25 September 2014

Bisakah KAMMI Jadi Parpol? (Komentar untuk tulisan Anis Maryuni Ardi)

Zulfikhar
Pegiat KAMMI kultural Jogjakarta. Ketua Umum PD KAMMI Bantul

Saya cukup terkejut bercampur gembira ketika membaca tulisan Anis dalam Jurnal KAMMI Kultural kemarin. Sebuah gagasan yang saya kira berani, kritis dan penting di tengah-tengah kekeringan dialektika yang melanda KAMMI. Tulisan tersebut mengandung banyak ide segar yang wajib dipertimbangkan kembali oleh seluruh kader KAMMI, terutama para eksponen di ibukota sana. Namun, tidak sedikit darinya beberapa perkara yang urgen didiskursuskan serta dikomentari. Dalam konteks inilah esai pendek ini hadir. Moga-moga menjadi timbangan yang berguna.
***
Muatan ide dalam opini Anis: “Upaya Strategis Pembenahan Politik Indonesia melalui KAMMI” seingat saya pernah muncul ketika DM3 Yogyakarta beberapa tahun lalu. Yang satu ini hanya pendapat. Kalau tidak salah, datang dari Triyanto Nugroho (Mekel), mantan pengurus KAMMI Wilayah DIY. Meskipun saat itu saya pikir ia hanya berkelakar. Ia mengatakan, KAMMI ke depan lebih baik jadi parpol saja. Yang terlontar begitu saja ketika tengah mengomentari diskusi yang berlangsung hangat membahas masa depan KAMMI. 

Tulisan Anis rasa-rasanya datang dari keresahan terhadap realitas logika kader KAMMI hari ini. Betapa dalam menggerakkan roda organisasi, para kader, bahkan AB3 sekalipun, tidak punya kemandirian berpikir serta berijtihad. Lantaran, sejak awal tak mampu membedakan sikap PKS dan sikap organisasi. Apa yang dilakukan dan dimusuhi PKS, turut serta harus didukung meskipun terkadang irasional, ahistoris, pragmatis. Katakanlah, sikap PP KAMMI kemarin yang secara terbuka mendukung  koalisi Merah Putih dalam isu RUU Pilkada.

Memang, kebanyakan kader KAMMI, umumnya berpikir dalam kerangka hizb. Yang dianggap ‘sehat’ ya seperti itu. Relasi keduanya sejak dulu memang bersifat resiprok, sejak organisasi ini didirikan. Doktrin al-hizb huwal jamaah, al jamaah hiyal hizb sebagai basis ideologi penyatuan, memang sangat manjur mengkondisikan dinamika ini. Sehingga menjaga PKS dari upaya-upaya melebar dan penggembosan dari belakang.



Posisi sebagai satu keluarga, ibarat relasi bapak-anak, tampak sejak semula dikonstruksi sedemikian agar perjuangan dakwah tarbiyah melalui KAMMI bisa berjalan beriringan dengan dakwah partai. Agar dakwah pada thullabi, dengan tujuan apa hal itu dilakukan, supaya mendukung dan memperkuat basis politik PKS di akar rumput. Hasilnya, kita semua bisa menyaksikan suara PKS pada pemilu kemarin cukup banyak datang dari kampus (mahasiswa). 

Relasi bapak-anak yang sengaja dipelihara ini, dalam masa 16 tahun pasca reformasi, mendatangkan banyak kemajuan bagi PKS. Suara partai, bagai bola salju, menjulang ke angkasa elektoral. Politik di daerah mulai banyak dimenangkan –seperti kemenangan pada pilgub Sumatra Utara, Sumatra Barat, Maluku Utara. Meskipun di saat yang sama, terpaan badai datang tiada henti-hentinya. Perkembangan yang begitu pesat itu tidak mungkin akan dilepaskan begitu saja bukan? Justru bukannya akan semakin diperkuat?

Bersama sederet kemenangan tersebut, kemudian semakin memperkuat kepercayaan diri kader, yang umumnya aktif di dalam PKS, untuk mendukung segala macam kebijakan partai. Sebab, janji kemenangan yang selalu di sampaikan berulang-ulang dalam forum pekanan, telah terbukti. Tugas kader oleh karenanya mengkondisikan agar hubungan itu terus terpelihara semakin mesra, intim, dan tentunya selalu terjaga ekslusif. Dengan tulus ikhlas mencintai apapun sikap yang diambil PKS. Sebagaimana pesan Imam Syahid Hasan Albana; “Kami memerangi manusia dengan cinta.”

Keresahan yang dialami Anis kupikir sama dengan keresahan pegiat KAMMI Kultural dua tahun lalu di Jogja. Sejak awal komunitas ini didirikan, keresahan yang serupa memang selalu datang membayang-bayangi sehingga pernah terbesit pikiran-pikiran agar memisahkan KAMMI dari PKS. Atau kalau tidak, KAMMI Kultural dari PP KAMMI. Meskipun masa-masa itu telah jadi sejarah. Bukankah kalau mempraktikkannya sudah subversif namanya? Mungkinkah kemudharatan yang lebih besar akan muncul? Bagaimana pendapatmu Anis?

Oleh karenanya, saya menangkap pesan dari kawan-kawan saat itu, komunitas KAMMI Kultural, agar berhenti pada arus intelektual saja. Kami berpikir, lebih baik beyond sajalah dari pada membikin agenda-agenda tandingan berbau struktural yang sudah menjadi domain organisasi. Melibatkan kader dalam olahraga intelektual di KAMMI Kultural bukankah sudah lebih dari cukup? Apa yang lebih baik dari pada menghormati fungsi masing-masing? Menyulut dan menjaga resonansi intelektual pada diri kader tidakkah suatu pekerjaan mulia?

O ya, perlu diperhatikan, dalam hal ini saya tidak sedang mewakili persepsi KAMMI Kultural. Semua yang saya tulis disini sepenuhnya adalah pendapat pribadi.

Dakwah dan  Cinta

Semua kader KAMMI saya kira sudah mengerti dengan menggerakkan organisasi adalah bagian dari pada melakukan kerja-kerja dakwah. Ya, kalau yang dimaksudkan dakwah yang mana,  saya kira kita semua sudah kenyang dengan jawaban bersayap yang kerap keluar dari mulut para eksponen gerakan. Termasuk saya sendiri. Pada suatu kondisi yang dimaksud dakwah adalah mengajak mahasiswa berislam holistik. Namun, pada kondisi lain yang dimaksudkan adalah merekrut ‘pekerja-pekerja partai.’ Meskipun kita akui bersama, pada dasarnya, semua itu baik.

Berdakwah kita tahu adalah mengajak mahasiswa agar tidak keberatan mencintai, membanggai dan memperjuangkan Islam. Tanpa motif dan maksud mencari keuntungan apapun. Tanpa tendensi untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Bagaimanakah hukumnya jika dakwah itu digunakan untuk membela partai politik tertentu? Apakah itu dinamakan dakwah? Silahkan kawan-kawan jawab sendiri.

Dalam esai ini saya tidak bermaksud mengajak kawan-kawan untuk skeptis, apalagi sentimen, terlebih fobia terhadap partai politik. Yang aku ingin sampaikan adalah mengapa kita tidak mendukung mereka yang baik? Mengapa kita tidak mendukung wakil rakyat, bupati, gubernur dan presiden yang pantas dalam timbangan KAMMI? Tentunya, tidak dengan cara menyelingkuhi konstitusi organisasi.

Di dalam berdakwah,  kita tahu, cinta kerap dipakai PKS untuk menggandeng KAMMI. Sebagaimana epistemologi dakwah cinta yang rajin di taujih-kan berulang-ulang oleh Ustadz Anis Matta. Dengan hati yang telah tercelup  dakwah tarbiyah akankah dengan mudah berlari jauh?

Begitulah kira-kira kondisi KAMMI sekarang. Memposisikan PKS sebagai ayah, yang melahirkan dan membesarkan, meskipun secara historis kader-kader KAMMI-lah yang telah mendirikan PKS. KAMMI memang sedang terhegemoni kata Gramsci. Sedang tertawan dalam subordinasi politik. Maka, rasanya kurang adil jika menumpahkan kesalahan itu pada kader. Barangkali yang lebih pas adalah menyalahkan logika mereka yang tak mampu mengenal dirinya dengan baik. Sesalilah ketidakmampuan mereka untuk menegasikan negasi yang membelenggu mereka. Nasehatilah mereka yang tidak mampu mereidentifikasi keduanya.
Penting sekali mengkritik cinta yang telah membeli kesadaran kader sehingga tidak merdeka 100%.  Membuat lupa pada kredo gerakan, “KAMMI adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka.” Yang seharusnya telah selesai sejak awal.

Id, ego dan superego kader tidak dapat dicegah telah bersatu dalam cinta. Yang benar dan keliru tidak mampu lagi dibedakan karena cinta rupa-rupanya telah membutakan mereka. Inilah sisi gelap dari cinta yang jarang manusia kenal. Sangat kontras dengan syair Iwan Fals, “Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.“ Itulah mengapa Imam Syafii pernah berpesan: “Cinta mampu menghilangkan daya kritis pada orang yang dicintai.”

'PKI'

Sebagaimana yang Anis uraikan dalam salah satu bagian dalam tulisannya, bahwa pasca dekade 60an partai politik kader dan ideologis mulai merubah wajah menjadi partai transaksional (Hlm. 2), khususnya pasca fusi partai politik ke dalam dua partai (PDIP dan PPP) pada tahun 1975, memang sulit sekali dihindari. Sampai-sampai Cak Nur berkomentar, “Islam yes, partai Islam no.” Bahwa logika partai yang dahulunya idealis kemudian bergerak pragmatis, sangat sukar dihindari ketika zaman telah cepat berubah semakin otoriter dan liberal. Siapapun dia partai yang terjun ke dalam kompetisi elektoral, hampir dapat dipastikan gagal menghindari virus struktural yang satu ini. Dengan cara baik atau buruk sekalipun. Dengan niat melakukan korupsi atau sekedar memburu rente.

Fakta bahwa biaya politik kian mahal menyebabkan sumber dana partai dan pertanggungjawabannya sampai hari ini tidak terpantau baik. Menandakan partai telah sedang memutar haluan. Selama agenda partai masih tertunda, dengan berbagai cara, sengkarut itu mereka usakahan singkap secepat-cepatnya. Itulah mengapa banyak orang baik tersandera berbagai macam kasus karena tidak pandai berdiri dalam sistem politik yang centang perenang ini. Itulah mengapa kerja KPK yang tiada hentinya menangkap koruptor, tidak pernah usai.

Kondisi partai politik yang demikian bobrok lambat laun kemudian menggusur kepercayaan rakyat. Apalagi mahasiswa. Pertarungan politik akbar kemarin menjadi salah satu penanda yang mengamini fenomena itu. Betapa, momentum saat itu mempertontonkan secara terbuka kepentingan politik berada di atas segala-galanya. Tuhan sekalipun harus menuruti dan berpihak pada yang kehendak mereka. Akibatnya, beberapa waktu lalu, panitia OSPEK Prodi Filsafat IAIN Surabaya mengangkat tema kontroversial “Tuhan telah membusuk” pada agenda tahunannya. Sebagai bentuk protes atas deviasi tersebut.

Lalu, yang menjadi pertanyaan, apakah fenomena itu berlaku untuk  PKS? Sehingga, Anis perlu menulis: “Transformasi wacana dan konstruksi pemikiran yang solutif adalah bagian yang tak terpisahkan dari KAMMI kultural. Melalui hubungan sedarah antara KAMMI dan PKS, yang lahir dari rahim yang sama, sebagai anak kandung dakwah, bagaimana jika dua bersaudara bersaing dalam kontestasi politik?”(Hlm. 1).

Nah, disinilah wacana itu menjadi penting. Menilai bahwa PKS tidak jauh berbeda dengan partai politik yang lain adalah suatu pertanyaan yang patut didiskusikan lebih lanjut. Tentunya, kembali lagi, agar supaya arah perdebatan ini tidak kembali dibedah melalui pendekatan-pendekatan klasik yang sering kurang adil.  Sebab, kalau sudah begitu, maka berakhirlah sudah perdebatan. Apalagi sampai membawa-bawa mekanisme voting. Yang kerap dimenangkan  kader PKS. Lalu doktrin al-qiyadah wal jundiyah  datang mengamankan keputusan.

Ide Anis mengenai transformasi KAMMI menjadi partai politik kemudian menemukan titik temunya  disini. Kebuntuan argumentasi memang tidak akan pernah terpecahkan secara baik-baik kalau sudah masuk tahap ini. Salah satu kemungkinan yang ada hanya dua: taat atau minggat. Seperti ancaman beberapa partai koalisi Merah Putih kepada kadernya para kepala daerah yang menolak mentah-mentah usulan RUU Pilkada.

Dengan demikian, Anis menyarankan agar KAMMI atau KAMMI Kultural, sebaiknya menjadi partai saja. Lepas dari jejaring patronasi PKS. Yang secara tidak langsung dari Tarbiyah itu sendiri. Seperti yang menimpa Ikhwanul Muslimin di Mesir pasca pemberhentian Abul Futuh. Lantas, menjadi prakondisi berdirinya Partai Wasat.

Menurut saya, saran itu baik-baik saja. Toh, selama dasar tujuannya baik, sebagaimana visi besar KAMMI dan tentunya rasional. Selama paradigma, prinsip, karakter dan kredo gerakan bisa dijamin eksistensinya seoptimal mungkin, mengapa tidak? Saya bahkan sudah menyiapkan nama: “Partai KAMMI Indonesia.” Disingkat PKI. Apik toh?

Ala kulli hal, dengan ide revolusioner tersebut, saya jadi bertanya-tanya, pertama, apakah dengan bertransformasi menjadi partai, KAMMI mampu mengikuti pemilu? Sedangkan PRD yang legendaris itu, sejak sembilan belas tahun berdirinya tidak pernah ikut. Lalu kedua, yang tak kalah penting, apakah ada kader yang siap mengisi pos DPP sampai DPC? Di tengah-tengah postur  logika yang terpasung hegemoni. Ketiga, apakah KAMMI mampu eksis dengan kadernya yang barangkali separuh atau 99% mahasiswa? Terakhir, apakah dengan demikian bukankah KAMMI telah mendirikan negasi atas negasi-negasi yang datang sebelumnya? Dan andai berhasil menjadi partai, apakah KAMMI mampu menjamin dirinya lebih idealis dari PKS?  Setidak-tidaknya, mampu makan dari keringat sendiri. Matur nuwun.[]


Ternate, 23 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar