15 Mei 2013

Menimbang Partai Politik Agama

Oleh:  Robert Edy Sudarwan
Pegiat KAMMI Kultural asal Lampung

Keberadaan partai politik di era pra kemerdekaan tentunya berbeda dengan keberadaan partai politik pada saat ini.  Jika pada masa lalu politik digunakan sebagai sebuah jalan dan upaya untuk meraih kemerdekaan, maka pada saat ini politik lebih kepada mengisi kemerdekaan.  Serupa tapi tak sama, itulah klise yang tepat disematkan pada partai politik era lalu dan saat ini.

Berbicara ruang politik maka tidak akan terlepas dari ruang kepentingan yang menyelimuti. Dari kepentingan agar sebuah bangsa dapat menjadi bangsa yang berdaulat dan sejahtera, hingga pada orientasi kepentingan kelompok dan individu tertentu.  Tentu hal ini bergantung dari bagaimana seseorang memaknai arti dan keberadaan partai politik tersebut.


Dewasa ini perjuangan partai politik hanya menjadi perjuangan pragmatis, yang menghantarkan prilaku para elitnya menuju hotel prodeo. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri dengan adanya banyak politisi yang semakin hari terperangkap pada kasus – kasus korupsi.  Dan ini menjadi sebuah kekhawatiran yang mendalam ketika hal tersebut menghantarkan masyarakat dalam ruang apatisme politik yang berujung pada pilihan golput.

Sejalan dengan kondisi dewasa ini, hendaknya partai politik mulai berbenah untuk meng-upgrade diri, baik kapasitas maupun kualitas hingga integritasnya.   Kualitas tentu akan dilihat dari torehan-torehan apa yang telah di karyakan dalam sematkan nilai di kehidupan bermasyarakat. Dan integritas akan dilihat dari konsistensi partai politik di dalam mempertaruhkan ke-konsistensianya dalam memperjuangkan hak rakyat, serta kebersihannya di dalam kasus-kasus yang menjerat prilaku elit dalam lubang korupsi.  Terlepas dari hal tersebut, tentu kita sangat berharap besar kepada partai politik.  Karena dalam era saat ini ornamen partai politik sangat menjanjikan untuk membawa dan merubah sebuah siklus kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. 

Agama dan Partai Politik 
Berbicara pada ruang agama tentu akan sangat menarik jika dikaitkan pada sebuah cita-cita dan mimpi setiap insan yang memeluk agama.  Semua agama mengharapkan kehidupan yang baik untuk sebuah entitas masyarakat.  Agama diharapkan menjadi solusi di dalam pencapaian kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera.  Kehadiran agama mestinya menjadi sebuah undang-undang dalam pribadi pemeluknya guna mencapai kehidupan yang bermartabat.  Jika kehadiranya mampu menjadikan setiap pribadi pemeluknya menjadi insan-insan yang baik secara individu dan bermanfaat di masyarakat.  Maka hal ini akan melampaui kotak – kotak politik dan tentu akan lebih memacu sebuah cita-cita besar itu akan tercapai.

Dewasa ini ornamen kultural dalam beragama pun dirasa tidak mencukupi untuk menjadikan sebuah cita – cita besar ini tercapai.  Ada upaya pendekatan struktural yang pada akhirnya menjadikan sebuah agama menjadi salah satu entitas politik pun tidak terelakkan.  Keberadaan agama dalam sebuah institusi politik pun menjadi sesuatu yang penuh kegamangan.  Bak telur di ujung tanduk, semua menjadi serba salah dengan penyematan simbol – simbol agama tersebut.     

Agama dalam lobang hitam 
 Jika berbicara dunia politik maka yang ada dibayangan kita adalah intrik, taktik dan siasat yang tidak jarang saling menjatuhkan satu sama lain.  Kondisi ini akan menjadi rumit ketika institusi agama yang semetinya bersih dan bertahta di tempat yang suci itu menjadi sebuah kendaraan yang juga masuk dan karam dalam lobang hitam.  Jika pada wilayah abu-abu saja sebuah institusi itu sulit untuk menegaskan siapa dirinya, lantas bagaimana jika kondisnya lebih terpuruk dari hal tersebut.  Dan yang menjadi masalah adalah ketika agama menjadi sesuatu yang mau tidak mau tersemat dan masuk ke dalam pilihan yang sulit untuk keluar dari keterpurukan.  Maka yang menjadi sorotan adalah mayoritas pemeluk agama tersebut tanpa memandang apakah dia terlibat dalam masalah tersebut atau tidak.

Kenyataan saat ini sudah semestinya membuat kita menjadi prihatin,  akankah nasib bangsa ini menjadi rumit dengan keberadaan agama yang menjadi sebuah alat legitimasi kepentingan kelompok tertentu.  Dengan dalih ini dan itu agama menjadi sebuah komoditas yang laris di pasaran. Menjajakan agama bak sesuatu yang penting untuk di santap oleh semua manusia, namun berdampak pada konsekwensi politik yang berujung pada penggiringan opini publik akan keberpihakan konstituen.

Kondisi ini menjadi semakin mengeruh ketika akhirnya sebuah institusi politik yang mendedikasikan diri untuk kepentingan agama pun terjebak dan terlarut dalam sistem politik yang kotor.  Alih –alih berjuang demi agama tetapi ahirnya melebur dan hancur juga dalam pusara politik yang jorok tersebut.  Lantas siapakah yang akan dirugikan atas hal tersebut?, yang kita semua tahu bahwa kepentingan politik jangka panjang ini tidak bisa berjalan dengan manufer instan dan mengedepankan sisi-sisi pragmatis dalam kehidupan beragama.  

Manuver politik yang menggunakan titah Tuhan sebagai tuah sakti, tentu akan menjadi hambar dan basi ketika kenyataanya berbanding terbalik dengan realitas nyata.  Menjadi sesuatu yang memalukan ketika pada wilayah abu-abu tersebut wajah partai yang membawa nama agama pun terjatuh dalam pusara hitam.  Maka ganjaran yang di dapat dari basis konstituen tentu akan berdampak buruk pada kepercayaan partai politik tersebut.  Kekecewaan yang muncul tentu tidak sedikit berdampak pada pilihan sikap poltik yang berbelok

Sudah semestinya agama menempatkan diri pada posisi di atas semua golongan dan kelompok.  Menempatkan diri pada pembangunan mental spritual masing – masing individu yang terlepas dari kepentingan apapun.  Kemurnian akan sebuah cita –cita mulia agama tentu jauh melampaui cita-cita partai politik apapun.  Harapannya dengan menempatkan agama sebagai sebuah induk yang dapat menjadi power dan sumber bagaimana manusia bersikap, betindak dan berperilaku. Tentunya hal tersebut dapat mendorong dan menghantarkan bangsa ini menjadi lebih baik.  Karena dengan tidak menjadikan agama sebagai institusi kepartaian, justru agama dapat masuk dengan natural ke dalam institusi politik apapun dan membentuk ke-arifan manusia-manusia di dalamnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar