15 Mei 2013

KAMMI dan PKS [atau: Mengapa Dobby Bisa Menjadi Peri-Rumah yang Bebas] (Bagian I)

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat KAMMI Kultural Jogja 

Bagian Pertama dari Empat Tulisan

Relasi KAMMI dan PKS selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Malah, bisa jadi kelewat menarik. Pasalnya, selama 15 tahun KAMMI hidup, problem ini selalu menghinggapi perbincangan-perbincangan di kalangan aktivis KAMMI, berputar di sekitar pertanyaan apakah KAMMI harus independen dari PKS atau tidak. Meski Pengurus Pusat KAMMI (juga Wilayah, Daerah, dan Komisariat) selalu mengatakan –dengan berbagai retorika— “KAMMI tidak ada hubungannya dengan PKS— namun laku, gerak, intonasi, dan artikulasi elit dari pusat hingga komisariat justru menyiratkan hal yang sebaliknya.

Tulisan ini berniat untuk menyingkap, mengapa hubungan KAMMI dan PKS selama ini bagaikan ‘anak’ dan ‘ayah’; seluruh artikulasi KAMMI hampir selalu berada dalam pola permainan yang digariskan oleh sang ‘ayah’. Kasus Muktamar Luar Biasa di tahun 2009, misalnya, mencerminkan praktik pendisiplinan ketika KAMMI melakukan sesuatu yang melanggar perintah PKS dengan bermanuver mendukung  salah satu calon presiden yang tidak direstui oleh PKS. Praktik serupa terjadi baik dari tingkat komisariat hingga pusat.

Relasi antara KAMMI dan PKS yang menyerupai ‘anak dan ayah’ ini akan sangat relevan jika kita dipandang dalam perspektif psikoanalisis yang diajukan oleh Jacques Lacan. Yang menarik dari Lacan adalah bahwa setiap perilaku individual tidak dipahami dari ‘apa yang ia lakukan’ secara sadar, melainkan pada konstruksi ketidaksadaran yang menyebabkan ia melakukan hal tersebut. Bagi Lacan, ketidaksadaran berstruktur seperti Bahasa (Bracher, 2005). Untuk itu, melihat relasi KAMMI dan PKS dalam ruang ketidaksadaran akan memberikan kita sebuah penjelasan yang lebih adequat mengenai ‘independensi KAMMI’.

Psikoanalisis Lacanian

Pemikiran Psikoanalisis Lacan tak bisa dilepaskan dari pemikir psikologi terkemuka, Sigmund Freud. Freud pertama kali menyatakan bahwa ‘diri’ manusia adalah diri yang terbelah (split) –antara kesadaran dan ketidaksadaran. Dalam terminology Freudian, yang kemudian diteruskan Lacan, praktik kesadaran manusia ditentukan oleh ketidaksadaran. Ia menolak slogan Cartesian yang selama ini menjadi ‘ideologi’ bagi positivisme Barat: Cogito Ergo Sum –‘Aku’ berpikir, maka ‘aku’ ada. ‘Aku’ yang dipahami dalam logika Cartesian adalah aku yang absolut, kuat, dan mandiri.

Gagasan ini menempatkan ‘aku’ manusia sebagai centre dari segala bentuk aktivitas. Terminologi Freudian mencoba untuk mendestabilisasi pemahaman Cartesian ini dengan mempertanyakan ‘Aku’ (Cogito). Benarkah bahwa eksistensi ‘Aku’ itu ditentukan oleh kesadaran (Cogito)? Menurut Freud, ketidaksadaran itu muncul sebelum kesadaran. Namun, ketidaksadaran itu adalah sesuatu yang merepresi kesadaran dalam bentuk neurosis atau obsesi. Ia melihat, misalnya, dalam kasus ‘manusia tikus’ (ratman) –manusia yang memiliki obsesi-obsesi neurotic tertentu sebagaimana dianalisis dalam kasus psikiatri yang ditangani Freud— yang menurutnya mencerminkan bagaimana ketidaksadaran merepresi kesadaran manusia. Untuk menghindari represi dan neurosis itu, Freud kemudian mendeklarasikan sebuah istilah: Wo Es War, Soll Ich Werden—Di mana ada Id, di situ ada Ego. Agar ketidaksadaran tidak merepresi subjek, Freud berargumen untuk ‘memperkuat Ego, agar ia tidak bisa direpresi oleh ketidaksadarannya.

Lacan tidak setuju itu. Baginya, penemuan bahwa ‘ketidaksadaran’ itu direpresi bukan berarti bahwa ‘ketidaksadaran’ itu harus dikendalikan –baginya ini tidak mungkin. Pertanyaan yang diulas Lacan bukanlah ‘bagaimana mengendalikan ketidaksaran’, tetapi justru lebih mendasar: bagaimana ketidaksadaran itu menciptakan proyeksi mengenai ‘diri’ mahasiswa. Bagi Lacan, ‘kesadaran’ manusia, yang diejawantahkan dalam konsepsi mengenai ‘diri’ –identitas— pada dasarnya adalah sesuatu yang ilusif. Ia diproyeksikan oleh sistem penandaan yang tak pernah berada pada posisi ‘tetap’. Pada titik inilah, Lacan memulai analisisnya tentang ‘ketidaksadaran’ itu dalam bentuk perkembangan manusia.

Konsep perkembangan manusia dikembangkan oleh Lacan dari konsep ‘Oedipus Complex’ yang pada awalnya diajukan oleh Freud. Lacan melihat perkembangan manusia dari tiga fase: ‘Yang-Nyata’ (The Real), Imajiner, dan Simbolik. Tiga fase ini dilihat dari perkembangan manusia ketika ia menjadi bayi hingga ia dewasa.

Ketika seseorang menjadi bayi, ia hidup pada fase The Real. Pada masa ini, manusia tidak bisa dipisahkan dari ibunya. Ia melihat kehidupan pada apa yang ada di sekitarnya. Tak ada perbedaan antara bayi dengan ‘yang-Lain’, karena bayi menggantungkan hidup pada ibu yang menyapih dan membesarkannya. Dengan demikian, ia hanya mengenal ‘hasrat’ yang dipenuhi oleh objek –ibunya. Ketika ia perlu makanan, ia mendapatkan dari ASI. Ketika ia butuh kenyamanan, ia mendapatkannya dari ibunya. Dan lain sebagainya. Pada titik ini, bayi mengenal “kebutuhan”, tetapi kebutuhan itu langsung terpuaskan dan terpenuhi oleh ibunya.

Ketika sang bayi telah berumur sekitar 6-18 bulan, menurut Lacan, ia mulai mengenal lingkungan di luar dirinya. Pada titik itulah ia mulai mengenal ada ‘sesuatu’ di luar dirinya –The-Other (‘Yang-Lain’). Ia mengenal ‘Yang-Lain’ karena Ia sudah memiliki kesadaran bahwa ia terpisah dari lainnya. Kesadaran akan ‘keterpisahan’ tersebut kemudian mendatangkan gagasan tentang ‘kehilangan’; ia sadar bahwa ia berpisah dari ibunya. Pada titik inilah muncul konsep penting: Lack –perasaan bahwa individu adalah makhluk yang serba-berkekurangan.

Gagasan tentang ‘kehilangan’ ini, dalam konteks anak, tak bisa dilepaskan dari munculnya seorang figure baru: ‘Ayah’ (Father). Ayah menjadi The-Other yang memisahkan anak dari ibunya. Seorang anak yang merasa ‘kehilangan’ pada mulanya akan mencari ‘yang hilang’ itu pada ibunya. Namun, kehadiran ‘sang ayah’ membuatnya tidak mungkin mencari hal itu pada ibunya. Sang ayah memiliki kekuatan untuk mengkastrasi/memisahkan si anak dari ibunya, karena : (1) sang-ayah memiliki kepentingan untuk memiliki ibunya; (2) sang-ayah mempunyai kepentingan untuk mengenalkan si-anak tentang ‘kebudayaan’ (Polimpung, 2008). Kemarahan ‘sang-ayah’ terhadap anaknya inilah yang disebut sebagai ‘in the name of Father’ –atas nama ayah’, yang mengatur seluruh artikulasi yang dilakukan oleh si-anak.

Karena si bayi sadar bahwa ia terpisah dengan The-Other, dan bahwa ia memiliki kekurangan akibat keterpisahannya tersebut, ia kemudian mulai mencari tahu: siapakah ‘aku’? Di sinilah Lacan menyebut sebagai dimulainya fase Cermin. Seiring keluarnya bayi dari fase The Real, ia mulai masuk pada fase cermin yang memulai proses identifikasi diri. ‘Aku’ mengidentifikasi dirinya, menurut Lacan, dengan bercermin pada The Other. Cermin itu tidak  memberikan gambaran yang utuh dan objektif pada identifikasi diri ‘Aku’. Inilah yang disebut Lacan sebagai ‘mispersepsi’ –ketika The Other yang menjadi ‘Cermin’ menarik subjek untuk bercermin pada dirinya (Hey, subjek, berkacalah padaku!) si subjek langsung mengidentifikasi dirinya pada cermin tersebut (‘hey, itu aku!’). Namun, apa yang ia lihat di cermin sejatinya bukanlah dirinya sendiri; itu adalah citraan yang diberikan oleh ‘cermin’ (Polimpung, 2008; Bracher, 2005).

Lacan menyebut fase ‘Cermin’ ini sebagai fase imajiner; fase pembentukan ‘diri’ ketika seorang anak memproyeksikan diri mereka dari citra yang dilahirkan oleh cermin. Lacan (1977) berargumen bahwa fase Cermin adalah fase yang formatif terhadap keberadaan ‘aku’. Identitas yang muncul dalam fase Cermin –ketika subjek memproyeksikan citraannya sebagai ‘aku’— menentukan bagaimana ‘aku’ nantinya terbentuk. Cermin, dalam bahasa Lacan, memberikan meconnaissance –mispersepsi, kesalahan pengakuan, dsb. Citraan yang dimispersepsi itu kemudian ditetapkan maknanya oleh ‘the-name-of-father’.

Namun, proses identifikasi diri melalui cermin itu hanya akan berjalan jika subjek ‘aku’ menyatakan dirinya dalam bahasa. Artinya, citraan yang ditangkap oleh individu dari cermin itu baru menjadi ‘identitas’ jika si subjek menyatakan identitasnya dalam bahasa. Inilah yang disebut oleh Lacan sebagai fase ‘simbolik’. Ketika ia mulai berbicara, The-Other yang selama ini ditangkap melalui cermin kemudian mulai distrukturkan dalam sebuah sistem penandaan yang fixed. Pada titik itulah identitas diri mulai ditetapkan.

Menurut Lacan, proses penetapan identitas yang berlangsung melalui bahasa itu pada dasarnya hanya dimungkinkan jika ada Phallus –sesuatu yang menjadi ‘centre’ dari sistem penandaan yang dibuat. Sebuah tatanan simbolik hanya mungkin ada jika ada sesuatu yang berada di pusat tatanan tersebut dan mengendalikan sistem penandaan yang beroperasi melalui bahasa tersebut. Ketika si anak menyatakan diri sebagai ‘aku’ dalam bahasa yang ia gunakan, ‘Aku’ yang ia maksudkan sejatinya diidentifikasikan oleh sebuah diskursus tertentu yang mengikat dan membuat makna ‘aku’ tersebut menjadi bersifat tetap. Lacan tidak percaya ‘aku’ adalah sesuatu yang kuat dan tetap.

Bagi Lacan, identitas ‘Aku’ sejatinya adalah identitas yang selalu tergelincir dalam sistem penandaan yang berjalan siklikal dan terus-menerus. Seorang ‘anak’ menyatakan diri sebagai ‘aku’ karena ia bukanlah The Other –ini yang cihasilkan dari identifikasi di fase cermin. Pertanyaannya, kenapa kemudian identitas ‘aku’ ini bisa ditetapkan oleh sebuah sistem pemaknaan tertentu? Konsep tentang Lack –kekurangan— yang diderita seorang anak dari fase cerminnya menjadi kata kuncinya. Ketika seorang anak mengetahui bahwa ia terpisah dari ibunya, ia kemudian menyadari bahwa hasrat yang ia miliki tidak akan lagi dapat terpuaskan. Maka dari itu, ia mencari sumber ‘hasrat’ yang lain. Cermin –The Other— memberikan sumber ‘hasrat’ tersebut dan mengikat hasrat tersebut dalam sebuah sistem pemaknaan tertentu yang bersifat stabil. Sistem pemaknaan tersebut, menurut Lacan, terstruktur dalam bahasa yang disampaikan oleh si anak.

Lacan melihat bahasa dalam kategori yang sama dengan yang digunakan oleh teFerdinand de Saussure. Bagi Lacan, bahasa itu membentuk sebuah ‘rantai penandaan’ (chain of signification) tertentu. Rantai penandaan tersebut mengimplikasikan sebuah sistem makna yang tak pernah stabil. Sebuah ‘penanda’ merupakan ‘petanda’ bagi kata yang lain. Bahasa, dengan demikian, dibangun di atas konsep tentang ‘kekurangan’ (lack) karena tidak ada satupun yang bisa memenuhi hasrat berbahasa secara utuh (Lacan, 1977). Begitu juga dengan ‘hasrat’. Hasrat adalah sesuatu yang tak pernah utuh, serba berkekurangan, sehingga ‘hasrat’ juga dibangun di atas sebuah sistem penandaan yang tak pernah stabil. Identifikasi diri menjadi stabil karena ia diikat oleh semacam Phallus tertentu.

Apa yang disebut oleh Lacan sebagai ‘In-the-name-of-Father’ menjadi sebuah hal penting dalam identifikasi diri. Identifikasi terhadap ‘aku’ sejatinya adalah identifikasi The-Other yang terus-menerus menggelincir dan tidak pernah utuh. Namun, ia ditetapkan oleh satu penanda yang superior –inilah the-name-of-father. The Other yang superior ini bukanlah sesuatu yang fixed, melainkan, meminjam bahasa Laclau & Mouffe (1985) bersifat hegemonik –kemampuannya untuk mengatur orang lain berhubungan dengan kemampuannya untuk mengendalikan persetujuan/penolakan orang lain.

In-the-name-of-father menjadi instrument untuk mengenalkan anak pada ‘budaya’; Sang-Ayah mengendalikan si-anak dengan aturan-aturan (kemarahan) yang ia miliki untuk mendisiplinkan si-anak. Meminjam Foucault, diskursus tentang ‘Sang-Ayah’ beroperasi dengan logika disiplin dan hukuman; ia mengatur, mendisiplinkan, dan mengendalikan anak agar mau menerima budaya yang ia tanamkan. Sehingga, walaupun sang-ayah sudah meninggal, subjek masih patuh pada apa yang ia tanamkan. Pada titik inilah hasrat diatur untuk masuk dalam sistem penandaan tertentu yang stabil.

Dengan masuknya manusia kepada tatanan simbolik –bahasa, budaya, dan sejenisnya— maka si-anak masuk pada fase ‘kedewasaan’. Fase ini ditandai oleh masuknya si anak pada diskursus tentang gender. Menurut Lacan, si anak hanya bisa melihat apa yang bukan pada dirinya. Ia mengambil contoh pada identifikasi oleh dua orang kakak-beradik, laki-laki dan perempuan, ketika ia duduk di sebuah gerbong kereta api. Menurut anak laki-laki, ia berada pada bagian perempuan dan menurut anak perempuan ia berada pada wilayah laki-laki (Lacan, 1977). Seperti itulah bahasa. Identifikasi yang masuk pada fase simbolik –bahasa— dilakukan dengan menunjuk pada Yang-Lain, bahwa ‘aku’ adalah bukan ‘Yang-Lain’, atau dalam konteks oposisi biner seperti Laki-Laki dan Perempuan, ‘Aku’ Laki-Laki bukanlah ‘Aku’ Perempuan. Konstruksi budaya memainkan peran semacam ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar