15 Oktober 2014

TENTANG KAMMI (1)

Ali Akbar hasibuan
Kadept KP KAMMI Uin Sunan Kali jaga, Pegiat kultural Yogyakarta

bung ali saat menyampaikan orasi.
Awal bergabung dengan KAMMI saya dicekoki dengan norma-norma yang menjadi pegangan bagi para kader. Seperti Prinsip, paradigma, kredo dan lain sebagainya yang menjadi acuan KAMMI dalam berfikir dan bergerak. Tapi dari berbagai macam-macam norma tersebut, bagi saya Kredo gerakan KAMMI-lah yang paling berkesan. Hemat saya, dari butir-butir yang termaktub dalam kredo tersebut (baca kredo) KAMMI telah memperlihatkan wajahnya dengan dua kata kunci yakni “kebebasan berpikir” dan “keberanian berposisi”. Yang apabila boleh saya terjemahkan KAMMI menempatkan rasionalitas pada posisi yang sangat tinggi bukan karena takut ataupun taklid. “...Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman (butir pertama).” atau pada butir yang ke-enam “kami adalah ilmuan yang tajam analisisnya....” bentuk ideal inilah yang ingin dibangun oleh KAMMI dulunya. Tapi rasanya jika mencermati KAMMI yang sekarang, jauh Api dari panggang.

KAMMI sekarang cenderung sebagai organisasi yang tidak berkehendak merdeka, bukan Allah yang KAMMI takuti tapi faktor lain diluarnya. KAMMI tidak lagi bertindak atas pemahaman tapi atas penggiringan. Meminjam Kant, Ketidakmampuan KAMMI dalam memberikan penalaran pada  berbagai macam fenomena ini adalah bentuk “ketidakdewasaan”. KAMMI adalah orang yang tumpul analisisnya, tidak heran karena memang KAMMI tidak begitu giat dalam memproduksi wacana dan ide. KAMMI hanya melahirkan kader yang loyal tapi tidak paham, kader yang militan dalam menyambut taklimat tapi produksi fikirannya tidak terlalu giat. Lalu, Bagaimana seharusnya KAMMI?

Ketika membaca capita selekta I karyanya Natsir, ada sebuah tulisan yang menarik perhatian saya, yakni tentang ichwanus-shafa’ (persaudaraan kesunyian). Yakni sebuah oraganisasi rahasia pada abad ke-4 H yang bergerak dalam gerakan keilmuan di Basrah. Tokoh sentralnya seperti Abu sulaiman, Abul-Hasan, Abu Ahmad, ‘Aufi dan Zaid bin Rifa’ah sebagaimana yang dicatat oleh Natsir. Mereka aktif dalam mengumpulkan dan menyusun berbagai macam falsafah baik dari yunani, persia maupun India. mereka rela bekerja dengan rahasia karena berhadapan dengan reaksi keras dari pihak penguasa. Walaupun demikian mereka berhasil menyusun 52 risalah besar-kecil yang diberi nama “Rasail-Ichwanus-shafa” yang nama-nama pengarangnya mereka sembunyikan.



Lain di timur lain di barat, pada abad ke -18 muncul sebuah gerakan yang disebut sebagai gerakan Aufklarung, gerakan ini adalah gerakan pencerahan yang menekankan pada akal budi manusia. Immanuel Kant pernah menulis sebuah esai dalam jurnal Berlinische Monastchrift dengan judul “Was Ist Aufklarung?” apakah pencerahan itu? Menurut Kant “pencerahan adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk mempergunakan pengertiannya sendiri tanpa bimbingan orang lain…” semisal ketika KAMMI tidak mampu secara mandiri memberi makna sebuah masalah tanpa bantuan “orang-orang PKS mainstream” menurut Kant ini adalah ketidakdewasaan!

Lanjut kant, ketidakdewasaan bukanlah karena kurangnya pikiran melainkan kurangnya ketegasan dan keberanian untuk mempergunakan pikiran itu tanpa bimbingan orang lain. Kredo KAMMI bukan lagi bunyinya “kami adalah-adalah orang-orang yang merdeka hanya Allah-lah yang kami takuti” tapi sudah berganti menjadi “kami adalah orang merdeka hanya Allah dan orang-orang PKS-lah yang kami takuti karena mereka adalah orang-orang suci dan anti-kritik”.

Terlepas dari semua itu, dari setiap masa atau organisasi pasti punya gerakan intelektual yang segar dalam memproduksi ide dan wacana. Karena tidak mungkin sebuah organiasasi akan bertahan selamanya, kapan kiamat siapa yang tau? Tapi sebuah gagasan dan ide tidak akan habis ditelan masa, dia akan terus hidup walaupun si-empunya telah tiada.

Dari uraian diatas tadi, dimana terjadinya pergeseran antar idealitas KAMMI melalui Kredo dengan realitas KAMMI sebenarnya. Cukup simpel sebenarnya permasalahannya yakni pendek dan kerdilnya akal kader KAMMI dalam berfikir. Kalaulah boleh dibahasakan pendek dan kerdilnya akal kader ini karena faktor minimya kegiatan literasi di tubuh KAMMI. Memang ada dalam manhaj KAMMI di mana setiap jenjang kader diwajibkan untuk mantuba (baca: manhaj tugas baca). Tapi yang menjadi permasalahan ialah judul-judul buku tersebut, yang menjadi daftar mantuba KAMMI. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana kondisi dan judul-judul buku tersebut. Tapi bagi saya “bagaimana mungkin kegersangan dan panasnya pemikiran di timur tengah hendak dijadikan landasan berfikir di negeri yang sejuk nan sarat budaya ini? Seharusnya rombak semua judul buku-buku yang menjadi daftar mantuba tersebut. Penuhi dengan ide-ide segar kekinian dalam konteks Indonesia (madein indonesia). Tidak mungkin permasalahan sosial atau agama di Indonesia bisa diselesaikan dengan semacam buku ma’alim fi ath-tharik qutb. Sekali lagi, ganti!

Kembali ke awal bahasan, kejumudan dan ketumpulan di KAMMI bukanlah tanpa sebab, tapi itu memang disengaja dan dibiarkan. Dari sinilah lahir-lahir kader yang loyal tapi minim pemahaman, kader yang ta’at namun khianat yang membawa KAMMI pada arena politik praktis. Disinilah perlunya kembali KAMMI menjadi gerbong literasi. Ciptakan kembali lokus-lokus diskusi, karena dari sinilah muncul ide-ide yang masih ranum. tinggal dipoles sedikit saja maka akan menjadi gebrakan yang mengerikan. Sehingga kita dapat memantaskan diri dengan apa yang kita sebut sebagai “kredo”.

Akhir kata, saya hanya bisa megeritik dan sedikit ide, karena dengan mengeritik saya berusaha mencintai KAMMI dengan sederahana. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar