Sekretaris Bidang Medkominfo KAMMI Shoyyub UNS 2014 | Pegiat Forum Diskusi Kultural Solo
Ada satu hal
yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’: bahwa
dengannya, kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album waktu yang
kita beri nama ‘sejarah’.
Dalam studi sejarah, Arnold Toynbee
mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan
berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah kecenderungan
ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual Indonesia dari masa
ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita telaah bersama. Namun,
saya tidak akan membuat cerita ini menjadi panjang dengan membaginya
dalam periodisasi waktu yang baku, saya hanya akan membiarkan tulisan
ini mengalir sependek jalan pikiran saya yang sederhana.
Sejarah
modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional
mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya memang amat
menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-19 dengan
tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan kritik pedas
terhadap pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya malah yang
sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan. Perlawanan
menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh mereka yang mengenyam
pendidikan barat, tapi juga oleh kaum terpelajar yang berlatar
pendidikan Islam.[1]
Pada 16 Oktober 1905, seorang
saudagar batik asal Kampung Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi
mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas
Islam pertama di Hindia Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya
organisasi pergerakan lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama
pada Kyai Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam
pendidikan di Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School.
Ini membuktikan bahwa Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha
yang memegang teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam
yang anti terhadap segala bentuk penjajahan.
Di era yang
sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid STOVIA yang sering dikenal
sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia senantiasa melakukan kritik
pedas terhadap pemerintah kolonial melalui Medan Prijaji. Meskipun surat
kabar tersebut bernama Medan Prijaji, surat kabar tersebut tidaklah
dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi. Malah, ia yang sebelumnya
mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi bagian dari Boedi Oetomo
menulis:
Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat maksud yang begitu[2], akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang, hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang gubermen, biar di halaman partikulir”[3]
Kehebatan tulisan
itulah yang membuat Tirto harus mengalami pembuangan ke Lampung. Namun,
di masa pembuangannya pun ia tak pernah berhenti menulis
karangan-karangan yang bertujuan membela rakyat kecil serta melawan
praktik buruk dari pemerintah kolonial setempat. Apa yang dialami oleh
Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetralogi pulau
buru-nya yang terkenal itu. Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto,
Mas Marco, serta Hadji Misbach.
Hadji Misbach mendirikan
Medan Moeslimin pada tahun 1915 dan Islam Bergerak pada tahun 1917.
Salah satu tulisannya yang dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul
Sroean Kita mengundang ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang
kaya namun enggan bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama
namun enggan mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk
menipu bangsanya sendiri.
“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu yang wajib kita BINASAKEN!”[4]
Tulisan
tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan yang baru. Agama
tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang diterjemahkan hanya
sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat melakukan transformasi
sosial. Selanjutnya, Hadji Misbach terus berusaha melakukan propaganda
dan memimpin beragam aksi pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia
bergabung dengan Sarekat Islam.[5]
Mas Marco Kartodikromo
berada dalam sekoci yang sama dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat
propaganda melalui tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:
“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”[6]
Logika
bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor, dan terbelakang
inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah melanggengkan
kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang membuat kaum terpelajar
kita kala itu ‘menjauh’ dari akar masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak
ingin dikategorikan sebagai kaum kromo yang primitif, kotor, dan
terbelakang.
Multatuli, dalam roman yang ditulisnya
berjudul Max Havelaar menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran
bagi Belanda menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh
Blatherer.
“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang mulia[7], yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana, mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan kebencian di dalam pandangan Tuhan...”[8]
Lebih lanjut,
Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim harus mereka lakukan
guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala miskin’, yang di dalam salah
satu poinnya berisi: “Memerintahkan masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan
dengan cara bekerja.”
Logika berpikir inilah yang membuat
Tan Malaka resah. Belanda memang memberikan kesempatan bagi kaum
pribumi untuk belajar (berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan
pendidikan itu pun hanya mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang
resah kemudian mendirikan ‘Sekolah Rakyat’[9] bersama SI Semarang.
Sekolah ini tak hanya mengajarkan pada para muridnya agar memiliki
keterampilan untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga
menanamkan kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan
penindasan.
Begitulah, kaum intelektual di zamannya
mentransformasikan ide dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis
kehidupan berbangsa. Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide
dan gagsan hingga menyebabkan konflik, baik konflik ideologis maupun
politis, akan tetapi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah
kemampuan para cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada.
SI misalnya, pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI
Merahnya. SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang
dengan sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam
agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah terjadi,
namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap kelakuan Semaoen
sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu pernah terjadi antara
kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang lebih memilih berjuang
dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta Hatta-Sjahrir yang memilih
berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan Nasional Indonesia) yang berasas
sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak
berhenti sampai disana, generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan
pasca proklamasi kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif
brilian itu dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia,
tepatnya pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai
berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya dengan
realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup di masa
tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya HMI guna
turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Selain
realitas kebangsaan, kehadiran HMI terkait pula dengan realitas
keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam saat itu tidak
dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri, terutama
mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII, melihat
pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan mahasiswa,
seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain. Dalam perkembangan
selanjutnya, HMI secara aktif terlibat dalam melakukan pengkaderan
generasi muda bersama PMII dan IMM (yang lahir setelahnya), serta
beberapa organisasi mahasiswa lain seperti GMNI, PMKRI, CGMI, dan
lain-lain.
Sependek referensi yang pernah saya baca, saya
akhirnya mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca
kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat
catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran),
dr.Sulastomo (Hari-Hari yang Panjang 1963-1966), serta Ahmad Wahib
(Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga orang tersebut jelas adalah
mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang berafilisasi
terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UI yang
juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun 1963-1966. Ahmad Wahib adalah
mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM yang juga merupakan kader
HMI.
Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita
simak dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai
persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi
gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya) menumbangkan kekuasaan
tiran, yakni tahun 1965 ketika meletus peristiwa G-30 September. Saya
tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa itu. Akan tetapi,
ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi Sulastomo dan Arief
Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.
Arief Budiman
mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa sebenarnya bukanlah kekuatan
yang independen. Ia menekankan agar mahasiswa tak berilusi bahwa orde
baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar.
Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu adalah pertarungan antara ABRI
melawan PKI dengan gerakan mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa
sendiri tidak mungkin bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu,
kemenangan mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari
pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.[10]
Sulastomo
secara bijak menanggapi pendapat yang Arief Budiman katakan, “Sekali
lagi memang salah apabila ada anggapan Orde Baru dilahirkan oleh
mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila mahasiswa digambarkan tidak
berperan apa-apa. Sebab, kekuatan Orde Baru adalah kekuatan rakyat yang
sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI, pemuda, dan lain-lainnya. ABRI
berperan besar dan menjadi pelopor adalah benar. Tetapi memfokuskan
persitiwa 1965/66 hanya pada pertarungan yang besar antara PKI dan
ABRI, dapat menimbulkan interpretasi yang mungkin lain, yang mungkin
juga kurang menguntungkan.”[11]
Irawan Puspito menjabarkan
secara lebih general kemelut dan pertentangan garis politik yang
terjadi di antara organisasi-organisasi mahasiswa jelang persitiwa 30
September 1965:
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).[12]
Mungkin, ingatan kita akan
kembali pada adegan di film Gie yang mengisahkan pertentangan pelik yang
terjadi antar organisasi mahasiswa tersebut, kemudian bersatunya mereka
saat berusaha menumbangkan kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita
cermati lebih lanjut adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah
menjadi anggota dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi
ilustrasi lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan
intim dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya
idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada
kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh oleh para
pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk rezim Soekarno
duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras lebih dalam
kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim baru yang kini
berkuasa.
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan
Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis
ruang gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami
pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang
steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai
lembaga pengkajian akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang terjadi
menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang berkembang dalam
kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan mahasiswa Islam. Diantaranya, 1)
ormas kemahasiswaan yang telah ada sebelumnya seperti HMI, IMM, dan
PMII, 2) kelompok mahasiswa Islam yang bersentuhan dengan pemikiran
Islam kiri, serta 3) munculnya aktivitas keislaman berbasis
masjid-masjid kampus.
Fenomena gerakan yang berbasis
masjid kampus ini dimotori oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin
Abdulrahim. Melalui beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh kampus di
Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya FSLDK (Forum
Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa kali dilangsungkan
pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta
kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan strategi dakwah
kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para Aktivis Dakwah Kampus
tersebut menyadari perlunya respon terhadap kondisi perpolitikan
nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas acara, dideklarasikanlah
kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret 1998. Pada muktamar nasional
pertama pada tanggal 1-4 Oktober 1998 dimulailah era baru bagi KAMMI,
yakni perubahan statusnya sebagai front aksi menjadi ormas yang
permanen.
Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan
penuh kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi
ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil membangun mimpinya akan sebuah
negara yang ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya menjadi gerakan
moral, masa kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang karena
ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan mahasiswa menjadi
kebingungan membawa peran, saat mereka pulang kandang ke kampusnya,
mereka punya aturan-aturan baru, namun kampus ternyata lebih dahulu
membuat aturan-aturannya sendiri.
Ide-ide para ‘pahlawan
reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep tanpa prinsip dan uang ternyata
tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa menghantam kekuatan yang jauh lebih
besar. Wujud eksperimentasi gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan
yang menggaungkan politik progresif pun digempur militer. Habislah
intelektual kampus. Mereka yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi,
sementara yang radikal akan tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi
intelektual menjadi menurun. Disisi lain, masyarakat mulai meragukan
efek reformasi sebab demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu
dijamin oleh Soeharto (meski diberikan dengan hutang luar negeri).
Gerakan Mahasiswa pun hanya hidup saat pergantian kepengurusan,
pelantikan, dan diskusi. Kita pun kian terjebak, antara keinginan untuk
melakukan pemberontakan atas tatanan dan ketidaktahuan merumuskan
alternatif. Mungkin karena itu kebanyakan kemudian memilih pilihan
pragmatis yang paling realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan
lain sebagainya.
Lantas, peran apa yang mestinya diambil
oleh para intelektual hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi
KAMMI 1427 H, sebagai berikut:
Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa.
Menjadi
proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap permasalahan,
kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan. Kaum intelektual
wajib menjunjung tinggi dasar ilmiah sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas pilihan sikapnya.
Pers pernah menjadi alat perjuangan
yang mematikan guna melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah
menjadi penjajah baru yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa,
kaum intelektual muda memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat
arus baru pers yang mencerdaskan. Ragam organisasi pernah didirikan
sebagai bentuk ijtihad para founding fathers guna mewujudkan
cita-cita besar kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum
terdidik kita hari ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan
cita-cita bersama (Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan
penanaman ideologi yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan
tanamkan baik-baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk
menjadi solusi permasalahan umat dan bangsa.
Jumlah
perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan mahasiswa semakin
mudah, tukar menukar gagasan pun semakin mudah. Yang perlu kita ciptakan
adalah momentum dan kesempatan mengambil peran. Sebelum menuju kesana,
yang perlu kita perhatikan benar adalah memulihkan kembali kepercayaan
publik pada gerakan mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih banyak,
harus lebih autentik dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun
pendapat mainstream para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi
‘pelayan pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.
Gerakan
pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan kita hanya akan bisa
mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita mengidentifikasi diri
sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang menempatkan diri dengan
narsis sebagai agent of change, agent of social control, iron stock, moral force,
dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini membuat mahasiswa berada pada
posisi yang berbeda dengan rakyat secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih rasional-lah,
lebih inilah, itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah
yang kita ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita
torehkan, merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
Kita menyadari inferoritas kita
ditengah superioritas mitologi yang membangun kerangka diri kita selama
ini, menyadari sepenuhnya bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak dan
kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mudah-mudahan dengan
menghidupkan kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi dikotomi yang
terbangun antara diri dengan rakyat, sebab kita sendiri pun harusnya
menempatkan diri sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa menafikan
kapasitas keilmuan yang kita miliki secara teori maupun praksis yang
kita dapat di perguruan tinggi.
Pada akhirnya, selain
mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif dari rakyat, tak bisa
tidak, kita mesti mengidentifikasi diri sebagai individu, sebagai
pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji Misbach yang
menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan yang menggurita atas
nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka yang membangkang terhadap
otoritas pendidikan di zamannya dengan membuat sistem pendidikan yang
memerdekaan, merakyat, dan membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM
Tirtohadiserjo yang menolak kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan
kekuatan pena. Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi
pada sosok-sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita
sendiri, tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara.
Mengambil peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku
sebagai kaum intelektual!
Akhirul kalam,
Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya Tuhan kami..
Sumber Bacaan:
Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi; Pejuang yang Ter(Di)Lupakan: http://www.jejakislam.net/?p=225
Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.
Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin. Yogyakarta: Resist Book.
Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C. N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103). Yogyakarta: Resist Book.
Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Republika.
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat, Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka Republika.
Catatan Akhir
[1] Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat
[2] maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme
[3] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180
[4] Ibid, hal 182
Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 hal 181
[5]
Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar
dengan kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis
Indonesia. Ini pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah,
bukan dihilangkan karena dianggap sebagai aib.
[6] Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189
[7] Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
[8] Multatuli, Max Havelaar halaman 165
[9]
Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah
Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama
tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan
kebutuhan rakyat.
[10] Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115
[11] Ibid, hal 121
[12] Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85
Bagus artikelnya, kalau boleh ikutan diskusi..
BalasHapusby pengrajin batik, batik tulis madura , batik madura eksklusif memang asli batik madura, , langsung dari pengrajin batik