19 Februari 2014

Sastra dan Kudeta



Dharma Setyawan, MA
Pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural, sekarang tinggal di Bandar Lampung

“Harmoni itu tidak pernah mengenal kata krisis” -Ashadi Siregar.

Kutipan kata-kata Ashadi Siregar di atas adalah bagian kecil dari pidato budaya saat peluncuran majalah sastra “Sabana” di Rumah Budaya Emha Ainun Najib di Yogyakarta (25/06/13) dengan tema “Menuju Bangsa Tanpa Sastra”. Bang Ashadi dengan kritis bertanya: apa yang diharapkan dari sebuah karya sastra? Apa yang menjadikan sastra menjadi bagian kebudayaan dalam cara berpikir kemanusiaan?

Pertanyaan itu adalah letupan-letupan yang muncul di tengah krisis kepercayaan kita menghadapi demokrasi kita yang semakin tidak menemui kepastian. Hari ini, kita mendapati ironi: sastra semakin hilang dari bangku-bangku pendidikan, hilang dari kehidupan sosial. Tidak ada semangat berkarya, meresapi, bahkan merenungi kembali karya sastra bangsa ini. Hilangnya sastra diikuti oleh semakin tenggelamnya kebudayaan berpikir para generasi.

Lalu sejauh mana peran sastra -yang membangun cara berpikir berbudaya dalam kehidupan manusia- berperan terhadap perubahan yang dicita-citakan, terutama oleh mahasiswa, lebih utama lagi oleh KAMMI?

Hegemoni Politik
Jika diikuti secara seksama, pusat berpikir para aktivis (terutamamahasiswa) pasca-98 semakin terfokus pada politik dan kianpolitical-minded”. Kita belum melihat apresiasi kebudayaan dalam rumah sastra bangsa ini diberikan tempat sebesar kita memberi tempat pada panggung politik kita -politikus, partai, pemilu, acara televisi, headline koran. Semua sedang mabuk dengan panggung kekuasaan.

Bahkan. kita menemukan kreatifvtas kebudayaan sastra membusuk di panggung politik. Kreativitas budaya hanya sekadar untuk memberi legitimasi kesenangan para pelaku politik untuk diakui telah merakyat, sehingga para sastrawan menjadi sangat rendah di bawah ketiak para politikus.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Indonesia. Negara-negara yang mengakui sebagai penganut demokrasi-pun tidak jarang membunuh peran-peran kebudayaan atas nama egalitarianisme, humanisme, dan kebebasan. Laku para politikus penguasa hari-hari ini semakin rendah dalam dialektika dan tidak mencerminkan bahasa kebudayaan.

Jika dulu Sutan Sjahrir menyadari bahwa dirinya kalah populis dengan Soekarno, Sjahrir menyebut dirinya dengan diktum sastra yang menarik. “Saya tidak patahsaya hanya melengkung” ucap Sjahrir. Kata yang penuh seni sebagai seorang politisi. Sjahrir pun akhirnya memilih diri menjadi seorang pendidik demokrasi -berjuang mendidik para pemuda- bersama Hatta dan berjuang bersama pejuang pro demokrasi lainnya.

Bagi Sjahrir, dengan memilih jalan bersama Partai Sosialis Indonesia (PSI), ia membaktikan diri pada kerja politik kebudayaan di tengah rakyat. Di saat yang bersamaan, para teknokrat mabuk populisme ketokohan Soekarno. Bersamaan dengan itu pula, Hatta mundur atas sikap Demokrasi Terpimpin yang dicetus Soekarno. Semua itu, tak syak lagi, jelas merefleksikan adanya keretakan. Namun, hubungan mereka tetap cantik di mata kebudayaan kita dan sejarah mencatatnya. Tidak ada luka politik yang memalukan seperti hari-hari ini yaitu korupsi- perilaku politik nir kebudayaan dan bentuk kekuasaan sampah.

Obsesi memimpin hari ini adalah obsesi bisnis, untung dan tak mau rugi. Obsesi yang sangat borjuistis –tanpa ada nafas ideologi sama sekali.

Mari kita bandingkan dengan kata-kata Presiden SBY ketika Partai Demokrat diterpa badai korupsi berbagai skandal mega proyek yang dilakukan oleh kader-kader terbaiknya:Saya akan buktikan bahwa bukan hanya Partai Demokrat yang korupsi partai lain juga melakukan korupsi, ucap SBY. Memang benar, isi pidato tersebut tidak salah, namun ini sebuah ciri kemunduran mutu bahasa pemimpin kita. Sebuah pidato yang sangat tidak berkualitas dan sangat jauh dari ucapan seperti Sjahrir di atas. Matinya sastra di panggung politik kita sangat berbahaya bagi kedewasaan dan tumbuhnya simpul-simpul inteligensia.

Jika sekarang korupsi menjadi perilaku laten kita, lalu apa yang akan diwariskan dalam kepemimpinan, baik atas nama demokrasi atau ideologi apapun? Diksi menjadi penting. Kita sangat perlu memperhatikan kualitas isi dari kata-kata yang dimiliki bangsa ini, untuk menjadi pusat energi kebudayaan dan menghilangkan segala panggung yang tidak berkualitas.

Kudeta oleh Sastra
“Kudeta” kata yang sangat ‘traumatik’ ditengah kehidupan sosial yang kian menakutkan. Kata yang menjadikan seseorang, golongan, agama, kekuasaan negara tersingkir dalam peradaban. Kata yang memasung eksistensi pihak lain bahkan menenggelamkannya dalam represi yang sangat padat dan terlampau keras.

Mengapa ada kudeta? Kudeta adalah cara ampuh me-negasi-kan individu, kelompok agama, golongan suku. Kudeta adalah upaya menstrukturkan kekuasaan korup dan otoritarianisme. Dalam kacamata kemanusiaan dan demokrasi, kudeta adalah sesuatu yang salah. Maka, muncullah demokrasi sebagai alternatif.

Pun demokrasi tidak memberi jaminan bagi berlangsungnya kehidupan yang lebih baik. Pemilu menjadi ritual. Ritualisme pemilu ternyata juga tidak menjadi titik terang yang jitu untuk bangsa bangkit secara bersama. Maka dari itu, kita butuh sastra untuk memberi mutu pada demokrasi. Kita butuh sastra untuk memberi manis di pahitnya kompetisi politik yang penuh lacur.

Sastra, dalam kehidupan demokrasi kita saat ini, adalah bandul tegaknya keadilan berpikir untuk mempertahankan Indonesia. Pakem berpikir para pemimpin yang tidak berkualitas diobati dengan pijakan sastra. Sastra mengobati kesalahan-kesalahan bangsa iniyang memberi ruang besar pada dominasi panggung_oligarki politik. Mereka yang tidak siuman dari pingsan kedunguan dan tidak memiliki kesadaran untuk berbudaya akan selalu dipantik oleh sastra. 

Maka, sastra akan mengusik kekuasaan yang tuli terhadap kebenaran—fungsi penting sastra adalah ‘menunjukkan kebenaran’ di kala katup-katup kebebasan sudah tertutup. Pemimpin yang memahami sastra tidak pernah berucap untuk dendam. Pemimpin yang mengenal sastra tidak pernah berdiri kaku di tengah ragam perbedaan. Pemimpin yang mengerti sastra akan menegakkan cinta di tengah permusuhan.

Sebagaimana Ashadi Siregar bicara harmoni, pemimpin selalu merekatkan perbedaan menjadi kesatuan kebangkitan. Inilah elan vital sastra.

Pramoedya Ananta Toer (1999) pernah menyebut bahwa sastra memang tidak memiliki kemampuan bersenjata, membangun gerakan kudeta sebagaimana dimiliki oleh aparatus negara. Akan tetapi, sastra akan mampu untuk mengkudeta cara berpikir ‘kerdil’ para panguasa yang tidak segera sadar untuk berpikir secara benar.

Jadi, seberapa penting sastra dalam kehidupan demokrasi kita? Tentu sangat penting. Bahkan, kudeta yang melukai laku demokrasi kita membutuhkan sastra untuk memberi legitimasi terhadap kudeta yang mereka lakukan –sebagaimana Orde Baru melegitimasi anti-Komunisme dalam film dan sastra yang dilukiskan oleh Wijaya Herlambang (2013).

Kalau militer melakukan kudeta-bersenjata, maka bisa kita katakan: sastra juga melakukan kudeta ringan; kudeta dengan mengubah jalan pikiran anak-anak bangsa, lewat kritik dan kata-kata.
Sastra selalu mendapatkan tempat, baik bagi yang melakukan kudeta atau yang tidak. Kita harus segera sadar untuk memberi panggung bagi sastra hingga menjadi bagian penting berpikir membangun ke-Indonesiaan. Kiblat politik yang semakin menggurita, oligarki yang tak ubahnya feodalisme berjubah demokrasi mestinya kita buang jauh dengan narasi-narasi yang lebih bermutu.

Jika seorang Presiden negeri ini tidak memiliki mutu dalam panggung pidatonya, jangan salahkan jika generasi muda kita menjadi penerus buta kebudayaan dan mengkiblati bangsa lain soal kebudayaan -sastra-musik-film-pakaian. Korean-Pop, Gamnam Style, Hollywod, fashion Impor yang bertebaran adalah bukti bangsa yang tidak mengenal kebudayaannya. Lemahnya sastra berakibat pada lemahnya kesadaran –‘menjadi Indonesia’.

Lantas, bagaimana kita mau menang, sedangkan pijakan kebudayaan kita yang paling fundamental –sastra— kita telah dirobohkan oleh panggung kekuasaan pemimpin kita sendiri?

Wallahu a’lam bish shawwab.

*)  Penulis juga menjabat Direktur Badan Wakaf Nasional PP KAMMI 2013-2015

2 komentar: