8 Februari 2014

Mengecam Pembatalan Sepihak Diskusi Buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia"

Ahmad Rizky M. Umar
Editor Jurnal KAMMI Kultural

Indonesia kembali punya catatan kelam soal kebebasan dalam mengemukakan pendapat di muka umum. Acara bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia (jilid ke-4) yang semestinya diadakan di Perpustakaan C2O pada hari Jumat, 7 Februari 2014, pk. 18.30-21.00, dibatalkan. Keputusan pembatalan ditetapkan beberapa jam sebelum acara dimulai atas rekomendasi Polrestabes Surabaya dengan alasan keamanan.

Menurut kabar, pembatalan ini terkait dengan aksi FPI Jawa Timur yang melarang diskusi dengan alasan "Tan Malaka adalah tokoh Marxis" (Merdeka, 672). FPI dan beberapa kelompok masyarakat yang menamakan diri mereka "Gerakan Umat Islam Bersatu" mendatangi arena penyelenggaraan diskusi dan menolak diskusi dilaksanakan. Atas dasar itu, polisi dan tentara merekomendasikan panitia untuk membatalkan acara diskusi dengan alasan keamanan.

Pembatalan ini jelas menunjukkan pada kita bahwa Indonesia belum menjadi negara yang sepenuhnya adil dan demokratis. Indonesia masih dibayang-bayangi oleh ancaman militerisme, intoleransi, dan tindakan yang tidak didasarkan pada akal sehat. Ada beberapa alasan mengapa rekomendasi pembatalan yang dilakukan oleh kepolisian dan militer atas dasar 'keamanan' dan 'penolakan' dari sejumlah ormas di Surabaya ini menjadi bermasalah:
  1. Tan Malaka adalah pahlawan nasional. Ia dikukuhkan sebagai seorang pahlawan perjuangan kemerdekaan Indonesia langsung oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 28 Maret 1963. Keputusan yang melatarbelakangi pengukuhan Tan Malaka sebagai pahlawan pun resmi, yaitu Keppres Nomor 53 Tahun 1963. Atas dasar ini, diskusi tentang Tan Malaka adalah juga mendiskusikan pahlawan nasional. 
  2. Jasa-jasa Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan melawan penjajahan Belanda sangat besar. Ia tampil menyuarakan kemerdekaan Indonesia di Sovyet dan Belanda, serta memimpin gerilya ketika revolusi kemerdekaan terjadi tahun 1967. Apakah mendiskusikan peran kepatriotan seorang Tan Malaka dilarang hanya karena ancaman sebagian kecil orang yang bahkan tidak tahu sejarah bangsa? 
  3. Buku Harry Poeze ini adalah karya akademis. Ia adalah hasil riset selama bertahun-tahun pertama kali terbit di luar negeri sebagai teks sejarah, buku yang mengulas tentang sejarah gerakan kiri di Indonesia dan peran Tan Malaka di dalamnya. Oleh sebab itu, menganggap buku ini ancaman sangat keliru, mengingat buku ini ilmiah dan dilakukan melalui pencarian lapangan. 
  4. Mengafiliasikan Tan Malaka dengan komunisme (PKI) juga keliru. Perlu dicatat, bahwa walaupun Tan Malaka pernah bersama-sama mendirikan PKI dan pernah pula bicara sebagai wakil Komunis Indonesia di Komintern, sejak tahun 1927 Tan Malaka tidak lagi bergabung dengan PKI. Ia menolak keputusan CC PKI yang ingin melakukan pemberontakan tahun 1927 dan kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Di masa revolusi, ia mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) yang tidak berhaluan komunis. Atas dasar itu, alasan orang-orang yang mengatakan bahwa Tan Malaka itu komunis salah kaprah dan jelas tidak berdasar sama sekali.
  5. Perlu dicatat juga bahwa Tan Malaka adalah seorang muslim. Ia bahkan, awalnya, dikabarkan sebagai seorang guru mengaji di kampungnya dan hafal ayat-ayat Al-Qur'an. Jelas bahwa Tan Malaka adalah muslim taat pada awalnya. Pada masa awal-awal kebangkitan, bukan sesuatu yang aneh jika ada seorang muslim taat kemudian berpihak pada gerakan kiri, karena gerakan kiri juga berakar dari umat Islam (PKI awalnya adalah Sarekat Islam Cabang Semarang). Kiranya, kalau ingin mengontraskan umat Islam dan Tan Malaka, fakta sejarah di atas harus juga dipahami terlebih dulu.
Oleh sebab itu, saya sebagai pegiat Forum Diskusi Kultural mengecam keras pembatalan sepihak yang dilakukan terhadap diskusi buku mengenai Tan Malaka. Pemikiran dan jejak sejarah seorang pahlawan bangsa harus dihargai sebesar-besarnya. Adalah keliru jika diskusi dibatalkan hanya karena ada yang tidak suka. Seharusnya, mereka yang tidak suka dengan adanya diskusi, mengikuti jalannya diskusi buku tersebut dan berdialog secara cerdas di dalam forum. 

Hal ini akan membuktikan bahwa ormas, apalagi yang membawa nama Islam, adalah orang-orang cerdas yang membaca buku, bukan preman yang hanya pandai membawa senjata. Jika ada polisi atau tentara yang juga terlibat dalam pembatalan ini, kita patut prihatin karena pendidikan candradimuka mereka di Akademi selama bertahun-tahun ternyata sia-sia. Kita perlu polisi dan tentara yang cerdas, juga umat Islam yang membaca buku.

'Ala kulli haal, saya berharap insiden semacam ini tidak lagi terjadi di bumi Indonesia. Semoga Allah melindungi setiap manusia yang berpikir dan berpengetahuan.

Nashrun minallah wa fathun qariib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar