidak dilakukan melalui suruhan atau koersi, melainkan melalui hasrat. Agar si-anak mengikuti perintah ‘Sang-Ayah’, hasratnya harus diinterpelasi –dibangkitkan kerinduan mendasarnya sehingga ia mengikuti pola sang-Ayah. Artinya, hegemoni itu tidak muncul begitu saja, melainkan dikonstruksi melalui praktik-praktik diskursif.

Bracher melihat ada tiga modus interpelasi: Interpelasi melalui penanda-utama (master signifier), interpelasi melalui citra, dan interpelasi melalui fantasi. Dengan menginterpelasi subjek (KAMMI) melalui tiga cara tersebut, diskursus yang ditampilkan oleh PKS berjalan. Kita akan melihat praktik diskursif tersebut dalam penjelasan di bawah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar