11 Februari 2014

Menguatkan Ideologi KAMMI (Tanggapan untuk Alikta Hasnah Safitri)

oleh: Sofistika Carevy Ediwindra *)

Pimpinan Redaksi Eramadina Online, Pegiat Forum diskusi KAMMI Kultural,


Tanggapan atas tulisan Alikta Hasnah Safitri berjudul Membingkai Perkaderan KAMMI: Kritik dan Gagasan


Keresahan atas segala hal yang terjadi di sekitar kita menjadi sebuah indikasi sederhana namun prima yang menunjukkan masih adanya kepedulian. Negara ini tidak ada yang memungkiri atas anugerah (taken for granted) berupa SDA dan SDMnya yang berlimpah. Namun demikian negara ini mungkin kehilangan banyak penegaknya yang peduli yang justru inilah semestinya yang menjadi nyawa sesungguhnya.


Hal yang sama terjadi di gerakan pemuda Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Gerakan ini baru menjadi remaja dalam bingkai usianya yang hendak genap 16 tahun. Dalam usianya yang meremaja, ia menjadi semakin menarik dan mempesona banyak kalangan. Banyak sekali pihak yang melirik sang primadona KAMMI yang dengan berbagai aksinya terus menggeliat di sebaran Indonesia. 

Tidak ada yang menyangkal atas luar biasanya perekrutan mahasiswa untuk menjadi kader KAMMI di kampus-kampus di seluruh Indonesia. Ada kampus yang dengan sekali gelar mampu meraup hampir seratusan anggota dan itu dilakukan dalam tiga kali pelaksanaan daurah tingkat pertama (Daurah Marhalah1) sebagai gerbang awal masuk KAMMI. Bayangkan saja berapa totalnya dalam satu kali periode kepengurusan. Ada pula kampus yang dengan tertatih namun terus mengkader anggotanya yang mungkin tak lebih dari sepuluh orang dalam sebuah komisariat. Semuanya sama, memiliki gelora semangat yang sama yang sangat layak diapresiasi meski hanya Allah-lah yang mampu memberikan balasan atas niatan memperbaiki generasi yang dilakukan para kader KAMMI.

Kaderisasi dan Penguatan Ideologi
Kaderisasi memang menjadi ujung tombak organisasi. Dalam pemaparannya, Sugeng Riyadi yang merupakan alumni aktivis KAMMI sekaligus HMI menyatakan bahwa syarat terjaganya kaderisasi ini jugalah menjadi kunci yang akan melestarikan gerakan. Kaderisasi berkaitan erat dengan melebarkan basis pendukung dan sebagai penjamin ketersediaan sumber daya manusia sebuah gerakan.Akan tetapi, ia menegaskan pemaparannya bahwa kaderisasi adalah sebuah entitas yang tak terlepas dari penjagaan atas otensitas ideologi gerakan. Dua hal ini,kaderisasi dan otensitas ideologi gerakan menjadi dua hal utama yang menjadi kunci langgengnya sekaligus tantangan gerakan di mana pun berada. Ditegaskan pula bahwa hanya mengandalkan kaderisasi akan berbuah pragmatisme gerakan sedangkan hanya memelihara konsistensi ideologi akan membawa gerakan pada sebuah eksklusivisme (tertutup). 

KAMMI dalam pandang saya yang awam ini, terus berupaya bergerak untuk menggenggam keduanya; kaderisasi dan otensitas ideologi. Namun bukan berarti tanpa masalah. Gesekan dengan banyak pihak adalah suatu keniscayaan yang mana di sinilah akan nampak kekuatan dan kedewasaan KAMMI diuji. Bukan tanpa sebab kita melirik pada pergerakan di sebelah kita yang luar biasa kaderisasinya namun terbentur oleh krisis ideologi. Gerakan ini eksis dan mengakar di jagad Indonesia dengan kadernya yang mendiaspora dalam berbagai lini masyarakat sedemikian rupa. Akan tetapi, banyak pihak yang menyatakan keprihatinannya atas ideologi sang gerakan yang bisa dibilang tergeser dari khittahnya. 




KAMMI bukan organisasi saklek jika yang dimaksud adalah tidak adaptif terhadap dinamisme kehidupan ini. KAMMI sejak awal pendiriannya yang mengambil poros sebagai pendobrak stagnansi, sebagai moral force, yang mana karakter ini muncul dalam tanah lahirnya di era reformasi. Namun kini KAMMI terus bergerak seperti jargonnya yang tertulis banyak di jaket para kader “Bergerak Tuntaskan Perubahan”. Konsekuensi pergerakan itu salah satunya bertemu dengan berbagai ideologi dan manusianya. Dan pengerucutannya salah satunya juga pada masalah dualisme gerakan yang lumayan tenar terjadi dan dibahas di beberapa komisariat bahkan daerah yang ada. 

Keresahan atas dualisme gerakan ini sebenarnya mungkin banyak yang telah sadar namun enggan sadar. Mungkin juga banyak yang tidak sadar dan tidak mau sadar atau malah banyak yang sudah sadar namun terus menikmati dan membiarkan. Bisa dibilang semua pihak ini justru menjadi pihak dalam tubuh KAMMI yang mencederai sendiri apa yang telah dimisikannya sebagai orang yang merdeka. “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan”

Dualisme gerakan ini apakah berbahaya? Kenapa tidak kita justru memanfaatkannya untuk semakin mengekskalasi gerakan kita? Bukankah kita memiliki jalan pikiran yang sama, kesamaan hal yang kita usung, dsb. Kenapa dan kenapa lain di benak dan pikir saya juga terus berkelebat. Lalu muncul juga antitesisnya berupa pertanyaan dan semakin ditegaskan dalam tulisan Adinda saya, Alikta Hasnah Safitri. Dalam kepeduliannya ia bergerak untuk resah dan mempertanyakan tentang krisis ideologi yang dihinggapi oleh beberapa elemen di KAMMI yang sebabkan justru dependensi KAMMI pada suatu entitas katakanlah politik praktis yang naasnya kerap menyeret KAMMI mengorbankan idealisme gerakan yang dibangunnya. KAMMI seolah tidak jauh beda dari elemen tersebut dan digunakanlah KAMMI sebagai mesin penggalang suara sang organisasi politik praktis.

Alikta menyoroti masalah ini ada pada segi kaderisasi KAMMI yang sama-sama kita akui sebagai tombak yang mestinya paling tajam dalam tubuh KAMMI. “Hal ini dilatarbelakangi oleh dualitasnya sebagai kader KAMMI sekaligus kader jama’ah, sekaligus dualitas KAMMI sebagai organisasi mahasiswa independen dan hubungan patron-client nya dengan PKS. Bagi saya, pembongkaran dualitas peran ini harus tuntas sebelum seorang kader dilantik menjadi Anggota Biasa1 KAMMI paska mengikuti Dauroh Marhalah1.”

Ya, jawaban sejatinya telah tertera dengan jelas pada diri kita. Usah kita mencari hingga kepayang untuk sebuah pertanyaan yangsemestinya dengan tangan kita bersama mampu dituntaskan. Perkaranya ada padasoal keberanian dan kemauan untuk menetaskannya atau tidak. Pertanyaannya ada pada seberapa jantan KAMMI dan seluruh kadernya mampu mempeloporinya.

Kunci tersebut yakni dengan menguatkan ideologisasi KAMMI. Irisan dalam proses pengkaderan KAMMI dengan elemen parpol tersebut bukan hal sepele jika tidak ingin kian menghancurkan gerakan kita ini. Persoalan jati diri KAMMI semestinya tuntas namun tidak bisa diharapkan tuntas sedemikian rupa jika tidak ada pengawalan secara serius. Menguatkan ideologi KAMMI berartimesti siap berdiri mandiri dengan perangkat KAMMI yang telah tersusun sedemikian rupa pada manhaj yang dimiliki. Menguatkan ideologisasi KAMMI berarti siap lebih lelah membina dan menerapkan jenjang pengkaderan dengan lebih serius. Artinya, sudah tidak ada lagi prinsip ‘menumpang’ yang sebab kankita kian tak bisa menyatakan dengan lantang keKAMMIan kita. Dalam hal ini bukan berarti kita menentang apa yang menjadi tujuan gerakan katakanlah PKS atau yang lain. Bukan. Jika memang terdapat kesamaan dengan PKS ataupun partai lain yang dapat disinergikan  boleh saja terjadi. Namun kita mesti memiliki garis tegas dalam gerak bukan sebagai mesin pencetak suara yang bisa diakomodir sekehendak siapa yang membayar.

Menguatkan ideologisasi KAMMI berarti siap mengubah mindset diri untuk lebih mandiri, bermakna siap menelurkan inovasi yang kian menguatkan kader, siap untuk kian menaikkan kompetensi dan bargaining diri, siap bergesekan dengan lebih banyak suara dan gagasan yang heterogen, siap dengan konsekuensi untuk berbeda, siap jatuh dan siap bangun, siap untuk bekerja sama mengakomodir elemen yang lebih variatif, dan beragam kesiapan lain. Penguatan ideologi KAMMI bisa dengan banyak hal; mempertajam diskusi keumatan, keindonesiaan dan keKAMMIan, menguatkan asupan nutrisi dan membiasakan diri bergerak atas dasar pemahaman bukan utusan. Menguatkan ideologi berarti meningkatkan kompetensi dan pemahaman kader untuk bisa berkontribusi konstruktif dalam banyak ranah kelak. Menguatkan ideologi berarti tidak antipati pada diaspora yang mengaruskan perbaikan tidak dari satu aspek saja.

Dari ideologi yang kuat tersebut bukan tidak mungkin lahir daya imunitas yang kuat yang menjadi filter alamiah kader dan organisasi KAMMI dalam dinamismenya yang adaptif namun tetap ideologis dan idealis. Mungkin sangat layak di sini kita meminjam kalimat penegasan dari Pak Andriyana, Ketum PP KAMMI 2013-2015 yakni, “Dalam KAMMI,gunakanlah cara berpikir dan bergerak KAMMI. Dalam partai, gunakan logikaberpikir partai, jangan sebaliknya.”

Semoga KAMMI bukan hanya akan menjadi organ yang diam dan mati di lumbung ideologinya sendiri.

Wallahu a’lam bish showab.



*) Aktivis KAMMI Jakarta, pernah menjadi Sekretaris Umum KAMMI Komisariat Madani. Mahasiswi Sampoerna School of Education.

1 komentar:

  1. tulisannya bagus.. he.. cuma berat untuk saya yg biasa mikir santai

    kaderisasi dan Aksi ibarat sirkulasi darah, kaderisasi memompa darah dari seluruh tubuh ke jantung, sedangkan Aksi menyalurkan dari jantung ke seluruh bagian tubuh..
    sedangkan otentitas ideologi itu variabel tetap itu golongan darahnya.

    ysf.cahyadi-

    BalasHapus