10 Februari 2014

Pembunuhan Massal Kaum Intelektual!

Fachry Aidulsyah
Ketua Bidang Kebijakan Publik PD KAMMI Sleman, Pegiat Gerakan Indonesia Berdaulat 


Ketika ‘Kampus’ Menjadi Pembunuh
Mungkin orang telah jengah melihat realita kampus hari ini. Kampus yang seharusnya menjadi ruang reproduksi pengetahuan dan pembentukan agen intelektual kini justru malah menjadi ruang komersialisasi bisnis. Budi F Hardiman menyatakan; globalisasi yang disertai ekspansi pasar telah ikut mendorong proses komersialisasi pendidikan. Iklim komersialisasi kampus telah membuat banyak kampus lebih melayani kepentingan pasar daripada melakukan berbagai macam inovasi pengetahuan dan berbagai macam kreatifitas dalam menjawab tantangan masa depan.

            Selain itu, secara tidak sadar kampus saat ini juga seakan telah mengubah orientasi yang berawal menjadi lembaga pendidikan, kini menjadi lembaga politik-administratif. Perihal itu tergambar dari sejauh mana wacana ilmu pengetahuan kian tersandera untuk menjangkau kepentingan sebagian elite (baca: globalisasi) itu sendiri. Akhirnya, kampus saat ini seakan hanya menjadi dua kutub kehidupan (1) kampus mengalami resonansi anti-saintisme ditandai dengan matinya bangunan kultur intelektual. Kampus hanya dijadikan sebagai peningkatan identitas kelas sosial tanpa dibarengi peningkatan ilmu pengetahuan bagi setiap individu-individunya. Aktivisme kampus menjadi mati, ruang kuliah sudah mulai tidak diprioritaskan oleh sebagian dosen yang lebih tergiur dengan berbagai macam ‘proyek’. (2) kampus juga seakan hanya mereproduksi saintisme-semu. Matson seakan menggambarkan; kampus saat ini seakan hanya menciptakan manusia selayaknya mesin yang diarahkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan praktis pekerjaan seorang ‘teknokrat’ yang melayani segala macam kepentingan pasar. Wajarlah jika buku dan ruang diskusi menjadi suatu hal yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh mahasiswa. Karena ‘nilai utama’ bagi mereka bukanlah pengetahuan, melainkan ‘nilai A’ dari secarik pelajaran. Hal ini tak ubahnya dengan apa yang disampaikan oleh Jurgen Habermas sebagai “kesadaran teknokratis”.

Ketika ‘Kaum Intelektual’ Kehilangan Arah
            Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, ketika kampus hari ini hanya menjadi ‘wisata pengetahuan’ yang sudah tidak lagi mereproduksi agen-agen intelektual masa depan, kepada siapakah nasib bangsa ini akan dipergulirkan?
            Wajarlah jikalau sistem demokrasi kita mungkin sistem demokrasi mengalami pematangan kualitas secara pelembagaan, namun mengalami pengeroposan ‘kualitas calon’ ditingkat legislatif maupun eksekutif. Sumberdaya finansial masih menjadi faktor utama pemenangan daripada faktor intelektualitas itu sendiri. Mereka menjadikan profesi ‘pemerintah’ sebagai sektor pengembangan bisnis yang mampu ‘menngembosi sumber daya finansial’ negara dalam rangka mengakumulasi sumberdaya fanansial pribadi.
            Memang sangat dilematis jikalau definisi ‘kaum intelektual’ hanya dikategorikan berbasis pada kaum akademisi atau pun kaum yang berasal dari kampus. Namun, setidaknya kampus menjadi salah satu ‘sarana formal’ pembentukan intelektual itu sendiri.
            Pertanyaannya adalah; apa sebenarnya makna yang tersirat dari definisi intelektualitas? Julian Benda menyatakan; Intelektual adalah orang-orang yang kegiatan hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Kaum intelektual adalah orang-orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu pengetahuan atau teka-teki metafisika. Singkatnya, dalam hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan, dan dengan demikian dalam artian tertentu kerajaannya bukanlah di dunia ini”. Mereka adalah sekelompok manusia yang menempatkan impiannya tidak hanya pada praktis yang sifatnya keduniawian, melainkan meletakkan tujuan hidupnya pada visi masa depan yang mencerahkan tidak hanya di dunia tetapi juga di surga.
            Yudi Latif mengungkapkan; intelektualitas pada awalnya merujuk pada individulalitas dari para pemikir dan mengindikasikan respon individu dari pemikir terhadap sebuah panggilan historis tertentu atau fungsi sosial tertentu. Dari dua definisi diatas, setidaknya –sebagaimana yang dikemukakan Ahan Syahrul- definisi intelektualitas adalah bahwa; seorang sarjana yang cakap memahami keilmuan belum tentu seorang intelektual yang mampu memberikan pendapat, gagasan dan ide serta menanamkan pengaruhnya pada masyarakat walaupun ia dianggap orang cerdas. Hal tersebut berbeda dengan pengertian mengenai kaum intelektual yang dapat dipahami sebagai orang yang mempunyai pengetahuan mengenai keseluruhan, mampu menggerakkan rakyat serta menjadi solusi bagi masyarakat.

Selanjutnya, Yudi Latif melanjutkan bahwa esensi kaum intelektualitas adalah; mereka yang mempunyai suatu kesamaan identitas dalam perbedaan dan keberagaman dalam kebersamaan identitas. Pada intinya mereka adalah kelompok elite yang minoritas namun mempunyai peranan besar dalam mengayun bandul gerak sejarah bangsa. Mereka menjadi bagian inti dari perubahan bangsa dan hadir di setiap lini perubahan. Meski pun kecil, mereka memiliki daya pengaruh yang sangat luas untuk menggerakkan masyarakat. Karena pada pundak mereka dinamika kebangsaan menentukan momentumnya untuk berubah dan bertransformasi.

Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan Max Weber; ‘Para intelektual seringkali berhadapan dengan dilema antara memilih integritas intelektual atau kontingensi-kontingensi ekstra-intelektual, antara arus ide yang rasional atau kejumudan dogmatik. Setiap keputusan yang memilih pilihan kedua akan berarti melakukan ‘pengorbanan intelek’.

            Disinilah peranan kaum intelektual dibutuhkan. Mereka hadir bukan untuk menjadi ‘pengekor’ sistem yang sudah mulai membusuk. Mereka bukanlah orang-orang yang hanya mempertajam ‘gagasan’ namun tanpa dibarengi tindakan untuk perbaikan bangsa. Kaum intelektual adalah ‘kamu, kalian, mereka,.. kami’ yang selalu mengedepankan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Yang bersungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk bangsa demi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengedepankan ‘akal yang berintegrasi dengan ruh’ untuk selalu menegakkan kedaulatan bagi umat manusia.




Ketika Gerakan Mahasiswa Hilang?

Dari perihal diatas, kita mendapatkan benang merah bahwa ‘kampus’ mulai tidak memberikan ruang aktivisme intelektual yang luas, bahkan cenderung tertutup. Dan memang perihal ‘penggembosan aktivisme intelektual’ tidak dapat dipungkiri sebagai salah satu warisan Orde Baru melalui NKK/BKK dan berbagai macam kebijakannya yang hari ini terus melakukan transformasi. Namun perbedaan mendasar yang ditemukan diantara dua zaman yang berbeda itu adalah ‘kaum intelektual’ yang teralienasi dengan kampus terus mencari ruang untuk ‘bergerak’ dengan berbagai macam dinamikanya. Namun, pasca reformasi muncul fenomena baru, yaitu; dinama ‘gerakan mahasiswa –sebagai alat reproduksi intelegensia’ terbelenggu dengan model ‘gerakan mahasiswa’ di masa orde baru dan sangat sulit untuk mencari bentuk dalam mentransformasikan gerakan yang mampu menjawab segala macam tantangan kebijakan dan dinamika kampus yang terus bertransformasi. Akhirnya, kecenderungan yang muncul adalah; kampus semakin menunjukkan ‘arogansi kebijakan’-nya dengan wajah yang semakin ‘soft’ dalam membangun framing opini para mahasiswa untuk semakin apatis ‘atas nama tuntutang akademik’, namun disatu sisi ‘gerakan mahasiswa’ justeru tidak mampu menjawab tantangan tersebut dan cenderung ditinggalkan oleh mahasiswa itu sendiri. Ruang diskusi semakin mati, aktivisme politik gerakan mahasiswa semakin surut tak berarti.

Disinilah letak permasalahan yang harus saat ini harus menjadi prioritas penyelamatan. Setidaknya, ketika ‘kampus’ sudah mulai tertutup, gerakan mahasiswa masih bisa menjadi senjata ampuh dalam mereproduksi ‘kaum intelektual’. Ketika dinamika mahasiswa hari ini semakin apatis terhadap politik kampus dan politik kenegaraan, namun fakta yang berkembang saat ini sangatlah menarik, justeru semakin banyak mahasiswa yang lebih peduli terhadap gerakan kebudayaan dan pemberdayaan pemberdayaan masyarakat. Dan ini adalah modal sosial yang menjadi elemen penting untuk ditindak lanjuti ‘gerakan mahasiswa’ saat ini agar  bisa menjadi wadah yang mampu mengintegrasikan reproduksi intelegensia-pemberdayaan-kebudayaan dalam merespon dinamika sosial politik yang berkembang.

Untuk mampu menjawab tantangan tersebut, setidaknya ada empat agenda yang harus menjadi pijakan ‘gerakan mahasiswa’ saat ini dalam bertransformasi; (1) membangun kesadaran tentang fakta sosial; dalam hal ini, Kuntowijoyo dalam hal ini menekankan tentang bagaimana setiap individu-gerakan mahasiswa dalam melihat fakta sosial yang berkembang dimasyarakat untuk dijadikan sebagai sebuah peluang dalam melihat peluang dalam bergerak dan membaca tantangan masa depan (eschatology) dalam bergerak. Dalam hal ini, Fahri Hamzah menyatakan; prediksi masa depan (future prediction) hanya dapat dilakukan jika kita tanggap dengan segala fenomena yang terjadi pada saat ini, membaca sejumlah isyarat dan petanda yang ada, lantas menganalisa kemungkinan-kemungkinan yang paling logis dan rasional mengenai efek dan konsekuensi yang bakal terjadi. Disinilah letak ‘kaum intelektual’  harus berani dan mampu menerawang puluhan tahun ke depan, atau bahkan ratusan tahun kedepan untuk membaca sejarah lebih dini. Kaum muda juga harus mampu memprediksi imajinasi kolektif bangsa ini yang akan kita bawa kearah mana, serta infrastruktur masa depan bangsa ini akan seperi apa, sehingga bangsa ini memiliki kemampuan antisipasi sebagai bangsa yang berpikir visioner.

(2) Manajemen yang rasional; rasionalitas dan strategi gerakan harus dimanage dengan rapid an terarah. Manajemen rasionalitas dibutuhkan terlebih dahulu untuk menyelesaikan intra-gerakan itu sendiri. Sudah saatnya kesadaran kolektifitas gerakan menjadi identitas utama yang terus di-manage dan selalu mengedepankan kepentingan bersama daripada mengedepankan kepentingan eksistensi politik individu.

Dan yang terakhir, ialah (3) manajemen pemberdayaan; manajemen pemberdayaan adalah pembauran gerakan mahasiswa dan gerakan pemberdayaan menjadi satu kekuatan yang utuh, yang mampu saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan satu sama lain. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa jangan sampai dikungkung menjadi manusia ‘pikiran’ yang tidak pernah menemukan orang untuk ‘menindak lanjuti’ pikiran tersebut. Setidaknya, dengan pembauran inilah antara gerakan mahasiswa dan gerakan pemberdayaan saling menempatkan peran yang mengintegrasikan antara ‘pemikir strategis’ dan ‘penindak taktis’ untuk menciptakan suatu perubahan Bangsa yang lebih baik.

Dari tiga poin diataslah, sekiranya satu titah untuk menghidupkan kembali episentrum ‘reproduksi kaum intelektual’ dikembangkan. Tiga poin ini hanyalah ingin mengukuhkan bahwa ‘kaum intelektual’ harus hidup di setiap zamannya. Sudah menjadi hukum alam jika yang bergelut di bidang tersebut terlampau sedikit. Namun bukan berarti yang sedikit itu harus mati dan tenggelam, melainkan dengan yang sedikit itulah bisa menghasilkan karya-karya besar dan berdaya. Transformasi disetiap zaman menjadi penting, tinggallah esensi kebenaran akan tetap menjadi fondasi  perjuangan.


Ketika kampus sudah arogan dan mulai kehilangan arah, bukan berarti ia menjadi awal sejarah ‘kematian kaum intelektual’. Ketika ruang diskusi semakin sepi diminati mahasiswa, bukan berarti ‘kehidupan kaum intelektual sudah mati’. Tinggalah semua ada dipundak kita yang menentukan mati atau hidupnya ‘kaum intelektual’ saat ini, ia ada ‘dipundakku, pundakmu, dan pundak kita semua’ untuk saling bersatu dan saling menguatkan perjuangan satu sama lain. Sudah saatnyalah ‘kaum intelektual’ bangkit dari tidurnya, dan kini kita memulai sejarah perjuangan baru untuk kehidupan yang lebih baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar