Pegiat KAMMI Kultural Jogja
Bagian Pertama dari Empat Tulisan
Relasi
KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan.
Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup,
problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan
aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus
independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga
Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai
retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak,
intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru
menyiratkan hal yang sebaliknya.
Tulisan ini berniat untuk
menyingkap, mengapa hubungan KAMMI dan PKS selama ini bagaikan ‘anak’
dan ‘ayah’; seluruh artikulasi KAMMI hampir selalu berada dalam pola
permainan yang digariskan oleh sang ‘ayah’. Kasus Muktamar Luar Biasa di
tahun 2009, misalnya, mencerminkan praktik pendisiplinan ketika KAMMI
melakukan sesuatu yang melanggar perintah PKS dengan bermanuver
mendukung salah satu calon presiden yang tidak direstui oleh PKS.
Praktik serupa terjadi baik dari tingkat komisariat hingga pusat.
Relasi
antara KAMMI dan PKS yang menyerupai ‘anak dan ayah’ ini akan sangat
relevan jika kita dipandang dalam perspektif psikoanalisis yang diajukan
oleh Jacques Lacan. Yang menarik dari Lacan adalah bahwa setiap
perilaku individual tidak dipahami dari ‘apa yang ia lakukan’ secara
sadar, melainkan pada konstruksi ketidaksadaran yang menyebabkan ia
melakukan hal tersebut. Bagi Lacan, ketidaksadaran berstruktur seperti
Bahasa (Bracher, 2005). Untuk itu, melihat relasi KAMMI dan PKS dalam
ruang ketidaksadaran akan memberikan kita sebuah penjelasan yang lebih
adequat mengenai ‘independensi KAMMI’.
Pemikiran
Psikoanalisis Lacan tak bisa dilepaskan dari pemikir psikologi
terkemuka, Sigmund Freud. Freud pertama kali menyatakan bahwa ‘diri’
manusia adalah diri yang terbelah (split) –antara kesadaran dan
ketidaksadaran. Dalam terminology Freudian, yang kemudian diteruskan
Lacan, praktik kesadaran manusia ditentukan oleh ketidaksadaran. Ia
menolak slogan Cartesian yang selama ini menjadi ‘ideologi’ bagi
positivisme Barat: Cogito Ergo Sum –‘Aku’ berpikir, maka ‘aku’ ada.
‘Aku’ yang dipahami dalam logika Cartesian adalah aku yang absolut,
kuat, dan mandiri.
Gagasan ini menempatkan ‘aku’ manusia sebagai
centre dari segala bentuk aktivitas. Terminologi Freudian mencoba untuk
mendestabilisasi pemahaman Cartesian ini dengan mempertanyakan ‘Aku’
(Cogito). Benarkah bahwa eksistensi ‘Aku’ itu ditentukan oleh kesadaran
(Cogito)? Menurut Freud, ketidaksadaran itu muncul sebelum kesadaran.
Namun, ketidaksadaran itu adalah sesuatu yang merepresi kesadaran dalam
bentuk neurosis atau obsesi. Ia melihat, misalnya, dalam kasus ‘manusia
tikus’ (ratman) –manusia yang memiliki obsesi-obsesi neurotic tertentu
sebagaimana dianalisis dalam kasus psikiatri yang ditangani Freud— yang
menurutnya mencerminkan bagaimana ketidaksadaran merepresi kesadaran
manusia. Untuk menghindari represi dan neurosis itu, Freud kemudian
mendeklarasikan sebuah istilah: Wo Es War, Soll Ich Werden—Di mana ada
Id, di situ ada Ego. Agar ketidaksadaran tidak merepresi subjek, Freud
berargumen untuk ‘memperkuat Ego, agar ia tidak bisa direpresi oleh
ketidaksadarannya.
Lacan tidak setuju itu. Baginya, penemuan
bahwa ‘ketidaksadaran’ itu direpresi bukan berarti bahwa
‘ketidaksadaran’ itu harus dikendalikan –baginya ini tidak mungkin.
Pertanyaan yang diulas Lacan bukanlah ‘bagaimana mengendalikan
ketidaksaran’, tetapi justru lebih mendasar: bagaimana ketidaksadaran
itu menciptakan proyeksi mengenai ‘diri’ mahasiswa. Bagi Lacan,
‘kesadaran’ manusia, yang diejawantahkan dalam konsepsi mengenai ‘diri’
–identitas— pada dasarnya adalah sesuatu yang ilusif. Ia diproyeksikan
oleh sistem penandaan yang tak pernah berada pada posisi ‘tetap’. Pada
titik inilah, Lacan memulai analisisnya tentang ‘ketidaksadaran’ itu
dalam bentuk perkembangan manusia.
Konsep perkembangan manusia
dikembangkan oleh Lacan dari konsep ‘Oedipus Complex’ yang pada awalnya
diajukan oleh Freud. Lacan melihat perkembangan manusia dari tiga fase:
‘Yang-Nyata’ (The Real), Imajiner, dan Simbolik. Tiga fase ini dilihat
dari perkembangan manusia ketika ia menjadi bayi hingga ia dewasa.
Ketika
seseorang menjadi bayi, ia hidup pada fase The Real. Pada masa ini,
manusia tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia melihat kehidupan pada apa
yang ada di sekitarnya. Tak ada perbedaan antara bayi dengan
‘yang-Lain’, karena bayi menggantungkan hidup pada ibu yang menyapih dan
membesarkannya. Dengan demikian, ia hanya mengenal ‘hasrat’ yang
dipenuhi oleh objek –ibunya. Ketika ia perlu makanan, ia mendapatkan
dari ASI. Ketika ia butuh kenyamanan, ia mendapatkannya dari ibunya. Dan
lain sebagainya. Pada titik ini, bayi mengenal “kebutuhan”, tetapi
kebutuhan itu langsung terpuaskan dan terpenuhi oleh ibunya.
Ketika
sang bayi telah berumur sekitar 6-18 bulan, menurut Lacan, ia mulai
mengenal lingkungan di luar dirinya. Pada titik itulah ia mulai mengenal
ada ‘sesuatu’ di luar dirinya –The-Other (‘Yang-Lain’). Ia mengenal
‘Yang-Lain’ karena Ia sudah memiliki kesadaran bahwa ia terpisah dari
lainnya. Kesadaran akan ‘keterpisahan’ tersebut kemudian mendatangkan
gagasan tentang ‘kehilangan’; ia sadar bahwa ia berpisah dari ibunya.
Pada titik inilah muncul konsep penting: Lack –perasaan bahwa individu
adalah makhluk yang serba-berkekurangan.
Gagasan tentang
‘kehilangan’ ini, dalam konteks anak, tak bisa dilepaskan dari munculnya
seorang figure baru: ‘Ayah’ (Father). Ayah menjadi The-Other yang
memisahkan anak dari ibunya. Seorang anak yang merasa ‘kehilangan’ pada
mulanya akan mencari ‘yang hilang’ itu pada ibunya. Namun, kehadiran
‘sang ayah’ membuatnya tidak mungkin mencari hal itu pada ibunya. Sang
ayah memiliki kekuatan untuk mengkastrasi/memisahkan si anak dari
ibunya, karena : (1) sang-ayah memiliki kepentingan untuk memiliki
ibunya; (2) sang-ayah mempunyai kepentingan untuk mengenalkan si-anak
tentang ‘kebudayaan’ (Polimpung, 2008). Kemarahan ‘sang-ayah’ terhadap
anaknya inilah yang disebut sebagai ‘in the name of Father’ –atas nama
ayah’, yang mengatur seluruh artikulasi yang dilakukan oleh si-anak.
Karena
si bayi sadar bahwa ia terpisah dengan The-Other, dan bahwa ia memiliki
kekurangan akibat keterpisahannya tersebut, ia kemudian mulai mencari
tahu: siapakah ‘aku’? Di sinilah Lacan menyebut sebagai dimulainya fase
Cermin. Seiring keluarnya bayi dari fase The Real, ia mulai masuk pada
fase cermin yang memulai proses identifikasi diri. ‘Aku’
mengidentifikasi dirinya, menurut Lacan, dengan bercermin pada The
Other. Cermin itu tidak memberikan gambaran yang utuh dan objektif pada
identifikasi diri ‘Aku’. Inilah yang disebut Lacan sebagai
‘mispersepsi’ –ketika The Other yang menjadi ‘Cermin’ menarik subjek
untuk bercermin pada dirinya (Hey, subjek, berkacalah padaku!) si subjek
langsung mengidentifikasi dirinya pada cermin tersebut (‘hey, itu
aku!’). Namun, apa yang ia lihat di cermin sejatinya bukanlah dirinya
sendiri; itu adalah citraan yang diberikan oleh ‘cermin’ (Polimpung,
2008; Bracher, 2005).
Lacan menyebut fase ‘Cermin’ ini sebagai
fase imajiner; fase pembentukan ‘diri’ ketika seorang anak
memproyeksikan diri mereka dari citra yang dilahirkan oleh cermin. Lacan
(1977) berargumen bahwa fase Cermin adalah fase yang formatif terhadap
keberadaan ‘aku’. Identitas yang muncul dalam fase Cermin –ketika subjek
memproyeksikan citraannya sebagai ‘aku’— menentukan bagaimana ‘aku’
nantinya terbentuk. Cermin, dalam bahasa Lacan, memberikan
meconnaissance –mispersepsi, kesalahan pengakuan, dsb. Citraan yang
dimispersepsi itu kemudian ditetapkan maknanya oleh
‘the-name-of-father’.
Namun, proses identifikasi diri melalui
cermin itu hanya akan berjalan jika subjek ‘aku’ menyatakan dirinya
dalam bahasa. Artinya, citraan yang ditangkap oleh individu dari cermin
itu baru menjadi ‘identitas’ jika si subjek menyatakan identitasnya
dalam bahasa. Inilah yang disebut oleh Lacan sebagai fase ‘simbolik’.
Ketika ia mulai berbicara, The-Other yang selama ini ditangkap melalui
cermin kemudian mulai distrukturkan dalam sebuah sistem penandaan yang
fixed. Pada titik itulah identitas diri mulai ditetapkan.
Menurut
Lacan, proses penetapan identitas yang berlangsung melalui bahasa itu
pada dasarnya hanya dimungkinkan jika ada Phallus –sesuatu yang menjadi
‘centre’ dari sistem penandaan yang dibuat. Sebuah tatanan simbolik
hanya mungkin ada jika ada sesuatu yang berada di pusat tatanan tersebut
dan mengendalikan sistem penandaan yang beroperasi melalui bahasa
tersebut. Ketika si anak menyatakan diri sebagai ‘aku’ dalam bahasa yang
ia gunakan, ‘Aku’ yang ia maksudkan sejatinya diidentifikasikan oleh
sebuah diskursus tertentu yang mengikat dan membuat makna ‘aku’ tersebut
menjadi bersifat tetap. Lacan tidak percaya ‘aku’ adalah sesuatu yang
kuat dan tetap.
Bagi Lacan, identitas ‘Aku’ sejatinya adalah
identitas yang selalu tergelincir dalam sistem penandaan yang berjalan
siklikal dan terus-menerus. Seorang ‘anak’ menyatakan diri sebagai ‘aku’
karena ia bukanlah The Other –ini yang cihasilkan dari identifikasi di
fase cermin. Pertanyaannya, kenapa kemudian identitas ‘aku’ ini bisa
ditetapkan oleh sebuah sistem pemaknaan tertentu? Konsep tentang Lack
–kekurangan— yang diderita seorang anak dari fase cerminnya menjadi kata
kuncinya. Ketika seorang anak mengetahui bahwa ia terpisah dari ibunya,
ia kemudian menyadari bahwa hasrat yang ia miliki tidak akan lagi dapat
terpuaskan. Maka dari itu, ia mencari sumber ‘hasrat’ yang lain. Cermin
–The Other— memberikan sumber ‘hasrat’ tersebut dan mengikat hasrat
tersebut dalam sebuah sistem pemaknaan tertentu yang bersifat stabil.
Sistem pemaknaan tersebut, menurut Lacan, terstruktur dalam bahasa yang
disampaikan oleh si anak.
Lacan melihat bahasa dalam kategori
yang sama dengan yang digunakan oleh teFerdinand de Saussure. Bagi
Lacan, bahasa itu membentuk sebuah ‘rantai penandaan’ (chain of
signification) tertentu. Rantai penandaan tersebut mengimplikasikan
sebuah sistem makna yang tak pernah stabil. Sebuah ‘penanda’ merupakan
‘petanda’ bagi kata yang lain. Bahasa, dengan demikian, dibangun di atas
konsep tentang ‘kekurangan’ (lack) karena tidak ada satupun yang bisa
memenuhi hasrat berbahasa secara utuh (Lacan, 1977). Begitu juga dengan
‘hasrat’. Hasrat adalah sesuatu yang tak pernah utuh, serba
berkekurangan, sehingga ‘hasrat’ juga dibangun di atas sebuah sistem
penandaan yang tak pernah stabil. Identifikasi diri menjadi stabil
karena ia diikat oleh semacam Phallus tertentu.
Apa yang disebut
oleh Lacan sebagai ‘In-the-name-of-Father’ menjadi sebuah hal penting
dalam identifikasi diri. Identifikasi terhadap ‘aku’ sejatinya adalah
identifikasi The-Other yang terus-menerus menggelincir dan tidak pernah
utuh. Namun, ia ditetapkan oleh satu penanda yang superior –inilah
the-name-of-father. The Other yang superior ini bukanlah sesuatu yang
fixed, melainkan, meminjam bahasa Laclau & Mouffe (1985) bersifat
hegemonik –kemampuannya untuk mengatur orang lain berhubungan dengan
kemampuannya untuk mengendalikan persetujuan/penolakan orang lain.
In-the-name-of-father
menjadi instrument untuk mengenalkan anak pada ‘budaya’; Sang-Ayah
mengendalikan si-anak dengan aturan-aturan (kemarahan) yang ia miliki
untuk mendisiplinkan si-anak. Meminjam Foucault, diskursus tentang
‘Sang-Ayah’ beroperasi dengan logika disiplin dan hukuman; ia mengatur,
mendisiplinkan, dan mengendalikan anak agar mau menerima budaya yang ia
tanamkan. Sehingga, walaupun sang-ayah sudah meninggal, subjek masih
patuh pada apa yang ia tanamkan. Pada titik inilah hasrat diatur untuk
masuk dalam sistem penandaan tertentu yang stabil.
Dengan
masuknya manusia kepada tatanan simbolik –bahasa, budaya, dan
sejenisnya— maka si-anak masuk pada fase ‘kedewasaan’. Fase ini ditandai
oleh masuknya si anak pada diskursus tentang gender. Menurut Lacan, si
anak hanya bisa melihat apa yang bukan pada dirinya. Ia mengambil contoh
pada identifikasi oleh dua orang kakak-beradik, laki-laki dan
perempuan, ketika ia duduk di sebuah gerbong kereta api. Menurut anak
laki-laki, ia berada pada bagian perempuan dan menurut anak perempuan ia
berada pada wilayah laki-laki (Lacan, 1977). Seperti itulah bahasa.
Identifikasi yang masuk pada fase simbolik –bahasa— dilakukan dengan
menunjuk pada Yang-Lain, bahwa ‘aku’ adalah bukan ‘Yang-Lain’, atau
dalam konteks oposisi biner seperti Laki-Laki dan Perempuan, ‘Aku’
Laki-Laki bukanlah ‘Aku’ Perempuan. Konstruksi budaya memainkan peran
semacam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar