13 Oktober 2014

Kaum Pandai yang Tertipu

Faqih Addien Al Haq
Pelatuk dan Pegiat LSM Bangkit Berdiri, 
Ketua KAMMI Airlangga, Pegiat KAMMI kultural Surabaya

" Mahasiswa adalah calon mesin-mesin produksi "
(Dr. Nugroho Notosusanto)

Sebuah pengantar
Bagi seorang anak nakal’ yang lahir dari rahim tarbiyah dan tumbuh dalam timangan buku-buku timur tengah, yang (dulunya) sama sekali tidak tertarik terhadap dinamika politik dan sosial dan lebih sering berkutat dengan masalah pribadi dan asmara, pada awalnya sangat sulit menerima bahwa  perbedaan itu ada dan menganggap semua hal yang berbeda adalah permasalahan.

Setidaknya sampai pada hari dimana conflict of interests (yang belakangan kusadari sebagai hal yang biasa) mulai menyapa dalam aktivitas dalam kehidupan organisasi. Rekayasa menyapaku, memperkenalkan diriku pada sang musyawarah dan mendudukkanku pada posisi yang sulit untuk menerima.

Sulit untuk menerima kenyataan bahwa terkadang kebenaran tidak bisa diterima oleh manusia hanya dengan alasan bahwa dia adalah kebenaran. Sulit untuk menerima bahwa kehendak manusia berbeda dengan kehendak sekelompok manusia. Aku mulai belajar menerima dunia dalam refleksi  mata, bukan hanya dalam goresan pena saja.

Religius-materialistik adalah sebuah anomali. Tapi ia adalah kehendak Tuhan. Disitulah kehendakNya mewujud dalam sikap yang tumbuh dalam diriku. Salam !

***

Kalimat yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan pada masa Kabinet Pembangunan IV tersebut adalah sebenar-benarnya refleksi dari potret siklus kehidupan kaum pemuda di Indonesia.

Di zaman orde baru, mahasiswa yang mengambil ilmu humaniora jumlahnya jauh lebih sedikit daripada mereka yang mengambil ilmu non-humaniora. Hal tersebut terjadi karena 2 penyebab. Yang pertama, pemerintah saat itu jelas tidak menginginkan adanya motor gerakan sosial-politik di luar lingkaran "oposisi resmi" rezim orde baru yang berpotensi menggoyang stabilitas pemerintahan.

Pemerintah rezim orde baru memahami bahwa, mahasiswa ilmu humaniora memiliki kecenderungan untuk bersikap kritis dan vokal dalam mengungkapkan pendapat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.

Yang kedua, kondisi di luar kampus (baca-lapangan pekerjaan) hari itu menawarkan kelenggangan dan kenyamanan hidup yang membanggakan di zaman itu. Jika kita membaca sebuah teori yang (konon) dilontarkan oleh Anies Baswedan tentang the ruling class, yaitu kelompok-kelompok yang berkuasa dan memegang peranan kunci dari sebuah golongan, bahwa di zaman orde baru salah satu bagian dari the ruling class adalah para pegawai, baik pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai swasta. Oleh sebab itulah timbul ketertarikan yang kuat antara dunia pasca-kampus dengan dunia kepegawaian, karena memang status PNS di zaman itu memiliki 'prestige'.




Pemeliharaan mahasiswa-mahasiswa calon mesin produksi tersebut dilakukan dengan baik oleh pemerintah. Bahkan sebelumnya, dinamika yang sempat muncul kembali di era 70-an, pasca Pemilu tahun 1977 dibius dan dimatikan dengan peraturan Menteri Pendidikan yang kita kenal sebagai konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa pada jalur akadamik dan menjauhkan mereka dari aktivitas politik yang membahayakan posisi rezim pada saat itu.

Antiklimaks

Satu dekade paska reformasi, yang dianggap sebagai prestasi besar kaum mahasiswa dengan menggulingkan sebuah rezim otoriter, kita tidak lagi menemukan kaum pandai memiliki ketertarikan yang besar terhadap dimensi politik.

Tulisan-tulisan kritis dan esai-esai yang membangun kesadaran, yang dulu sering ditemukan baik dalam selebaran gelap di kampus-kampus maupun terbit bersama media masa seakan punah. Aksi demonstrasi-pun tidak banyak mendapatkan perhatian, karena di era penuh kebebasan ini, masyarakat tidak perlu menjadi mahasiswa untuk berorasi dan menyuarakan kekesalannya pada siapapun juga.

Tumbuhnya demokrasi tidak diimbangi dengan berkembangnya peran dan posisi kaum terpelajar ini dalam mengawal dan mengaktualisasikan keberadaan kelasnya. Pada akhirnya mereka tidak lebih dari sekedar melanjutkan bangku sekolah ke bangku kuliah.

Di sisi lain, pada hari ini kapitalisme yang mengangkangi kekuatan pemerintah sedang membutuhkan faktor produksi berupa labour (kita menggunakan terminologi tersebut karena bicara dalam konteks perekonomian). Berbagai kemudahan mendapatkan beasiswa dari korporat kapitalis dapat kita jumpai di kampus-kampus. Dan tidak sedikit mereka yang sangat tertarik untuk bergabung dengan mereka.

Selain kemudahan biaya, kepastian untuk berkarir di korporat kapitalis yang telah membantu proses studi mereka terbuka lebar.

Mereka yang tertipu

Pada hari ini masih terjadi demagogi bahasa dan istilah yang memecah belah yang menumpulkan masa depan mahasiswa Indonesia. Pandangan umum yang mereka yakini bahwa 'buruh' adalah pegawai kasar dan manual. Konotasi yang menunjukkan kerja fisikal dan memeras keringat sebagai kegiatan kerja mereka yang disebut demikian.

Dan mengira, bahwa kata 'karyawan' dan 'pegawai' yang memang diperkenalkan sebagai kelas pseudo-elit oleh Dr. Nugroho Notosusanto saat itu, memiliki perbedaan yang signifikan dari kata 'buruh'. Padahal ketiganya, sebenarnya berasal dari sebuah kelas masyarakat yang sama, yaitu proletariat.

Definisi ini bertahan lama. Sehingga kemudian muncul ruling class baru pada zama orde baru yang kita kenal dengan warisan birokrasinya yang sarat dan kental dengan nilai KKN. Itulah sebabnya mengapa predikat PNS dan pegawai korporat kapitalis begitu diburu di zaman tersebut. By design mereka yang memahami dengan salah telah tertipu.

Karl Marx dengan lugas mendefinisikan proletariat sebagai sebuah kelas yang bekerja untuk upah. Kaum proletarian adalah mereka yang tidak mempunyai pilihan untuk bertahan hidup kecuali dengan menjual dirinya. Hidupnya sangat bergantung kepada para pemodal.

Bahkan, Marx menambahkan bahwa tidak hanya mereka yang menjual dirinya sebagai pekerja fisik, terminologi proletariat juga berlaku untuk mereka yang menjual otak dan pemikirannya untuk diupah. Karena mereka memang tidak menjual produk, seperti halnya yang dilakukan para borjuis-kecil dan para pemodal, mereka menjual dirinya demi upah.

Bagaimanapun juga ada relasi yang sangat ketat dalam terminologi ini antara bekerja dan diupah. Kerja-upahan inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu faktor produksi. Sehingga yang pada dasarnya terminologi proletariat ini digunakan untuk menyebut pekerja industri kerah biru, berkembang sangat luas penggunaannya dan melingkup setiap mereka yang kemudian kita sebut sebagai pekerja jasa, pembantu rumah tangga, sampai ke pekerja industri kerah putih. Pada hari ini kita temui secara jamak dalam lingkungan urban perkotaan.
Tidak berbeda dengan kaum mahasiswa. Mereka yang sejak awal memasuki bangku kuliah memiliki niat untuk melacurkan dirinya dalam proses ekonomi demi upah, tidak lain adalah calon proletarian baru. Mereka yang tidak bisa bertahan hidup kecuali dengan menjual dirinya demi upah. 

Mereka yang kehilangan visi atas sebuah bakti dan balas budi pada ibu pertiwi. Yang membuat situasi dan kondisi ini buruk adalah nihilnya kesadaran bahwa sebenarnya kaum proletariat telah dipecah belah. Padahal mereka para mahasiswa (dulunya) yang kemudian sering disebut kaum pandai yang menggerakkan.

Kita dapat memanggil mereka dengan sebutan kaum proletariat baru yang tertipu. Mereka masuk ke dalam lubang berundak dan bertangga. Merasa bangga jika berada satu anak tangga di atas yang lain. Dalam hal jabatan atau jumlah upah yang diterima. Tanpa disadari mereka sama-sama jatuh dan berada di dalam lubang yang sama.
Selamat datang kaum proletariat baru !


Semarang, 24 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar