Bagian Kedua dari Empat Tulisan
Relasi
KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.
Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup,
problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan
aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus
independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga
Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai
retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak,
intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru
menyiratkan hal yang sebaliknya.
KAMMI: ‘Sang-Aku’
Dengan
melihat analisis Lacan di atas, kita bisa berargumen bahwa relasi ‘ayah
dan anak’, yang dalam bahasa Ilmu Politik digambarkan sebagai ‘relasi
patron-klien’ menggambarkan bahwa ada semacam konstruksi budaya
(Phallus) yang mendisiplinkan klien dan menjadikannya berada pada sebuah
sistem penandaan tertentu. Begitu juga ketika kita membaca relasi KAMMI
dan PKS. Tak diragukan lagi, walaupun elit-elit KAMMI menyatakan bahwa
KAMMI bersifat independen dan tak berhubungan dengan PKS, relasi yang
ditumbuhkan bersifat klientelistik; terlihat dari peran sentral alumni
yang berada di PKS dalam mengendalikan aksi-aksi gerakan KAMMI (lihat
Kurniawan, 2013; Machmudi, 2006; Muhtadi, 2012).
Pertanyaan yang
perlu kita ajukan adalah, mengapa dengan relasi klientelistik tersebut,
mengapa proses kultural tersebut bertahan hingga kini? Dan mengapa
relasi kultural ini mengakar sedemikian rupa, hingga jarang sekali ada
kader KAMMI yang berani mempertanyakannya, dan dengan demikian menutup
kemungkinan perubahan? Pada titik ini, kritik kebudayaan yang ditawarkan
melalui psikoanalisis Lacanian menjadi cukup relevan untuk membongkar
praktik-praktik diskursif tersebut.
Saya akan memulai dari proses
perkembangan KAMMI ketika ia lahir –fase Pra-Oedipal dalam terminology
Lacanian. Andi Rahmat dan Muhammad Najib menggambarkan proses kelahiran
ini secara cerdas dalam bukunya, “Gerakan Perlawanan dari Masjid
Kampus”. Menurut Rahmat dan Najib (2001), KAMMI dilahirkan dari dua
variable penting: ‘masjid’ dan ‘kampus’. KAMMI tidak lahir dari
‘deklarasi’ 29 Maret 1998. KAMMI, diafirmasi juga oleh Imam (2010),
lahir ketika aktivis-aktivis Muslim membawa embrio yang bernama Jemaah
Tarbiyah dari Mesir. Oleh sebab itu, memahami KAMMi harus ditarik jauh
ke belakang, di tahun 1980an, ketika aktivis dakwah memasuki Indonesia
dan beroperasi di masjid-masjid kampus.
KAMMI lahir dari
aktivis-aktivis masjid yang kemudian bertransformasi menjadi kekuatan
politik setelah krisis ekonomi bergulir di tahun 1998. Aktivis-aktivis
masjid kampus ini adalah mereka yang membawa kesalihan dan
mengartikulasikannya dalam pergerakan mahasiswa. Dimulai dari adaptasi
gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin yang dibawa melalui proses
penerjemahan buku pada tahun 1980an, aktivis-aktivis dakwah yang
bernaung dalam LDK mulai mengartikulasikan ‘Islam’ dalam kerangka
‘dakwah kampus’, menarik aktivis-aktivis mahasiswa dan mulai
mendakwahkan Islam di kalangan mereka. Tidak ada aksi politik di sini;
yang ada hanyalah dakwah kepada mahasiswa yang diatur melalui
tanzhim/organisasi yang bersifat ‘amniyah/rahasia (Machmudi, 2006).
‘Diskursus’
yang ditampilkan oleh Jemaah Tarbiyah di era awal pembentukan dan
konsolidasinya di Indonesia adalah diskursus tentang ‘negara Islam’
(Machmudi, 2006). Bagi aktivis Jemaah Tarbiyah, pembentukan basis-basis
sosial untuk menuju negara Islam menjadi penting. Maka dari itu, Jemaah
Tarbiyah menggunakan halaqah (kelompok-kelompok kecil) sebagai bagian
penting dari pembangunan basis sosial dakwah. Pembangunan basis dakwah
tersebut, pada mulanya dilakukan di kampus-kampus. Mengapa kampus?
Machmudi (2006) mencatat, kampus menjadi ‘sarana’ artikulasi setelah
pemerintah Orde Baru mendepolitisasi aktivitas Islam Politik.
Jika
menggunakan term Lacanian, aktivitas ‘dakwah kampus’ ini adalah fase
pra-oedipal. Mahasiswa masih bersatu dengan Liyan (The-Other), yaitu
Jemaah Tarbiyah yang berbasis di masjid-masjid kampus (Machmudi, 2006).
Ia hanya mengenali lingkungan dari gerakan dakwah itu. Kebutuhan mereka,
yaitu dakwah dan artikulasi keagamaan, terpenuhi dengan dakwah kampus
itu. Dengan berdakwah dan menampilkan kesalihan di kampus, ‘hasrat’
untuk meng-Islamisasi lingkungan terpenuhi. Mahasiswa berada pada fase
The Real, kondisi ‘state of nature’ ketika aktivitas dakwah hanyalah
pada seruan keagamaan di kampus atau kajian-kajian keagamaan di masjid.
Mahasiswa dan gerakan dakwah adalah satu; tidak terpisahkan. Inilah fase
ketika KAMMI masuk pada proses ‘ideologisasi’ –meminjam istilah Rijalul
Imam (2010).
Namun, kondisi ‘pra-oedipal’ ini tak bisa
terus-menerus terjadi seperti itu. Pada tahun 1998, ‘negara’ mengalami
krisis. Gerakan dakwah mengharuskan dirinya tampil ke panggung politik.
Melalui apa? Tentu saja, mahasiswa! Inilah saat ketika mahasiswa keluar
dari fase The Real dan harus mengenal lingkungannya. Pada tanggal 29
Maret 1998, ketika pertemuan FSLDK X baru saja ditutup di Universitas
Muhammadiyah Malang, aktivis-aktivis dakwah ini kemudian sepakat
membentuk KAMMI.
Tentu saja, lahirnya KAMMI tidak bisa hanya
dipandang dari inisiatif anak-anak muda. Sebagaimana ditanyakan oleh
Sudarsono (2010), bagaimana mungkin organisasi yang baru lahir tak
sampai sebulan bisa menggerakkan massa hingga ribuan mahasiswa? Dalam
catatan yang tersebar di milis KAMMI, kelahiran KAMMI juga merupakan
ikhtiar aktivis-aktivis Jemaah Tarbiyah yang bukan lagi berada pada
posisi mahasiswa. Ketua KAMMI pertama, Fahri Hamzah, dan Sekretaris
Jenderalnya, Haryo Setyoko, bukanlah peserta formal FSLDK X (Meskipun
Fahri dan Haryo adalah tokoh LDK ketika zamannya). Campur tangan
tokoh-tokoh senior Jemaah Tarbiyah masih sangat besar.
Apa
artinya ini? Dalam perspektif Lacanian, aktivis dakwah kampus pada saat
itu ‘diharuskan’ untuk keluar dari fase The Real-nya. Medan yang
ditempuh adalah pertemuan FSLDK. Mereka keluar dari fase Yang Real untuk
kemudian berhadapan dengan dunia sekitarnya. Pada saat itulah, mereka
mengenal Liyan-nya. Saat itulah mereka kemudian sadar bahwa ‘diri’
mereka adalah diri yang Lack; serba berkekurangan. Pencarian atas
‘hasrat’ yang tak dapat dipuaskan dari kampus itu kemudian dicari dalam
politik jalanan.
Di sini, peran ‘Father’ (Sang-Ayah) sangat
sentral. Dalam perspektif Lacanian, tokoh-tokoh senior Jemaah Tarbiyah
yang kemudian mendeklarasikan berdirinya PKS itu adalah ‘Sang-Ayah’.
Kemampuan mereka untuk ‘memaksa’ si-anak (mahasiswa) turun ke ranah
politik dan dimobilisasi adalah kemampuan mereka untuk
meng-kastrasi/memisahkan si anak dari ibunya. Sang-Ayah punya
kepentingan untuk mengenalkan anak-anak mahasiswa itu dengan
‘kebudayaan’, yaitu politik praktis di era transisi rezim Suharto, dan
dengan demikian menginjeksi mereka dengan logika berpikir yang
diinginkan sang-Ayah.
Peran ‘Sang-Ayah’ itulah yang kemudian
menjelma pada ‘diri’ PKS. Di sini, kita tidak mendefinisikan ‘Sang-Ayah’
itu lahir dalam PKS. PKS, dalam perspektif ini, hanyalah penjelmaan
‘Sang-Ayah’ dalam bentuk Yang-Lain setelah ia berhasil mengkastrasi
mahasiswa. ‘Sang-Ayah’ itu sudah lahir jauh sebelumnya, ketika
aktivis-aktivis Jemaah Tarbiyah melakukan konsolidasi bawah tanah.
Mahasiswa dakwah kampus, atau KAMMI, adalah ‘anak’ yang harus dibesarkan
dalam satu kebudayaan tertentu, yaitu demokratisasi.
Di sinilah ‘si-anak’ atau KAMMI menghadapi proses ‘cermin’ sebagaimana diperkenalkan Lacan. Ketika si-anak keluar dari fase The Real,
ia menyadari bahwa ia harus mendapatkan kenyamanan narsistik ‘untuk
menjadi’ seseorang. Argumen Lacan, proses tersebut diperoleh melalui
pencerminan. Begitu juga KAMMI. Ketika KAMMI keluar dari fase The Real
dan masuk pada dunia politiknya begitu reformasi 1998, KAMMI harus
mengidentifikasikan dirinya. Ia kemudian bercermin pada The-Other yang
ada di sekitarnya.
Namun, sebagaimana kata Lacan, cermin itu
tidak memberikan sesuatu yang utuh, melainkan mispersepsi. Ketika KAMMI
bercermin ke luar, ia bercermin pada realitas perubahan sosial yang
diejawantahkan melalui aksi-aksi demonstrasi. Dari sinilah, gagasan
mengenai ‘agent of social change’ kemudian diinjeksikan. ‘Agent of Social Change’
yang dimaksud, tentu saja, bercermin pada realitas bahwa gerakan
mahasiswa adalah gerakan-gerakan yang berbasis pada aksi demonstrasi.
‘Cermin’ ini diperkuat oleh pembenaran dari Father yang menyatakan bahwa
‘ya, kamu memang agent of social change yang harus melakukan
demonstrasi’, sehingga cermin ini menjadi basis identifikasi KAMMI.
Kita
bisa lihat contoh, misalnya, kondisi ketika KAMMI dideklarasikan.
Ketika itu, gerakan mahasiswa baru saja menghadapi krisis ekonomi yang
membuat ketidakpercayaan publik terhadap presiden Suharto meluas. Terma
“Kesatuan Aksi” menjadi basis identifikasi awal KAMMI. Ketika ia awal
mula didirikan, ia sadar bahwa ‘hasrat narsistik’ mereka tidak bisa
terpuaskan hanya dengan mencarinya kepada ibunya –masjid kampus.
Keberadaan ‘sang-Ayah’ (tanzhim tarbiyah) yang ingin anaknya terlibat
dalam politik juga membuat sang-Anak takut dan tunduk pada perintah
‘Sang-Ayah’ Ia kemudian keluar dari fase The Real mereka di kampus, dan
mencari pemuasan hasratnya di luar. Ia mencari ‘cermin’ dan melihat
kepada sekelilingnya, krisis ekonomi. Ia segera bercermin dan
mengatakan, “hey, aku adalah agent of social change, aku harus
demonstrasi!” Dan hal ini diafirmasi oleh The Other, “kalian adalah
gerakan aksi/protes terhadap Suharto”. Identifikasi inilah yang kemudian
mengantarkan KAMMI pada praktik berbahasa –aksi-aksi gerakan.
Namun,
proses pencerminan tersebut baru sebatas konstruksi. Identitas itu
ditetapkan melalui fase berikutnya, yaitu fase simbolik. Di fase ini,
KAMMI sudah mengenal ‘bahasa’, yang diejawantahkan dalam aksi-aksi
gerakan. KAMMI mulai mengenal ‘bahasa’ ketika ia dideklarasikan pada
tahun 1998 oleh aktivis-aktivis FSLDK X. KAMMI mula-mula membahasakan
diri mereka dengan ‘Deklarasi Malang’. Deklarasi ini menyatakan,
“Didasari keprihatinan mendalam terhadap krisis nasional yang melanda
negeri ini dan didorong tanggung jawab moral terhadap penderitaan rakyat
yang masih terus berlangsung, serta itikad baik untuk berperan aktif
dalam proses perubahan dan perbaikan, maka kami segenap mahasiswa muslim
Indonesia mendeklarasikan lahirnya: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI)”
Ada dua hal yang bisa diambil dari deklarasi
di atas. Pertama, dasar pembentukan. KAMMI dibentuk atas dasar: (1)
keprihatinan mendalam terhadap krisis nasional; (2) tanggung jawab moral
terhadap penderitaan rakyat; dan (3) itikad baik untuk berperan dalam
proses perubahan. Dasar ini harus kita lihat sebagai ‘hasil pencerminan’
KAMMI pada waktu itu. The-Other memberikan cermin kepada KAMMI bahwa
“kondisi saat ini memang krisis, mahasiswa diperlukan untuk berperan”.
KAMMI kemudian memersepsikan diri sesuai dengan krisis tersebut. Inilah
yang menjadi dasar identifikasi ‘diri’ KAMMI. Kedua, bentuk gerakan.
Setelah bercermin, apa yang KAMMI lakukan? Tentu saja, membahasakan diri
sesuai apa yang diberikan oleh cermin! Ia kemudian menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada sesuai dengan citraan yang diberikan oleh
cermin.
Sebagai contoh, seorang anak ingin mencari tahu apakah
dia ‘ganteng’ atau tidak. Ia kemudian bercermin, “apakah saya lebih
ganteng dari orang lain dengan pakaian ini”? Cermin bisa saja
memberikan jawabannya, “pakaianmu kurang match dsb”. Apa yang diberikan
oleh cermin itu, tentu saja, telah terlebih dulu dibandingkan oleh
si-anak dengan penampilan orang lain (The-Other). Si-anak
kemudian akan mengubah penampilannya dan mencari pakaian yang pas, yang
membuat dirinya terlihat lebih ganteng. Begitu juga dengan KAMMI. Ia
membandingkan dirinya dengan The-Other dan kemudian membuat format
gerakan yang berbasis aksi massa dengan pencerminan tersebut.
Gerakan
reformasi 1998 terkenal dengan euforia demonstrasi besar-besaran. Alat
penekan Suharto pada waktu itu, yang paling efektif, adalah demonstrasi.
Sehingga, pada waktu itu KAMMI masih populer dengan aksi-aksi
demonstrasi yang membuatnya sangat dikenal sebagai demonstran-demonstran
ulung. KAMMI bergerak dengan melakukan aksi 10.000 massa di Mesjid
Al-Azhar, Jakarta, kemudian bergerak dalam aksi-aksi massa besar di
kota-kota besar lain (Sidiq, 2003; Rahmat dan Najib, 2001). Puncaknya,
pada 20 Mei 1998, KAMMI yang difasilitasi Ketua Umum PP Muhammadiyah
Amien Rais berencana menggelar aksi besar di Monas, yang akhirnya tidak
jadi dilaksanakan karena ancaman kepolisian (Sidiq, 2003). Aksi kemudian
dipindahkan ke Gedung DPR/MPR dan akhirnya, bersama-sama elemen
mahasiswa lain, menyerukan penurunan Suharto.
Format gerakan aksi
inilah yang menandai KAMMI masuk pada fase simbolik –fase bahasa. Di
sini KAMMI sudah mengenal tuntutan yang dibahasakan dalam bentuk
aksi-aksi demonstrasi. KAMMI ingin memuaskan ‘hasrat narsistik’-nya,
menciptakan masyarakat dan negara yang Islami, melalui
demonstrasi-demonstrasi penolakan terhadap Suharto. Karena bercermin
dengan krisis ekonomi dan krisis politik pada waktu itu, KAMMI
mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah ‘gerakan aksi’. Sehingga,
pada titik ini, kita bisa melihat bahwa ketika KAMMI masuk pada fase
simbolik, ia mulai mengenal ‘cara’ memuaskan hasratnya dan mulai
mengenal ‘kebudayaan’ berupa politik praktis.
Superioritas ‘Sang-Ayah’
Namun,
pada 21 Mei 1998, Suharto akhirnya benar-benar jatuh! Ini menjadikan
Kini, yang jadi persoalan bukanlah ‘bagaimana menjatuhkan Suharto’
tetapi bagaimana mengelola Indonesia yang baru saja ditinggalkan
penguasanya. Semua kekuatan politik kemudian berlomba-lomba untuk
membuat partai politik dan tampil ke pentas demokratisasi sebagai cara
untuk men-define Indonesia. Tak ketinggalan pula, Jemaah Tarbiyah. Tak
lama sesudah reformasi, ia mentransformasikan dirinya menjadi sebuah
partai politik: Partai Keadilan –nanti berubah jadi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Pertanyaannya, apa kaitan hal ini dengan posisi
subjek KAMMI? Ketika KAMMI keluar dari fase The Real, ia menghadapi rasa
‘kehilangan’ yang kemudian menumbuhkan perasaan lack –serba
berkekurangan pada diri subjek. Rasa kehilangan tersebut kemudian
menimbulkan semacam ‘lubang yang menganga’ pada diri subjek yang
membuatnya harus menutupi lubang tersebut (Polimpung, 2008). ‘Lubang
yang menganga’ itulah yang dinamakan dengan hasrat. Berbeda dengan
‘kebutuhan’ di fase real, yang bisa dipuaskan oleh ibu biologisnya,
hasrat tak bisa dipuaskan. Itulah yang membuat KAMMI kemudian
mengidentifikasi dirinya.
Pada akhir tahun 1998, KAMMI menggelar
Muktamarnya yang pertama dan memutuskan untuk menjadi Organisasi
Masyarakat (Ormas). Sebelumnya, Jemaah Tarbiyah sudah terlebih dulu
bertransformasi menjadi partai politik. Konsekuensinya, hubungan antara
‘si-anak’ dan ‘sang-Ayah’ menjadi cukup dilematis. Sebab, dengan
keberadaan ‘sang-Ayah’ seperti itu, anak harus menjadikan relasinya
dengan ‘Sang-Ayah’ sebagai relasi yang ‘politis’ dan akan bertabrakan
dengan identitas-nya sebagai ‘Gerakan Mahasiswa’ –sesuatu yang telah
dikonstruksi sejak keluarnya KAMMI dari fase The Real. Kondisi ini akan
berbeda jika Tarbiyah memilih untuk menempuh jalur Ormas, misalnya, yang
berarti tidak membuat setiap artikulasinya sebagai pengorganisasian
politik.
Di Garis Besar Haluan Organisasi yang disahkan di
Muktamar tersebut, tertera penjelasan bahwa, “KAMMI sebagai bagian dari
elemen gerakan mahasiswa yang mengedepankan gerakan moral dan
intelektual tetap bersikap independent, kritis, moralis dan reformis.
Posisi-posisi itu harus selalu menjadi sikap KAMMI dalam memandang
persoalan-persoalan bangsa yang terkait dengan partai politik. KAMMI
sebagai organisasi mahasiswa bercorak kepemudaan dan kemahasiswaan harus
tetap menjaga kemurnian serta konsistensinya agar tidak terseret secara
langsung dalam gerakan politik praktis.”
Dalam berhubungan
dengan partai politik, KAMMI membahasakan dirinya dengan terminologi
‘gerakan moral’ dan ‘gerakan intelektual’. ‘Bahasa’ gerakan moral dan
gerakan intelektual tersebut dikontraskan dengan gerakan politik praktis
yang diasosiasikan dengan partai politik. Untuk menjembatani relasi
mereka dengan gerakan politik praktis tersebut, digunakan kata-kata
‘independen, kritis, reformis, dan moralis’. Apa maksudnya? Jika dilihat
dari teks ini, KAMMI ingin menegaskan identitasnya sebagai gerakan
mahasiswa, yang pada waktu itu adalah gerakan yang independen dan
bergerak pada basis kemahasiswaan.
Hal ini merupakan satu catatan
penting. Jika mengikuti argument Lacanian, ‘identitas’ itu pada
dasarnya adalah sesuatu yang bersifat selalu tergelincir; tidak pernah
tetap. Namun, ketergelinciran yang terus-menerus itu kemudian berhenti
jika ada satu penanda utama yang menetapkan maknanya. Begitu juga dengan
identitas ‘mahasiswa’. Tidak ada yang bisa menyatakan bahwa ‘mahasiswa’
itu siapa. Bagi aktivis, ia adalah ‘bukan partai politik’, ‘bukan
pemerintah’, ‘bukan rezim otoriter’, dan seterusnya. Ia adalah apa yang
diberikan oleh The Other, yang memiliki kemampuan untuk mengartikulasi
hasratnya dan memberikan makna yang tetap.
Namun, ada satu
penanda yang menjangkarkan maknanya sehingga ‘bahasa’ menjadi sebuah
pemaknaan yang tetap. Inilah yang kemudian disebut seabgai The Master Signifier.
Jika kita lihat dalam teks Garis Besar Haluan Organisasi tersebut,
identitas KAMMI ditetapkan oleh satu penanda utama: ‘mahasiswa-dakwah’.
Penanda utama itulah yang kemudian mengakhiri ketergelinciran makna yang
menyertai proses identifikasi KAMMI. Dengan menandai artikulasinya
sebagai ‘mahasiswa’, Diri KAMMI secara jelas ditandai: ia adalah gerakan
moral dan gerakan intelektual yang merupakan negasi dari gerakan
politik praktis.
Pada titik inilah, KAMMI mengenal ‘bahasa’.
Si-anak (KAMMI), yang sudah mencapai fase simbolik, kemudian harus masuk
pada format kebudayaan tertentu. Ketika ia mengenal bahasa, ia harus
tunduk pada aturan-aturan kultural tertentu. Kita sudah memahami bahwa
bahasa yang dipahami oleh KAMMI, karena proses identifikasinya, adalah
bahasa mahasiswa. Tetapi, jangan lupa pula, KAMMI juga punya bahasa lain
yang kemudian membedakannya dengan entitas-entitas mahasiswa yang lain (The Other Students): ‘dakwah’. Bahasa ini merupakan jelmaan dari The-Name-of-Father yang sudah ia pahami sejak ia berpisah dengan ibunya.
Ayah
yang simbolik, begitu kata Lacan, memberikan basis aturan-aturan yang
mengharuskan si-anak untuk tunduk ketika ia berbahasa. Ketika KAMMI
mendeklarasikan dirinya di Malang pada 29 Maret 1998, ia mengenal
‘bahasa’. Tentu saja, ‘bahasa’ itu dirujukkan pada name-of-father yang
dimunculkan ‘sang-Ayah’ –Jemaah Tarbiyah. Bahasa dan artikulasi gerak
KAMMI, dengan demikian menjadi terikat pada kendali ‘Sang-Ayah’, yang
tentu saja diejawantahkan dalam the-name-of-father:, doktrin, perintah,
taklimat, atau qarar yang mengharuskan si-anak untuk patuh. Itulah yang
kemudian dikenal dengan nama ‘dakwah’. Posisi subjektif ini mencirikan
KAMMI sejak ia masuk pada fase bahasa: mahasiswa-dakwah.
Namun,
celakanya, pada tahun 1998, ‘Sang-Ayah’ mengubah posisi subjektifnya: ia
menjadi partai politik! Di titik ini, jelas posisi subjektif KAMMI
mengalami dilemma. Ia sudah mengukuhkan identitasnya dalam sebuah
penanda-utama, yaitu mahasiswa-dakwah, dan dengan demikian menetapkan
posisi subjektifnya. Diskursus Sang “Pendakwah” mengharuskannya untuk
bergerak secara terorganisir dan mengikuti tanzhim dakwah. Namun, ketika
posisi subjektif ‘sang-Ayah’ itu berubah dan bertentangan dengan posisi
subjektifnya, jelas posisi subjektifnya harus berubah –dalam artian, ia
harus mencari cermin baru untuk mengubah identifikasinya.
Pada
titik inilah KAMMI mengalami kegalauan. Kita bisa membaca kegalauan ini
berlangsung bahkan hingga sekarang! Di satu sisi, KAMMI ingin
mempertahankan identitasnya sebagai mahasiswa. Namun, di lain sisi,
KAMMI tak bisa berlepas diri dari superioritas ‘Sang-Ayah’. Ada semacam
taboo yang menghalangi KAMMI untuk benar-benar mandiri/independen dari
sang-Ayah; ini terkait dengan konstruksi budaya yang ditanamkan
‘Sang-Ayah’ kepada KAMMI.
Pada diskursus tentang organisasi
(tanzhim) yang ada di Jamaah Tarbiyah, ada dua diskursus penting yang
mengikat setiap artikulasi anggota tanzhim dalam satu kesatuan: al-qiyadah wa al-jundiyah dan al-hizb huwa al-jama’ah wa al-jama’ah hiya al-hizb.
Konsepsi pertama merujuk pada pengorganisasian model militer, di mana
relasi pengurus dan anggota adalah relasi pemimpin dan tentara;
sementara konsepsi kedua merujuk pada penyatuan tanzhim dengan partai;
konsep yang di Ikhwanul Muslimin dirumuskan di tengah dekade 80an.
Dua konsepsi tersebut melahirkan taboo
–meminjam Freud. Jika KAMMI keluar dari pakem itu, ia akan dieksklusi
dari jamaah. Tentu saja, ini tak diinginkan oleh KAMMI. Jika ia keluar
dari jamaah, meminjam Zizek (1989), rasanya tak hanya membingungkan,
tetapi juga menyakitkan! Namun, hal serupa juga terjadi pada posisi
subjek KAMMI sebagai mahasiswa. Inilah yang menyebabkan terjadi semacam
kegalauan di tubuh KAMMI, yang lama-kelamaan, menyebabkan KAMMI
kebingungan menentukan bahkan jenis kelaminnya sendiri; antara
independen dari partai politik atau menyatu dengan partai politik.
Kebingungan
ini kemudian akan dapat kita lihat pada artikulasi gerak KAMMI di tahun
2000an. Dari tahun 1998-2000, KAMMI ‘sukses’ mengawal proses-proses
demokratisasi dengan memosiskan dirinya sebagai pressure group: menekan
kebijakan-kebijakan transisi yang dianggap liberal. Pada titik ini,
posisi subjektif KAMMI inheren dengan posisi politik partai yang juga
kritis. Namun, lain halnya dengan KAMMI setelah tahun 2000. Kita akan
menemukan sebuah kasus penting: Muktamar Luar Biasa KAMMI di Bandung,
awal tahun 2001, yang menurunkan Andi Rahmat dari kedudukannya sebagai
Ketua Umum KAMMI.
Saya mendapatkan beberapa keterangan dari
pelaku sejarah. Dalam pidatonya, juga diperkuat oleh rilis resmi KAMMI
pasca-MLB, Andi Rahmat menyatakan mundur karena ia merasa gagal
mengelola organisasi sebesar KAMMI. Tetapi, tentu saja, intervensi
tangan-tak-terlihat –atau ‘Jemaah Tarbiyah yang sudah bertransformasi
menjadi partai politik—sangat terasa. Peserta didatangkan jauh-jauh dari
daerah atas instruksi elit-elit PKS. Penyebabnya sederhana: Andi Rahmat
punya jalan pikiran sendiri untuk tidak berkontribusi menurunkan
presiden Gus Dur, sementara di sisi lain Jamaah menyatakan Gus Dur harus
turun.
Pada titik inilah persinggungan posisi subjektif KAMMI
dan PKS terjadi. Jelas, PKS tak bisa menerima KAMMI punya jalan pikiran
sendiri; ia harus mendisiplinkan ‘si-anak’. Di sisi lain, KAMMI sendiri
mencoba untuk melanggar taboo. Ia melanggar perintah-sang-ayah. Ini
akhirnya menyebabkan KAMMI sendiri kena marah; dan akhirnya harus
menerima kenyataan didisiplinkan. Kondisi seperti ini, beberapa kali
terjadi. Atas dasar yang sejenis –walaupun alasannya ada yang lebih
persona— terjadi proses pergantian kepemimpinan ‘luar biasa’ di akhir
tahun 2005 dan pertengahan tahun 2009.
Yang jadi persoalan
bukanlah mengapa hal semacam ini bisa terjadi, tetapi pertanyaannya,
mengapa posisi seperti ini bertahan bahkan hingga 15 tahun tanpa ada
resistensi? Bukankah KAMMI juga memiliki hasrat sendiri yang membuat
posisinya sebagai subjek mampu memilih? Jawaban yang bisa kita tebak
adalah bahwa hasrat KAMMI telah diinterpelasi. Ini berarti bahwa
kegalauan KAMMI itu terjadi bukan karena KAMMI menginginkannya Ada
kekuatan lain yang mengendalikan hasrat KAMMI sehingga seluruh
artikulasi KAMMI akan mengarah pada identifikasi penanda tertentu.
Superioritas PKS sebagai ‘Sang-Ayah’ memungkinkannya untuk mempengaruhi
subjek agar masuk dan bertindak dalam sebuah gejala kebudayaan tertentu.
Di sini, kita bisa melihat apa yang disebut oleh Foucault (1991) sebagai The Practice of Governmentality –bagaimana
sebuah organisasi diatur oleh kekuatan lain yang lebih besar. Dalam
perspektif Lacanian, hal ini terjadi karena adanya ‘Sang-Ayah’ yang
ingin agar anaknya sesuai dengan budaya yang ia tanamkan. Kemampuan
untuk mempengaruhi subjek dalam satu gejala kebudayaan tertentu, menurut
Bracher (2005), sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menginterpelasi
hasrat. The-Name-of-Father tidak dilakukan melalui suruhan atau
koersi, melainkan melalui hasrat. Agar si-anak mengikuti perintah
‘Sang-Ayah’, hasratnya harus diinterpelasi –dibangkitkan kerinduan
mendasarnya sehingga ia mengikuti pola sang-Ayah. Artinya, hegemoni itu
tidak muncul begitu saja, melainkan dikonstruksi melalui praktik-praktik
diskursif.
Bracher melihat ada tiga modus interpelasi:
Interpelasi melalui penanda-utama (master signifier), interpelasi
melalui citra, dan interpelasi melalui fantasi. Dengan menginterpelasi
subjek (KAMMI) melalui tiga cara tersebut, diskursus yang ditampilkan
oleh PKS berjalan. Kita akan melihat praktik diskursif tersebut dalam
penjelasan di bawah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar