12 Oktober 2014

"Kultural" setelah Kultural: Catatan Jelang 2 Tahun Forum Diskusi KAMMI Kultural

Peringatan 15 Tahun Gerakan KAMMI di Malang, oleh akitivis Forum Diskusi Kultural Malang.
Courtesy of Azami

PADA tanggal 12 September 2013, Dharma Setyawan menulis sebuah artikel di Jurnal KAMMI Kultural: "Kultural" Pasti Berlalu? Dharma mencoba untuk merefleksikan kembali, bagaimana nasib Forum Diskusi KAMMI Kultural setelah beberapa fungsionarisnya "dipanggil" untuk memperkuat PP KAMMI. Ya, nama-nama seperti Robert Edy Sudarwan, Adhe Nuansa Wibisono, Mas Arif Susanto, Dharma, dan saya sendiri memang diminta untuk memperkuat PP KAMMI hingga sekarang (kecuali saya yang mengundurkan diri pada bulan Mei lalu). Ia melihat bahwa ada semacam anggapan KAMMI Kulturak akan hilang seiring waktunya dan hanya menjadi gerakan pragmatisme, karena dianggap sebagai alat untuk menuju posisi-posisi kekuasaan pimpinan pusat.

Cemoohan ini tidak satu-dua kali datang. Ketika Forum Diskusi KAMMI Kultural baru saja dideklarasikan pada tahun 2012, muncul orang yang nyinyir: KAMMI Kultural paling cuma "barisan sakit hati", atau semacamnya. Sungguh elok bukan, ungkapannya?

Keresahan Bung Dharma memang beralasan. Beberapa teman di PP KAMMI memang larut dengan hingar-bingar dan ketidakjelasan aktivitas di PP. Akibatnya, banyak teman yang berubah: tidak lagi menulis, tidak lagi membaca, sibuk dengan aktivitas dan agenda masing-masing. Yang dikhawatirkan Dharma, hal-hal semacam ini membuat KAMMI Kultural mati.

Namun, sebagaimana kemudian dibuktikan oleh para pegiat Forum, kekhawatiran ini tidak terbukti. Dua tahun usia KAMMI Kultural (sejak ia ditubuhkan melalui Sarasehan KAMMI di Yogyakarta, Desember 2012), Forum Diskusi Kultural terus rutin. Web masih berjalan kendati sempat mati beberapa bukan. Diskusi masih giat di Malang, Surabaya, dan Lampung.

Intinya, kita masih bisa sedikit berbesar hati: Kultural masih ada! Aktivis Kultural boleh saja "pergi" ke mana saja yang mereka suka. Tapi tentu saja: Kultural bukan hanya mereka. Sebagaimana disemboyankan oleh banyak pegiat Forum Diskusi Kultural: [Kultural] bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama. Kultural ternyata tidak berlalu.

Hal ini mengisyaratkan perlunya sebuah refleksi, bagi semua yang setia dengan gerak Kultural, tentang nasib Forum Diskusi KAMMI Kultural setelah 2 tahun dan di masa depan: apa yang harus dilakukan? Siapa KAMMI Kultural? Apa yang diperjuangkan? Dan bagaimana perjuangan itu tetap dan terus-menerus dipertahankan? 

Kembali merefleksi sejarah 2 tahun silam, KAMMI Kultural bukanlah sesuatu yang direncanakan untuk menjadi "sesuatu". Nyarius tak ada ambisi ketika beberapa pegiat Kultural generasi awal berdiskusi dalam Sarasehan Kultural pertama di Yogyakarta, akhir tahun 2012 silam. Waktu itu, saya baru saja menyelesaikan "amanah" sebagai Kepala Departemen Kajian Strategis BEM KM UGM dan akan mengerjakan skripsi. Kultural lahir begitu saja, tanpa nama (pada awalnya) dan oleh orang-orang yang juga tidak punya ambisi politik. 

Namun, tanpa disangka, apa yang kami kerjakan 2 tahun silam ini justru meletupkan kegelisahan yang ada di KAMMI selama ini: KAMMI terlalu jumud dengan pelbagai doktrin yang ada! Sarasehan Kultural memang "menyerang" satu hal yang selama ini cukup menjadi kanker di tubuh gerakan: Hegemoni PKS (atau mungkin saya akan sebut: "Tarbiyah Politik") dalam tubuh KAMMI. Ya, hubungan KAMMI dan PKS selama ini tidak pernah tuntas dibicarakan. Inilah yang coba diperjelas: siapa sebenarnya KAMMI itu? untuk apa KAMMI dilahirkan? dst.

Perdebatan hubungan KAMMI dan PKS di Sarasehan memang tidak menghasilkan kesimpulan yang jelas. Namun ada satu hal yang muncul: dari cara pandang terhadap KAMMI dan PKS itu saja, KAMMI sebetulnya bukan entitas yang monolitik. KAMMI tidak tunggal. Ada akar lain dari kader-kader yang lahir dari rahim KAMMI. Akar itu bisa bernama Muhammadiyah, Nahdhiyyin, HMI, atau entitas lain. Bahkan juga dari wacana-wacana Marxis, post-Marxist, fungsionalis, dan lain sebagainya (siapa tahu?) Oleh sebab itu, perlu diurai "hasrat-hasrat terpendam" yang direpresi oleh PKS di tubuh KAMMI. Ujungnya menjadi sedikit lebih terbuka: KAMMI bisa menjadi sesuatu yang "lebih" dari sekadar senior-senior politisinya macam Andi Rahmat atau Fahri Hamzah.

Dari hubungan KAMMI dan PKS, Kultural bergerak. Gerakan Kultural, sebagaimana disemboyankan dan sering diungkap oleh para pegiatnya, bukanlah gerakan yang hanya ingin merebut posisi struktural. Kultural memang harus menang, tapi di tingkat gagasan! Kemenangan di tingkat gagasan inilah yang mendorong kami merilis sebuah website berjudul "Jurnal KAMMI Kultural". Dengan adanya website, kader-kader bisa menulis dengan sesuatu yang lebih canggih dari website KAMMI Pusat yang tidak begitu jelas nasib dan keadaannya. 

Dari jurnal KAMMI Kultural ini pula kita mendapati bahwa banyak kader KAMMI yang punya gagasan brilian. Ada Alikta Hasnah Safitri, kader Komisariat berkualitas pusat dari Solo yang menghadirkan gagasan-gagasan sejarah di tubuh KAMMI. Banyak tulisan provokatif dari Anis Maryuni Ardi dan Arif Syaifurrisal, kader KAMMI Surabaya, tentang perlumya KAMMI jadi partai politik. Atau tulisan saya dan Zulfikhar yang memang bacaannya sedikit kemerah-merahan. Dharma yang sering menulis soal kebudayaan, Azami yang banyak melakukan kritik berbasis sastra, dan kader lainnya.

Memang, wilayah ini belum bisa dikatakan sempurna. Akan tetapi, ada satu hal yang bisa kita ambil pelajaran: masih banyak ruang yang belum diisi oleh KAMMI. Selama ini, KAMMI terlalu sibuk bermain di wilayah politik yang tidak jelas. Alhasil, banyak konflik dan kooptasi. Hal semacam inilah yang melestarikan "penjajahan" PKS terhadap KAMMI yang berada di wilayah cara berpikir. Untuk melawannya, tak ada jalan lain: kader harus berpikir dan berkehendak merdeka, sebagaimana sering diucapkan dalam kredo gerakan! Berpikir dan berkehendak merdeka bukan berarti "bandel", melainkan bisa berpikir secara kritis, tanpa harus "disuapi" oleh para senior. 

Dengan cara itulah, KAMMI bisa mendefinisikan diri sebagai KAMMI, dan bukan lagi mengimitasi sesuatu di luar KAMMI. Atau, meminjam tulisannya Anis Maryuni Ardi, sekalian saja deklarasikan bahwa KAMMI adalah Partai! Sederhananya, kita membutuhkan ruang dialektika untuk mendefinisikan siapa itu KAMMI dan untuk apa, hari ini, KAMMI dilahirkan dan dibesarkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Sekarang, sudah 2 tahun usia Forum Diskusi KAMMI Kultural. Usia yang bisa dikatakan "bayi". Masih banyak yang harus dikerjakan. KAMMI Kultural harus tetap ada walaupun para pegiatnya kemudian ada yang pergi ke tempat lain. Anggaplah pegiat KAMMI Kultural yang terlalu sibuk jadi pejabat Pusat itu sebagai masa lalu. Ke depan, Kultural harus membuka diri bagi pegiat-pegiat baru, mereka yang, meminjam bahasa Fatin Rohmah, hanya ingin Mencintai KAMMI dengan Sederhana.

Di sisi lain, KAMMI Kultural juga harus terus memperbarui wacana. Jangan sampai terjebak pada wacana pecah-belah, asing-aseng, atau apakah harus KAMNAS atau KAMMI Pusat. Hal-hal demikian tidak begitu penting. Biarlah Akh Fikri Aziz dengan KAMMI Nasional dan kawan-kawannya berkiprah. Dan kita persilakan pula Andriyana dan rekan-rekan di Pimpinan Pusat mengabdi untuk Indonesia. Di mana Kultural? Kultural harus terus mengabdikan diri pada pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah masyarakat yang real. Adalah sesuatu yang positif ketika teman-teman KAMMI Kultural di Surabaya mendiskusikan "politik ekologi" -sesuatu yang sangat real di Kalimantan dan tidak terjamah baik oleh KAMNAS maupun PP. Perlu juga, misalnya, KAMMI Kultural di daerah lain membedah pemikiran-pemikiran Islam yang seperti ditinggalkan karena dianggap tidak Ikhwani.

Produksi wacana penting, bukan hanya karena gerakan Islam di dunia terus menghadapi dinamika, melainkan juga gerakan Islam di Indonesia perlu "intelektual". Antonio Gramsci pernah berkata, setiap orang adalah intelektual. Namun, tidak semua orang menjadi intelektual bagi masyarakatnya. Dengan kata lain, menurutnya, adanya anggapan bahwa "intelektual" adalah kategori sosial tertentu di masyarakat adalah mitos belaka. Intelektual dibentuk oleh ideologi dan basis sosialnya. Bagi aktivis KAMMI, basis sosialnya sudah jelas, yaitu KAMMI! Namun, sejauh mana KAMMI punya basis intelektual yang memandu mereka untuk melakukan perubahan sosial. Pada titik inilah Forum Diskusi Kultural punya peran penting untuk menghasilkan kader-kader intelektual yang menjalankan fungsi intelektual, tidak hanya bagi KAMMI, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan.

Sehingga, bagi Forum Diskusi Kultural, tantangan yang lebih berat ke depan adalah menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang relevan bagi pemecahan problem masyarakat. Di titik inilah "Tarbiyah" mesti dipahami secara fleksibel. Tarbiyah bukan berarti halaqah di struktur yang hanya diakui struktur tertentu, tetapi "Tarbiyah" berarti pendidikan yang melahirkan intelektual bagi umat Islam! Artinya, halaqah hanya instrumen. Pengabdian kepada umat, di samping juga ibadah kepada Allah, menjadi parameter yang lebih penting. Untuk itulah, Forum Diskusi KAMMI Kultural ditantang untuk melahirkan gagasan dan pengetahuan yang relevan bagi umat Islam.  

Apapun wacananya, Forum Diskusi KAMMI Kultural harus tetap eksis. Biarlah para pegiat Diskusi Kultural yang "tua" berkontribusi di ranah lain. Saatnya, menciptakan "Kultural" setelah Kultural (masa lalu)! "Kultural" biar menjadi wadah. Biarkan pula jika ada yang mencemooh anak-anak Kultural sebagai orang-orang yang terlalu banyak wacana. Sebab, seperti kata almarhum DN Aidit, "...mereka yang punya pengetahuan buku harus pergi ke kenyataan yang hidup, supaya bisa maju dan tidak mati dalam mengeloni buku… Mereka yang berpengalaman bekerja supaya pergi studi dan supaya membaca dengan sungguh-sungguh…" Tantangan kita adalah mempertemukan "teori" dan "praktek". Anggaplah jika struktur KAMMI adalah lapangan praktek, maka Forum Diskusi Kultural adalah laboratorium "teori"-nya, yang memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin berdiskusi untuk menambah pengetahuannya. 

'Ala Kulli hal, mari menyambut 2 tahun usia Forum Diskusi KAMMI Kultural dengan hati yang besar: bahwa apa yang kita ikhtiarkan selama ini tidaklah sia-sia. Kultural tidak berlalu. Dan Kultural masih setia dengan semboyannya: Bergerak tanpa kasta, berjuang tanpa nama!


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Pegiat Diskusi KAMMI Kultural
Saat ini menjadi peneliti di ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar