Kawan, namamu tertera di antara ribuan politisi yang bakal
bertarung di Senayan tahun depan. Aku yakin itu namamu karena kiprahmu memang
selama ini di sana. Kau bahkan mencari sesuap nasi juga di antaranya dari sana.
Kalau kemudian engkau diamanahi menjadi ‘pendakwah’ di parlemen bila kelak
terpilih, logis saja. Terlebih lagi kau sudah kenyang asam garam mendampingi
para senior di panggung nasional.
Kawan, hadirnya namamu di selebaran KPU bedalah ketika
engkau ada di papan nama DPM di kampus kita dulu. Dulu kau musti masuk karena
tiada pesaing untuk menghadang. Tapi
kini, kau harus berjuang ekstrakeras hingga peluang terakhir. Boleh jadi kau
menang; boleh pula kau terbuang. Bukan saja terhempas oleh kawan di luar
partai, namun juga teman seiring separtai. Kau tentu ingat, kawan, tiada kawan
abadi, yang ada kepentingan abadi!
Kau bukan pertama kali seorang kawan lama di organisasi
anak-anak muda di jalanan yang kemudian tercebur di pusara para sesepuh. Kau
pasti paham apa itu ketaatan, dan kau pun memilih ke sana. Ketaatanmulah yang
kemudian melempangkanmu menemukan jalan kini yang kadang berbeda denan sebagian
kawan lama kita. Apa boleh buat, selagi muda kita memang bisa bersatu, saat
periuk beterbaran masanya kita berhamburan. Di sinilah akhirnya kadang meradang
untuk saling serang. Bukan saja antara kau dengan kawan kita yang ada di
seberang kubu, tapi juga kau dengan kawan yang sekadar ada di luar kandang.
Ada atau tidak adanya kau di daftar, bagiku, setabal pengisi
rutinitas pesta lima tahunan. Memang penting bagi kawan-kawanmu yang masih
percaya kehadiran politisi muda bisa berikan asa baru dalam mengubah tatanan.
Bagiku, semua itu omong kosong. Kalau tidak terseret, syukur tidak tenggelam.
Sukar untuk menyeret orang agar ikut jalur idealisme kita selagi masih di
jalanan. Mungkin, katamu, dunia kini berbeda; dunia jalanan itu absurd dan
penuh omong kosong. Adapun kini, dunia dengan kursi sebagai simbol, idealisme
itu dipertaruhkan dengan kenyataan.
Justru karena aku takut kau akan mengulang lagu lama
kawan-kawan kita yang pupus sebelum kepalan tangan teracung, maka aku mawas.
Mawas agar aku yang mengenalmu secara bersahaja juga ingin menempatkanmu dengan
apa adanya. Perubahan memang tidak
mustahil kaulakukan. Seorang diri tanpa atau dengan cinta, kerja, dan harmoni,
dengungan guru utamamu. Perubahan itu bahkan mungkin hadir dengan kau seorang
bertandang di kandang lawan.
Tapi kawan, untuk itu apakah kau bersiap? Bersedia untuk
mengikuti prasyarat yang ada agar engkau menjadi petarung yang siap memengaruhi
orang ketimbang kau dipengaruhi?
Maka, aku tak muluk memintamu mengingat apa itu jati diri
organisasi kita. Takperlu mencapmu dengan ini dan itu lewat uji tes apakah
engkau masih ingat tafsir gerakan kita. Juga tidak memadai bila kau kami ukur
dengan kefasihanmu dalam bicara kredo gerakan. Semua omong kosong itu biarlah
kauletakkan di sakumu. Kau cukup hafalkan saja apa yang diamanahi partaimu.
Cukup itu saja. Selagi itu bersesuaian dengan nuranimu, jalankan! Bila tidak,
katakan tidak!
Karena kita anak-anak yang pernah dibesarkan di jalanan;
karena kita pernah menghirup liarnya udara pantai, jangan pernah ragu untuk
menjadi pelafal amin pada satu kata: kebenaran. Dan katakan tidak untuk pelafal
amin pada membeo dan taklid kekuasaan. []
Assalamuakum Pak, Mantab, lama sudah tidak bersua lagi.
BalasHapus