9 Oktober 2014

Prequel: Pengantar Kritis Diskusi Politik Ekologi

Rungu Daksa
Pemerhati sosial politik
Pegiat Forum Diskusi KAMMI kultural Surabaya


Preamble dalam memahami diskusi kultural “POLITIK EKOLOGI; MEMBONGKAR KORPORASI EKSPLOITATIF, SEBUAH PERDEBATAN TEORITIK”

Tulisan ini diangkat dari diskusi yang menggugah pikiran kami sebagai seseorang yang selama ini sebagai pelaku lapangan dalam menggiatkan aktivitas pro-industrialisasi. Kami sadari, dalam tulisan ini ada upaya pembenaran untuk melakukan studi komparasi terhadap hasil diskusi tempo hari. Tetapi hal ini tidak mengurangi aspek informatif nan menarik agar menjadi referensi kawan-kawan aktivis.

Mengutip pernyataan dari J. Schumpter, keberhasilan kapitalisme pada akhirnya menciptakan kelas-kelas intelektual. Dimana kelompok elit ini well-informed dan well-feed yang merasa cukup mampu untuk memberikan ide-ide, yang ironisnya, bertentangan dengan nilai dasar induk semangnya. Kelompok ini, didorong kecemburuan sosial yang terselubung terhadap kekuasaan para penguasa dan syahwat yang besar untuk berkuasa kemudian ada 2 hal yang mereka lakukan: berdamai dengan birokrat dan menikmati posisi-posisi Mandarin (menjadi birokrat muda atau masuk dalam kelompok elit korporasi) atau tetap di pinggir, menjalin sekutu dengan wiraswasta atau pengusaha marginal serta menggandeng pengacara untuk sesekali melakukan gugatan sipil (Tort).

Membedah lebih mendalam pada persoalan ini, ada 3 aspek yang berperan besar dalam membentuk sintesa koorporasi yang “Partriarkis”. Antara lain mekanisme pasar, aspek teknologi dan desentralisasi pengambilan keputusan. Barangkali yang sangat jarang disentuh pada kajian ini adalah aspek teknologi. Dimana perdebatan yang muncul dalam kajian anti alam, yang disentil lebih pada sektor after-proccesdalam ranah industrialisasi. Seperti dampak polutan, dampak sosio-community yang rusak atau pada eksploitasi buruh. Hal ini menjadi maklum mengingat peserta diskusi yang tertarik kebanyakan dari background pendidikan non-teknik.


Maka alangkah bijak dalam kajian teoritik ini kita perlu membaca bahwa sebuah masa industrialisasi ialah taqdir zaman. Masa yang tak akan bisa kita elak, maka dari itu perlu bagi kita anak-anak zaman memberi penyikapan yang rasional. Tindakan radikal seperti menentang dan menyuarakan perjuangan kelas sepertinya menjadi irama nada lagu lama yang nyaring terdengar kembali. Renyah, enak tetapi membosankan untuk didengar.

Seperti yang pernah disampaikan Michael Crichton pada 2003, “.. biggest challenge for human being nowadays is to understand what is the truth, whether is just fantasy or propaganda”. Mengingat keterbukaan informasi yang sedemikian menggurita, agaknya membedakan kebenaran menjadi hal yang mendesak untuk diselesaikan umat manusia. Apakah tindakan pemerkosaan alam oleh industrialis yang selama ini dilafalkan kalangan feminis-sosialis memang sebuah kebenaran? Atau sebuah propaganda yang menafikkan kenyataan bahwa kebebasan-kapitalisasi menumbuh-suburkan dan memberikan kesempatan pada tiap-tiap pemikiran yang kemudian bisa muncul dan berkembang.

Kita pernah berharap pada third party yang memiliki power untuk memukul balik nilai-nilai feodalistik korporasi, yakni media. Namun apa daya, media sekarang menyusu pada korporasi, kemudian netralitas media dipertanyakan. Sulit bagi media sekarang, memberi cover both side yang objektif dan berimbang.


Pada akhirnya, kita menemukan bahwa korporasi bukannya anti alam, tapi perlu adanya pelembagaan yang sinergis antara kaum intelektual mandarin dengan kalangan birokrat yang idealis selaku pembuat kebijakan. Keakuran ini diharapkan mampu mencerap kemanfaatan industrialis serta meminimalisir impact negatifnya. Lantas dimana pemikiran sosialis, apakah kemudian dihilangkan saja, menurut kami biarkan tetap tumbuh sebagai watch dog. Karena selama ada orang miskin, maka pembela proletarian pasti ada. Sementara korporasi perlu keberadaan orang miskin untuk mempertegas status kedigdayaan kapitalnya. Sebuah quasi oposisi biner, memang[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar