15 Mei 2013

KAMMI, dan Elaborasi Masyarakat Sipil (Prawacana untuk Muktamar KAMMI)

Oleh : Yusuf Maulana

Bagi publik yang pernah terlibat dalam dunia pergerakan, bukan hal sulit untuk merasakan adanya perubahan karakter mahasiswa sekarang. Perubahan itu sayangnya bukan menuju kepada kemajuan. Mahasiswa kini tidak lagi tertarik untuk aktif di gerakan mahasiswa (GM). Tak heran jika banyak GM yang kekurangan anggota; pengaderan berjalan di tempat, atau bahkan separuh mati. Jika pada masa kejayaannya antar-GM berkompetisi merekrut anggota, kompetisi yang sama sekarang ini nyaris tidak ada.

Keadaan di atas tidak terkecuali ikut dialami KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dalam usianya yang masih remaja (lima belas tahun), sebuah kerugian jika KAMMI ikut layu sebelum berkembang menjadi GM yang berpengaruh dalam mengawal demokratisasi di negeri ini. Apalagi, saat yang sama, masih terbuka tantangan untuk berdialektika dengan saluran politik formal (parlemen).


Belum independen 
Kedekatan KAMMI dengan Partai Keadilan Sejahtera (sehingga KAMMI sering dituding sebagai underbouw PKS) memang bisa memunculkan kritikan tentang independensi KAMMI. Namun, persoalan keindependenan ini sebenarnya klise dan bukan lagi persoalan. Sebab, dalam memperjuangkan demokratisasi tidak ada pihak yang bisa terlepas dari pengaruh kelompok kepentingan yang lain.

Karena itu, melampaui pembicaraan keindependenannya, aktivis KAMMI seharusnya bisa membuktikan dalam aksi nyata berupa kemampuan berdiskursus dengan pihak-pihak mana pun yang berdekatan dengannya. Dalam pengertian Jurgen Habermas, diskursus meniscayakan posisi KAMMI tidak lagi subordinat apalagi dikooptasi partisipan diskursus (PKS, misalnya). Artinya, seberapa jauh kapasitas KAMMI berdiskursus menunjukkan kedewasaan KAMMI. Pada titik ini tampaknya KAMMI masih labil. Karenanya tidak salah jika ada yang menyimpulkan bahwa KAMMI belum memperlihatkan watak gerakan independennya. Adanya pengaruh dari luar KAMMI, sekali lagi, bukan masalah jika KAMMI sendiri bisa terbuka mengartikulasikan gagasannya. Jangan sampai KAMMI hanya berposisi sebagai eksekutor pihak ketiga.

Dengan kemampuan berdiskursus, KAMMI justru tidak akan sia-sia ketika bisa berdialog dengan pihak yang mewakili saluran politik formal. Bukan masanya lagi menggugat GM yang akrab dengan partai politik (parpol). Gugatan seperti ini sendiri tetap relevan sejauh menyoroti praksis aktivis mahasiswa yang menyimpang dari orientasi ideal gerakannya. Namun persoalannya berbeda manakala saluran politik yang ada itu ternyata merupakan bagian dari jejaring yang harus dijauhi atau dimusuhi GM. Jadi, sejauh isu-isu yang diusung PKS masih sejalan dengan perjuangan KAMMI, bukan masalah jika KAMMI terus berjuang bersama. Tetapi jika gerak politik PKS (terutama di parlemen), sudah ke luar dari cita-cita reformasi, menjadi logis jika KAMMI menolaknya. Justru tidak logis jika KAMMI masih tetap bersedia mendukung langkah PKS yang tidak sejalan dengan cita-cita reformasi.

Dalam pola hubungan seperti itu, aktivis KAMMI seharusnya sudah jauh-jauh hari memikirkan untuk memosisikan peran strategis yang tepat sehingga tidak lagi bergantung pada posisi PKS di parlemen. Tidak seperti yang terjadi sekarang, tampak jelas adanya ketergantungan KAMMI pada PKS. Maka, begitu PKS mengalami penurunan kualitas peranan di mata publik seperti terjadi akhir-akhir ini, demikian pula berimbas pada aktivitas KAMMI. Ada semacam resonansi keaktifan atau kepasifan di antara keduanya. Karena itu tidak heran jika KAMMI mengalami kejenuhan yang mengarah pada penurunan aktivitasnya. Padahal, pada saat PKS (atau siapa pun yang menjadi mitra KAMMI) menurun kiprahnya, KAMMI bisa mengisi—atau setidaknya mengimbangi—peranannya sebagai sebuah gerakan bersama. Istilah “elaborasi masyarakat sipil” dalam pengertian Gramscian, dalam hal ini memadai untuk menggambarkan peran sentral tiap-tiap partisipan diskursus, seperti yang dilakukan KAMMI dan PKS. Jadi, tidak bisa tidak, elaborasi masyarakat sipil meniscayakan kehadiran dan keaktifan KAMMI. 

Peran pemikir 
Arti penting elaborasi tersebut kian relevan jika dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada mahasiswa sekarang. Meski tidak seluruhnya, mahasiswa cenderung memilih berjarak dengan aktivitas yang bernuansa politis. Bahwa mereka mengetahui persoalan politik bangsa, ini hanya diartikulasikan sebatas sikap skeptis pada politisi. Namun, yang kemudian tertarik untuk terlibat dalam GM bisa dibilang minoritas. Dalam alam bawah sadar mahasiswa sepertinya tertanam pesimisme untuk mengubah keadaan bangsa yang karut-marut seperti sekarang ini. Tidak ada pihak mana pun (tanpa terkecuali GM), yang bisa dipercayainya akan bertindak tulus atas nama kepentingan masyarakat. Yang banyak bermunculan hanya individu atau kelompok yang mahir beretorika mengatasnamakan masyarakat.

Karakter sebagian (besar) mahasiswa itu, mau tidak mau, tidak hanya berakibat buruk bagi PKS tetapi juga KAMMI. PKS dipandang tidak ada bedanya dengan partai lain; demikian pula KAMMI diposisikan tidak lebih sebagai pembenar setiap tindakan PKS yang tidak sesuai dengan aspirasi publik. Ketika PKS mengalami penurunan citra di mata publik mahasiswa, KAMMI seharusnya bisa mengisinya dengan gerakan-gerakan sosial produktif yang pro-publik sehingga tidak perlu lagi terdengar istilah “KAMMI kehilangan pekerjaan“. Bagaimanapun juga saluran politik formal seperti DPR atau pers tidak akan mampu mengisi demokratisasi secara penuh. Justru ketika parpol tidak lagi dipercayai publik, terbuka ruang bagi GM untuk mengisinya. Bahwa publik kini sudah bisa mandiri berjuang menyampaikan aspirasinya, memang benar. Namun, yang terjadi belumlah pada gerakan massa yang sistematis. Di sinilah peran aktivisme GM dalam bersinergi dengan publik. Tegasnya, GM menjadi semacam kelompok pemikir (sekaligus advokatornya) bagi gerakan massa. Perlu diingat, posisi vital GM ini bukan berarti mereka layak mengklaim lebih superior. Posisi GM setara dengan masyarakat sipil lainnya. Pembagian peran ini bertujuan agar diskursus berjalan normal, sehingga elaborasi masyarakat sipil memang betul-betul menuju utopianya.

Jika demikian, agenda suksesi GM—seperti yang bakal dilakukan KAMMI pada tanggal 20-26 Mei 2013—seharusnya tidak terjebak lagi pada rutinitas organisasi, apalagi mengarah pada perebutan kursi ketua umum belaka. Akan lebih produktif jika KAMMI bisa merumuskan arah gerakannya sesuai dengan keadaan zaman yang (terus) berubah. Bagi KAMMI yang menginjak remaja serta memiliki modal dan mobilitas yang relatif baik, sebuah kerugian jika aktivitas mereka hanya diisi dengan rutinitas berdemonstrasi—betapapun lewat demo-demonya KAMMI pernah dikenal luas publik. Sebab, aktivitas yang hanya rutinitas bagaimana pun pada akhirnya akan mengalami titik jenuh.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar