Oleh : Yusuf Maulana
Bagi publik yang pernah terlibat dalam
dunia pergerakan, bukan hal sulit untuk merasakan adanya perubahan karakter
mahasiswa sekarang. Perubahan itu sayangnya bukan menuju kepada kemajuan.
Mahasiswa kini tidak lagi tertarik untuk aktif di gerakan mahasiswa (GM). Tak
heran jika banyak GM yang kekurangan anggota; pengaderan berjalan di tempat,
atau bahkan separuh mati. Jika pada masa kejayaannya antar-GM berkompetisi
merekrut anggota, kompetisi yang sama sekarang ini nyaris tidak ada.
Keadaan di atas tidak terkecuali ikut
dialami KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dalam usianya yang
masih remaja (lima belas tahun), sebuah kerugian jika KAMMI ikut layu sebelum
berkembang menjadi GM yang berpengaruh dalam mengawal demokratisasi di negeri
ini. Apalagi, saat yang sama, masih terbuka tantangan untuk berdialektika
dengan saluran politik formal (parlemen).
Belum independen
Kedekatan KAMMI dengan Partai Keadilan
Sejahtera (sehingga KAMMI sering dituding sebagai underbouw PKS) memang
bisa memunculkan kritikan tentang independensi KAMMI. Namun, persoalan
keindependenan ini sebenarnya klise dan bukan lagi persoalan. Sebab, dalam
memperjuangkan demokratisasi tidak ada pihak yang bisa terlepas dari pengaruh
kelompok kepentingan yang lain.
Karena itu, melampaui pembicaraan
keindependenannya, aktivis KAMMI seharusnya bisa membuktikan dalam aksi nyata
berupa kemampuan berdiskursus dengan pihak-pihak mana pun yang berdekatan
dengannya. Dalam pengertian Jurgen Habermas, diskursus meniscayakan posisi
KAMMI tidak lagi subordinat apalagi dikooptasi partisipan diskursus (PKS,
misalnya). Artinya, seberapa jauh kapasitas KAMMI berdiskursus menunjukkan
kedewasaan KAMMI. Pada titik ini tampaknya KAMMI masih labil. Karenanya tidak
salah jika ada yang menyimpulkan bahwa KAMMI belum memperlihatkan watak gerakan
independennya. Adanya pengaruh dari luar KAMMI, sekali lagi, bukan masalah jika
KAMMI sendiri bisa terbuka mengartikulasikan gagasannya. Jangan sampai KAMMI
hanya berposisi sebagai eksekutor pihak ketiga.
Dengan kemampuan berdiskursus, KAMMI
justru tidak akan sia-sia ketika bisa berdialog dengan pihak yang mewakili
saluran politik formal. Bukan masanya lagi menggugat GM yang akrab dengan
partai politik (parpol). Gugatan seperti ini sendiri tetap relevan sejauh
menyoroti praksis aktivis mahasiswa yang menyimpang dari orientasi ideal
gerakannya. Namun persoalannya berbeda manakala saluran politik yang ada itu
ternyata merupakan bagian dari jejaring yang harus dijauhi atau dimusuhi GM.
Jadi, sejauh isu-isu yang diusung PKS masih sejalan dengan perjuangan KAMMI,
bukan masalah jika KAMMI terus berjuang bersama. Tetapi jika gerak politik PKS
(terutama di parlemen), sudah ke luar dari cita-cita reformasi, menjadi logis
jika KAMMI menolaknya. Justru tidak logis jika KAMMI masih tetap bersedia
mendukung langkah PKS yang tidak sejalan dengan cita-cita reformasi.
Dalam pola hubungan seperti itu,
aktivis KAMMI seharusnya sudah jauh-jauh hari memikirkan untuk memosisikan
peran strategis yang tepat sehingga tidak lagi bergantung pada posisi PKS di
parlemen. Tidak seperti yang terjadi sekarang, tampak jelas adanya
ketergantungan KAMMI pada PKS. Maka, begitu PKS mengalami penurunan kualitas
peranan di mata publik seperti terjadi akhir-akhir ini, demikian pula berimbas
pada aktivitas KAMMI. Ada semacam resonansi keaktifan atau kepasifan di antara
keduanya. Karena itu tidak heran jika KAMMI mengalami kejenuhan yang mengarah
pada penurunan aktivitasnya. Padahal, pada saat PKS (atau siapa pun yang
menjadi mitra KAMMI) menurun kiprahnya, KAMMI bisa mengisi—atau setidaknya
mengimbangi—peranannya sebagai sebuah gerakan bersama. Istilah “elaborasi
masyarakat sipil” dalam pengertian Gramscian, dalam hal ini memadai untuk
menggambarkan peran sentral tiap-tiap partisipan diskursus, seperti yang dilakukan
KAMMI dan PKS. Jadi, tidak bisa tidak, elaborasi masyarakat sipil meniscayakan
kehadiran dan keaktifan KAMMI.
Peran pemikir
Arti penting elaborasi tersebut kian
relevan jika dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada mahasiswa sekarang.
Meski tidak seluruhnya, mahasiswa cenderung memilih berjarak dengan aktivitas
yang bernuansa politis. Bahwa mereka mengetahui persoalan politik bangsa, ini
hanya diartikulasikan sebatas sikap skeptis pada politisi. Namun, yang kemudian
tertarik untuk terlibat dalam GM bisa dibilang minoritas. Dalam alam bawah
sadar mahasiswa sepertinya tertanam pesimisme untuk mengubah keadaan bangsa
yang karut-marut seperti sekarang ini. Tidak ada pihak mana pun (tanpa
terkecuali GM), yang bisa dipercayainya akan bertindak tulus atas nama
kepentingan masyarakat. Yang banyak bermunculan hanya individu atau kelompok
yang mahir beretorika mengatasnamakan masyarakat.
Karakter sebagian (besar) mahasiswa
itu, mau tidak mau, tidak hanya berakibat buruk bagi PKS tetapi juga KAMMI. PKS
dipandang tidak ada bedanya dengan partai lain; demikian pula KAMMI diposisikan
tidak lebih sebagai pembenar setiap tindakan PKS yang tidak sesuai dengan
aspirasi publik. Ketika PKS mengalami penurunan citra di mata publik mahasiswa,
KAMMI seharusnya bisa mengisinya dengan gerakan-gerakan sosial produktif yang
pro-publik sehingga tidak perlu lagi terdengar istilah “KAMMI kehilangan
pekerjaan“. Bagaimanapun juga saluran politik formal seperti DPR atau pers
tidak akan mampu mengisi demokratisasi secara penuh. Justru ketika parpol tidak
lagi dipercayai publik, terbuka ruang bagi GM untuk mengisinya. Bahwa publik
kini sudah bisa mandiri berjuang menyampaikan aspirasinya, memang benar. Namun,
yang terjadi belumlah pada gerakan massa yang sistematis. Di sinilah peran aktivisme
GM dalam bersinergi dengan publik. Tegasnya, GM menjadi semacam kelompok
pemikir (sekaligus advokatornya) bagi gerakan massa. Perlu diingat, posisi
vital GM ini bukan berarti mereka layak mengklaim lebih superior. Posisi GM
setara dengan masyarakat sipil lainnya. Pembagian peran ini bertujuan agar
diskursus berjalan normal, sehingga elaborasi masyarakat sipil memang
betul-betul menuju utopianya.
Jika demikian, agenda suksesi
GM—seperti yang bakal dilakukan KAMMI pada tanggal 20-26 Mei 2013—seharusnya
tidak terjebak lagi pada rutinitas organisasi, apalagi mengarah pada perebutan
kursi ketua umum belaka. Akan lebih produktif jika KAMMI bisa merumuskan arah
gerakannya sesuai dengan keadaan zaman yang (terus) berubah. Bagi KAMMI yang menginjak
remaja serta memiliki modal dan mobilitas yang relatif baik, sebuah kerugian
jika aktivitas mereka hanya diisi dengan rutinitas berdemonstrasi—betapapun
lewat demo-demonya KAMMI pernah dikenal luas publik. Sebab, aktivitas yang
hanya rutinitas bagaimana pun pada akhirnya akan mengalami titik jenuh.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar