Zulfikhar
Pegiat KAMMI kultural Jogjakarta. Ketua Umum PD KAMMI Bantul
Pegiat KAMMI kultural Jogjakarta. Ketua Umum PD KAMMI Bantul
Saya cukup
terkejut bercampur gembira ketika membaca tulisan Anis dalam Jurnal KAMMI
Kultural kemarin. Sebuah gagasan yang saya kira berani, kritis dan penting di
tengah-tengah kekeringan dialektika yang melanda KAMMI. Tulisan tersebut
mengandung banyak ide segar yang wajib dipertimbangkan kembali oleh seluruh kader
KAMMI, terutama para eksponen di ibukota sana. Namun, tidak sedikit darinya beberapa
perkara yang urgen didiskursuskan serta dikomentari. Dalam konteks inilah esai
pendek ini hadir. Moga-moga menjadi timbangan yang berguna.
***
Muatan
ide dalam opini Anis: “Upaya Strategis Pembenahan Politik
Indonesia melalui KAMMI” seingat saya pernah muncul ketika
DM3 Yogyakarta beberapa tahun lalu. Yang satu ini hanya pendapat. Kalau tidak
salah, datang dari Triyanto Nugroho (Mekel), mantan pengurus KAMMI Wilayah DIY.
Meskipun saat itu saya pikir ia hanya berkelakar. Ia mengatakan, KAMMI ke depan
lebih baik jadi parpol saja. Yang terlontar begitu saja ketika tengah mengomentari
diskusi yang berlangsung hangat membahas masa depan KAMMI.
Tulisan
Anis rasa-rasanya datang dari keresahan terhadap realitas
logika kader KAMMI hari ini. Betapa dalam menggerakkan roda organisasi, para
kader, bahkan AB3 sekalipun, tidak punya kemandirian berpikir serta berijtihad.
Lantaran, sejak awal tak mampu membedakan sikap PKS dan sikap organisasi. Apa
yang dilakukan dan dimusuhi PKS, turut serta harus didukung meskipun terkadang
irasional, ahistoris, pragmatis. Katakanlah, sikap PP KAMMI kemarin yang secara
terbuka mendukung koalisi Merah Putih dalam
isu RUU Pilkada.
Memang, kebanyakan kader KAMMI, umumnya berpikir dalam kerangka hizb. Yang dianggap ‘sehat’ ya seperti
itu. Relasi keduanya sejak dulu memang bersifat resiprok, sejak organisasi ini
didirikan. Doktrin al-hizb huwal jamaah, al
jamaah hiyal hizb sebagai basis ideologi penyatuan, memang sangat manjur
mengkondisikan dinamika ini. Sehingga menjaga PKS dari upaya-upaya melebar dan
penggembosan dari belakang.
Posisi sebagai satu keluarga, ibarat relasi bapak-anak, tampak sejak
semula dikonstruksi sedemikian agar perjuangan dakwah tarbiyah melalui KAMMI
bisa berjalan beriringan dengan dakwah partai. Agar dakwah pada thullabi, dengan tujuan apa hal itu
dilakukan, supaya mendukung dan memperkuat basis politik PKS di akar rumput.
Hasilnya, kita semua bisa menyaksikan suara PKS pada pemilu kemarin cukup
banyak datang dari kampus (mahasiswa).
Relasi bapak-anak yang sengaja dipelihara ini, dalam masa 16 tahun pasca
reformasi, mendatangkan banyak kemajuan bagi PKS. Suara partai, bagai bola
salju, menjulang ke angkasa elektoral. Politik di daerah mulai banyak
dimenangkan –seperti kemenangan pada pilgub Sumatra Utara, Sumatra Barat,
Maluku Utara. Meskipun di saat yang sama, terpaan badai datang tiada henti-hentinya.
Perkembangan yang begitu pesat itu tidak mungkin akan dilepaskan begitu saja
bukan? Justru bukannya akan semakin diperkuat?
Bersama sederet kemenangan tersebut, kemudian semakin memperkuat
kepercayaan diri kader, yang umumnya aktif di dalam PKS, untuk mendukung segala
macam kebijakan partai. Sebab, janji kemenangan yang selalu di sampaikan
berulang-ulang dalam forum pekanan, telah terbukti. Tugas kader oleh karenanya
mengkondisikan agar hubungan itu terus terpelihara semakin mesra, intim, dan
tentunya selalu terjaga ekslusif. Dengan tulus ikhlas mencintai apapun sikap yang
diambil PKS. Sebagaimana pesan Imam Syahid Hasan Albana; “Kami memerangi
manusia dengan cinta.”
Keresahan yang dialami Anis kupikir sama dengan keresahan pegiat KAMMI
Kultural dua tahun lalu di Jogja. Sejak awal komunitas ini didirikan, keresahan
yang serupa memang selalu datang membayang-bayangi sehingga pernah terbesit
pikiran-pikiran agar memisahkan KAMMI dari PKS. Atau kalau tidak, KAMMI
Kultural dari PP KAMMI. Meskipun masa-masa itu telah jadi sejarah. Bukankah kalau
mempraktikkannya sudah subversif namanya? Mungkinkah kemudharatan yang lebih
besar akan muncul? Bagaimana pendapatmu Anis?
Oleh karenanya, saya menangkap pesan dari kawan-kawan saat itu, komunitas
KAMMI Kultural, agar berhenti pada arus intelektual saja. Kami berpikir, lebih
baik beyond sajalah dari pada membikin
agenda-agenda tandingan berbau struktural yang sudah menjadi domain organisasi.
Melibatkan kader dalam olahraga intelektual di KAMMI Kultural bukankah sudah
lebih dari cukup? Apa yang lebih baik dari pada menghormati fungsi
masing-masing? Menyulut dan menjaga resonansi intelektual pada diri kader tidakkah
suatu pekerjaan mulia?
O ya, perlu diperhatikan, dalam hal ini saya tidak sedang mewakili persepsi
KAMMI Kultural. Semua yang saya tulis disini sepenuhnya adalah pendapat
pribadi.
Dakwah dan Cinta
Semua kader KAMMI saya kira sudah mengerti dengan menggerakkan organisasi
adalah bagian dari pada melakukan kerja-kerja dakwah. Ya, kalau yang dimaksudkan
dakwah yang mana, saya kira kita semua
sudah kenyang dengan jawaban bersayap yang kerap keluar dari mulut para eksponen
gerakan. Termasuk saya sendiri. Pada suatu kondisi yang dimaksud dakwah adalah
mengajak mahasiswa berislam holistik. Namun, pada kondisi lain yang dimaksudkan
adalah merekrut ‘pekerja-pekerja partai.’ Meskipun kita akui bersama, pada
dasarnya, semua itu baik.
Berdakwah kita tahu adalah mengajak mahasiswa agar tidak keberatan mencintai,
membanggai dan memperjuangkan Islam. Tanpa motif dan maksud mencari keuntungan
apapun. Tanpa tendensi untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.
Bagaimanakah hukumnya jika dakwah itu digunakan untuk membela partai politik
tertentu? Apakah itu dinamakan dakwah? Silahkan kawan-kawan jawab sendiri.
Dalam esai ini saya tidak bermaksud mengajak kawan-kawan untuk skeptis,
apalagi sentimen, terlebih fobia terhadap partai politik. Yang aku ingin
sampaikan adalah mengapa kita tidak mendukung mereka yang baik? Mengapa kita tidak
mendukung wakil rakyat, bupati, gubernur dan presiden yang pantas dalam
timbangan KAMMI? Tentunya, tidak dengan cara menyelingkuhi konstitusi
organisasi.
Di dalam berdakwah, kita tahu, cinta
kerap dipakai PKS untuk menggandeng KAMMI. Sebagaimana epistemologi dakwah
cinta yang rajin di taujih-kan berulang-ulang
oleh Ustadz Anis Matta. Dengan hati yang telah tercelup dakwah tarbiyah akankah dengan mudah berlari
jauh?
Begitulah kira-kira kondisi KAMMI sekarang. Memposisikan PKS sebagai
ayah, yang melahirkan dan membesarkan, meskipun secara historis kader-kader
KAMMI-lah yang telah mendirikan PKS. KAMMI memang sedang terhegemoni kata
Gramsci. Sedang tertawan dalam subordinasi politik. Maka, rasanya kurang adil
jika menumpahkan kesalahan itu pada kader. Barangkali yang lebih pas adalah
menyalahkan logika mereka yang tak mampu mengenal dirinya dengan baik. Sesalilah
ketidakmampuan mereka untuk menegasikan negasi yang membelenggu mereka. Nasehatilah
mereka yang tidak mampu mereidentifikasi keduanya.
Penting sekali mengkritik cinta yang telah membeli kesadaran kader sehingga
tidak merdeka 100%. Membuat lupa pada
kredo gerakan, “KAMMI adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak
merdeka.” Yang seharusnya telah selesai sejak awal.
Id, ego dan superego kader tidak dapat dicegah telah bersatu dalam cinta.
Yang benar dan keliru tidak mampu lagi dibedakan karena cinta rupa-rupanya
telah membutakan mereka. Inilah sisi gelap dari cinta yang jarang manusia
kenal. Sangat kontras dengan syair Iwan Fals, “Kalau cinta sudah dibuang,
jangan harap keadilan akan datang.“ Itulah mengapa Imam Syafii pernah berpesan:
“Cinta mampu menghilangkan daya kritis pada orang yang dicintai.”
'PKI'
Sebagaimana yang Anis uraikan dalam salah satu bagian dalam tulisannya, bahwa
pasca dekade 60an partai politik kader dan ideologis mulai merubah wajah
menjadi partai transaksional (Hlm. 2), khususnya pasca fusi partai politik ke
dalam dua partai (PDIP dan PPP) pada tahun 1975, memang sulit sekali dihindari.
Sampai-sampai Cak Nur berkomentar, “Islam yes,
partai Islam no.” Bahwa logika partai
yang dahulunya idealis kemudian bergerak pragmatis, sangat sukar dihindari
ketika zaman telah cepat berubah semakin otoriter dan liberal. Siapapun dia
partai yang terjun ke dalam kompetisi elektoral, hampir dapat dipastikan gagal
menghindari virus struktural yang satu ini. Dengan cara baik atau buruk
sekalipun. Dengan niat melakukan korupsi atau sekedar memburu rente.
Fakta bahwa biaya politik
kian mahal menyebabkan sumber dana partai dan pertanggungjawabannya sampai hari
ini tidak terpantau baik. Menandakan partai telah sedang memutar haluan. Selama
agenda partai masih tertunda, dengan berbagai cara, sengkarut itu mereka
usakahan singkap secepat-cepatnya. Itulah mengapa banyak orang baik tersandera
berbagai macam kasus karena tidak pandai berdiri dalam sistem politik yang
centang perenang ini. Itulah mengapa kerja KPK yang tiada hentinya menangkap
koruptor, tidak pernah usai.
Kondisi partai politik
yang demikian bobrok lambat laun kemudian menggusur kepercayaan rakyat. Apalagi
mahasiswa. Pertarungan politik akbar kemarin menjadi salah satu penanda yang
mengamini fenomena itu. Betapa, momentum saat itu mempertontonkan secara
terbuka kepentingan politik berada di atas segala-galanya. Tuhan sekalipun
harus menuruti dan berpihak pada yang kehendak mereka. Akibatnya, beberapa
waktu lalu, panitia OSPEK Prodi Filsafat IAIN Surabaya mengangkat tema
kontroversial “Tuhan telah membusuk” pada agenda tahunannya. Sebagai bentuk
protes atas deviasi tersebut.
Lalu,
yang menjadi pertanyaan, apakah fenomena itu berlaku untuk PKS? Sehingga, Anis perlu menulis:
“Transformasi wacana dan konstruksi pemikiran yang solutif adalah bagian yang
tak terpisahkan dari KAMMI kultural. Melalui hubungan sedarah antara KAMMI dan
PKS, yang lahir dari rahim yang sama, sebagai anak kandung dakwah, bagaimana
jika dua bersaudara bersaing dalam kontestasi politik?”(Hlm. 1).
Nah,
disinilah wacana itu menjadi penting. Menilai bahwa PKS tidak jauh berbeda
dengan partai politik yang lain adalah suatu pertanyaan yang patut didiskusikan
lebih lanjut. Tentunya, kembali lagi, agar supaya arah perdebatan ini tidak
kembali dibedah melalui pendekatan-pendekatan klasik yang sering kurang adil. Sebab, kalau sudah begitu, maka berakhirlah
sudah perdebatan. Apalagi sampai membawa-bawa mekanisme voting. Yang kerap dimenangkan kader PKS. Lalu doktrin al-qiyadah wal jundiyah datang
mengamankan keputusan.
Ide Anis mengenai transformasi KAMMI menjadi partai politik kemudian
menemukan titik temunya disini. Kebuntuan
argumentasi memang tidak akan pernah terpecahkan secara baik-baik kalau sudah
masuk tahap ini. Salah satu kemungkinan yang ada hanya dua: taat atau minggat. Seperti ancaman beberapa partai koalisi Merah Putih kepada
kadernya para kepala daerah yang menolak mentah-mentah usulan RUU Pilkada.
Dengan demikian, Anis menyarankan agar KAMMI atau KAMMI Kultural, sebaiknya
menjadi partai saja. Lepas dari jejaring patronasi PKS. Yang secara tidak
langsung dari Tarbiyah itu sendiri. Seperti yang menimpa Ikhwanul Muslimin di
Mesir pasca pemberhentian Abul Futuh. Lantas, menjadi prakondisi berdirinya
Partai Wasat.
Menurut saya, saran itu baik-baik saja. Toh, selama dasar tujuannya baik,
sebagaimana visi besar KAMMI dan tentunya rasional. Selama paradigma, prinsip,
karakter dan kredo gerakan bisa dijamin eksistensinya seoptimal mungkin, mengapa
tidak? Saya bahkan sudah menyiapkan nama: “Partai KAMMI Indonesia.” Disingkat
PKI. Apik toh?
Ala kulli hal, dengan ide revolusioner tersebut, saya jadi bertanya-tanya, pertama, apakah
dengan bertransformasi menjadi partai, KAMMI mampu mengikuti pemilu? Sedangkan
PRD yang legendaris itu, sejak sembilan belas tahun berdirinya tidak pernah
ikut. Lalu kedua, yang tak kalah penting, apakah ada kader yang siap mengisi pos
DPP sampai DPC? Di tengah-tengah postur logika yang terpasung hegemoni. Ketiga, apakah
KAMMI mampu eksis dengan kadernya yang barangkali separuh atau 99% mahasiswa?
Terakhir, apakah dengan demikian bukankah KAMMI telah mendirikan negasi atas
negasi-negasi yang datang sebelumnya? Dan andai berhasil menjadi partai, apakah
KAMMI mampu menjamin dirinya lebih idealis dari PKS? Setidak-tidaknya, mampu makan dari keringat
sendiri. Matur nuwun.[]
Ternate, 23 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar