Faizal Adi Surya
Kader KAMMI Al Fath Solo.
Fakultas Hukum UMS
Bagi sebagian orang, 16 tahun adalah usian yang sudah dianggap baligh, pun
demikian dengan KAMMI, beberapa bulan lalu yang telah menginjak usia 16 tahun.
Kelahiranya cukup Isitimewa, mengingat berbersamaan dengan momentum reformasi. Meski
dibilang belia secara usia, namun dalam jajaran eksponen gerakan mahasiswa, KAMMI cukup diperhitungkan.
Keshalehan dan kesantunan kadernya,
menjadi magnet tersendiri, disaat apa yang disebut Yasraf (2004) hypermorality (keadaan yang melampaui
moralitas, keadaan yang dimaksud adalah dimana moral dan immoral menjadi satu,
sehingga sulit membedakan hal mana yang termasuk moral maupun tidak) sedang
kencang melanda. Tak heran, gerakan semuda KAMMI begitu massifnya di berbagai
penjuru nusantara.
Meski cukup sejajar dengan seniornya seperti
HMI, PMII, maupun IMM tidak lantas membuat KAMMI memiliki prestasi yang
sepadan, terutama dalam menelurkan kader kader potensial. Hingga saat ini,
khalayak lebih mengenal KAMMI sebagai sayap gerakan PKS, daripada mengenal
KAMMI sebagai produsen pemimpin masa depan sesuai dengan visinya.
Entah berangkat dari keterpesonaan akan
prestasi gerakan lain, setidaknya kita akan mengupas ketertinggalan KAMMI
dengan beberapa gerakan lain, terutama dalam segi kekritisan dan cara berfikir
kader. Memang, yang penulis sendiri alami belum pernah membersamai KAMMI dalam
forum diskusi lintas gerakan yang semakin langka. Namun dari studi perbandingan
sederhana, ketika penulis duduk bersama gerakan lain, seperti ada jarak dalam
proses pemecahan masalah.
Ambil kasus dalam menanggapi sebuah
isu, para kader lebih suka memilih preferensi berita berita internet, daripada
membaca ulasan artikel panjang dan mendalam. Literasi Konspirasi yang memiliki
kebenaran syubhat dan miskin analisa
ilmu lebih suka dinikmati, daripada membaca buku teori. Dus, Argumen yang dibangun tampak artifisial dan tidak menyentuh
substansi masalah. Problem ini bukanya disadari, namun ketika hal ini
dibicarakan, para kader lebih suka memberikan senyum simpul bukan tanggapan
maupun argument solutif.
Keprihatinan akan minimnya tradisi
literasi plus diskusi agaknya menjadi jantung masalah, kenapa kemudian KAMMI
selalu dalam posisi subordinat dalam
setiap kompetisi antar gerakan. Dilema menyentuh buku filsafat dan sejenisnya
kadangkala memberi efek kritis dan pola pemikiran rekonstruktif. (mungkin) ini
menjadi hal yang ditakuti para Qiyadah KAMMI, ketika kebijakan populis mereka
berani dikoreksi dan dibaca ulang. Ketika hal ini terjadi, proses hegemoni (oleh para ‘pemimpin’) pun dilakukan.
Menurut Gramsci, Hegemoni tidak hanya
akan dipertahankan begitu saja, namun juga akan disebarluaskan oleh sebuah
kelompok masyarakat yang telah merebut kekuasaan. kegigihan untuk
mempertahankan dominasi akan semakin terasa ketika dominasi itu mulai guncang,
mengingat proses mencapai Hegemoni bukan hal yang mudah.
KAMMI yang kemudian telah terhegemoni,
agak susah duduk sebagai oposan terhadap ‘Jamaah’.
Jamaah yang mencoba kemudian menanamkan Manhaj plus Ideologi, secara tidak
langsung menciptakan sebuah sistem yang bukan genuine KAMMI. Taruhlah, secara aksiologi nilai, hal ini masih bisa
diterima dan dipertanggungjawabkan, akan tetapi dalam lapangan empiris malah
menumbuhkan kenyataan yang ironis.
Ironi ini berkembang dengan sebuah
kenyataan yang lucu. Literatur yang kurang atau tidak sebangun dengan sistem
jamaah tidak diperkenakan. Biblioclasm (pembakaran atau pemusnahan
buku) yang jamak di Orde Baru, misalnya terhadap Buku Pram, pun akhirnya
digenapi dalam tubuh KAMMI itu sendiri, meskipun dilakukan dengan cara yang
lebih cair.
Mengingat kampus, adalah basis
pemikiran dan laboratorium ideologis, akan sangat sulit ketika pengetahuan,
dianasir sedemikian rupa sehingga menjauh dari titik objektif. Pengetahuan akan
selalu disimpangkan, sebelum benar benar tampil objektif. Sebelum terdengar
dalam telinga Kader, pengetahuan sudah dicacatkan terlebih dahulu, sehingga
akan tampak parsial.
Saya berani menjamin ketika
didengungkan istilah “kiri” yang tampil adalah Komunis beserta ajaran dan tokoh
tokohnya, berdasar pengalaman sejarah, literature tentang komunis adalah haram
untuk dibaca. Padahal jika menelisik
lebih jauh (lewat gambaran ilmu pengetahuan), kiri tidak selalu identik dengan
komunis dan perangkatnya. Kiri lebih tepatnya sebuah sikap pembacaan ulang dan
pertentangan terhadap kemapanan kekuasaan yang tampil konservatif. Jika
demikian, bukankah Islam datang sebagai pembacaan ulang terhadap segala unsur
peradaban jahiliyah saat itu.
Contoh kecil ini, menunjukan bagaimana
sebuah Objektifitas Pengetahuan dipahat dengan metode tertentu dan diarahkan
terhadap sebuah pemahaman tertentu. Menurut Foucault inilah yang dinamkan
Wacana atau Discourse. Dalam dimensi
wacana inilah, persepsi kita mengenai suatu objek dibatasi oleh sebuah praktek
diskursif, dibatasi oleh sebuah pandangan yang mendefinisikan sesuatu yang ini
benar dan yang lain salah.
Jalan menuju tempat objektifitas pengetahuan sepertinya menemui jalan
terjal. Doktrin ketaatan dan kepatuhan amat dipatahkan. Pun dengan riak-riak
yang bernada menyangkal sangat tabu dalam ruang perbedaan pemikiran dan
pendapat. Akhirnya Kegiatan KAMMI sangat diwarnai minimya perdebatan alot yang
menguras tenaga dan pikiran.
Sikap ini terpantul dalam setiap forum.
Meskipun bertajuk diskusi dengan tema yang sangar
sekalipun, dalam kenyataanya hanya terdengar suara beberapa orang saja, itu pun
sebatas pertanyaan atau afirmasi, jangan bermimpi akan menemukan interupsi,
pandangan lain maupun sikap protes. Para kader lebih suka berdiam diri entah
tidak tahu atau berkontemplasi.
Meminjam isitilah Paulo Freire, inilah
yang dinamakan “kebudayaan bisu”, ketika kondisi suatu masyarakat mengalami
ketidakberdayaan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan sendiri. Sehingga
dalam hal ini, Freire menyebut diam adalah sesuatu yang sakral, sikap yang
sopan, dan harus ditaati.
Beberapa kader dengan potensi kritis
dan pemikiran ganjil, terkadang hanya menjadi pelengkap struktur tanpa kemudian
diberi ruang untuk berkaya. Beberapa pandangan mereka yang cukup ganjil
biasanya lebih banyak dimitoskan dan ditabukan, daripada dikaji dan diberi
umpan balik yang sepadan.
Secara general, para pemikir atau
mereka yang sanggup berfikir kritis, untuk saat ini belum mendapat ruang yang untuk mengeskplor
kemampuanya. Skill mereka hanya
tersimpan di kotak, diredupkan oleh kinerja kader yang taat. Kondisi ini agak
bermasalah mengingat perang besar tidak hanya membutuhkan alustita yang gemuk,
namun juga pengatur strategi ulung.
Membiarkan pemikir pemikir bekerja dalam
sunyi, layaknya membunuh diri sendiri. Padahal di era kekinian, Ummat tidak
hanya dituntut menguasai lapangan-lapangan praktis, namun perang secara
pemikiran atau istilahnya Al Ghawzul Fikr
juga harus dimenangkan. Merekrut ratusan kader namun alpa membina dan
menggembleng potensi mereka, paling banter hanya menghasilkan ahli-ahli pembuat
proposal. Begitu.[]
*sebagaimana ditulis dalam http://adisoerjo.blogspot.com/2014/10/kita-buku-dan-kata.html dan dipublikasikan ulang via jurnal kammi kultural
Tidak ada komentar:
Posting Komentar