Rungu Daksa
Pemerhati sosial politik
Pegiat Forum Diskusi KAMMI kultural Surabaya
Pegiat Forum Diskusi KAMMI kultural Surabaya
Preamble dalam memahami diskusi kultural “POLITIK EKOLOGI;
MEMBONGKAR KORPORASI EKSPLOITATIF, SEBUAH PERDEBATAN TEORITIK”
Tulisan ini diangkat dari diskusi yang menggugah pikiran kami
sebagai seseorang yang selama ini sebagai pelaku lapangan dalam menggiatkan aktivitas
pro-industrialisasi. Kami sadari, dalam tulisan ini ada upaya pembenaran untuk
melakukan studi komparasi terhadap hasil diskusi tempo hari. Tetapi hal ini
tidak mengurangi aspek informatif nan menarik agar menjadi referensi
kawan-kawan aktivis.
Mengutip pernyataan dari J. Schumpter, keberhasilan kapitalisme
pada akhirnya menciptakan kelas-kelas intelektual. Dimana kelompok elit ini well-informed dan well-feed yang merasa cukup mampu untuk memberikan
ide-ide, yang ironisnya, bertentangan dengan nilai dasar induk semangnya.
Kelompok ini, didorong kecemburuan sosial yang terselubung terhadap kekuasaan
para penguasa dan syahwat yang besar untuk berkuasa kemudian ada 2 hal yang
mereka lakukan: berdamai dengan birokrat dan menikmati posisi-posisi Mandarin (menjadi birokrat muda atau masuk
dalam kelompok elit korporasi) atau tetap di pinggir, menjalin sekutu dengan
wiraswasta atau pengusaha marginal serta menggandeng pengacara untuk sesekali
melakukan gugatan sipil (Tort).
Membedah lebih mendalam pada persoalan ini, ada 3 aspek yang
berperan besar dalam membentuk sintesa koorporasi yang “Partriarkis”. Antara
lain mekanisme pasar, aspek teknologi dan desentralisasi pengambilan keputusan.
Barangkali yang sangat jarang disentuh pada kajian ini adalah aspek teknologi.
Dimana perdebatan yang muncul dalam kajian anti alam, yang disentil lebih pada
sektor after-proccesdalam
ranah industrialisasi. Seperti dampak polutan, dampak sosio-community yang
rusak atau pada eksploitasi buruh. Hal ini menjadi maklum mengingat peserta
diskusi yang tertarik kebanyakan dari background pendidikan non-teknik.
Maka alangkah bijak dalam kajian teoritik ini kita perlu membaca
bahwa sebuah masa industrialisasi ialah taqdir zaman. Masa yang tak akan bisa
kita elak, maka dari itu perlu bagi kita anak-anak zaman memberi penyikapan
yang rasional. Tindakan radikal seperti menentang dan menyuarakan perjuangan
kelas sepertinya menjadi irama nada lagu lama yang nyaring terdengar kembali.
Renyah, enak tetapi membosankan untuk didengar.
Seperti yang pernah disampaikan Michael Crichton pada 2003, “..
biggest challenge for human being nowadays is to understand what is the truth,
whether is just fantasy or propaganda”. Mengingat keterbukaan informasi yang
sedemikian menggurita, agaknya membedakan kebenaran menjadi hal yang mendesak
untuk diselesaikan umat manusia. Apakah tindakan pemerkosaan alam oleh
industrialis yang selama ini dilafalkan kalangan feminis-sosialis memang
sebuah kebenaran? Atau sebuah propaganda yang menafikkan kenyataan bahwa
kebebasan-kapitalisasi menumbuh-suburkan dan memberikan kesempatan pada
tiap-tiap pemikiran yang kemudian bisa muncul dan berkembang.
Kita pernah berharap pada third
party yang memiliki power
untuk memukul balik nilai-nilai feodalistik korporasi, yakni media. Namun apa
daya, media sekarang menyusu pada korporasi, kemudian netralitas media
dipertanyakan. Sulit bagi media sekarang, memberi cover both side yang objektif dan berimbang.
Pada akhirnya, kita menemukan bahwa korporasi bukannya anti
alam, tapi perlu adanya pelembagaan yang sinergis antara kaum intelektual mandarin dengan kalangan birokrat yang idealis
selaku pembuat kebijakan. Keakuran ini diharapkan mampu mencerap kemanfaatan
industrialis serta meminimalisir impact negatifnya. Lantas dimana
pemikiran sosialis, apakah kemudian dihilangkan saja, menurut kami biarkan
tetap tumbuh sebagai watch dog.
Karena selama ada orang miskin, maka pembela proletarian pasti ada. Sementara
korporasi perlu keberadaan orang miskin untuk mempertegas status kedigdayaan
kapitalnya. Sebuah quasi oposisi biner, memang[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar