Ali Akbar
hasibuan
Kadept KP KAMMI Uin Sunan Kali jaga, Pegiat kultural Yogyakarta
Kadept KP KAMMI Uin Sunan Kali jaga, Pegiat kultural Yogyakarta
bung ali saat menyampaikan orasi. |
Awal
bergabung dengan KAMMI saya dicekoki dengan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi para kader. Seperti Prinsip, paradigma, kredo dan lain sebagainya yang menjadi
acuan KAMMI dalam berfikir dan bergerak. Tapi dari berbagai macam-macam norma
tersebut, bagi saya Kredo gerakan KAMMI-lah yang paling berkesan. Hemat saya,
dari butir-butir yang termaktub dalam kredo tersebut (baca kredo) KAMMI telah
memperlihatkan wajahnya dengan dua kata kunci yakni “kebebasan berpikir” dan
“keberanian berposisi”. Yang apabila boleh saya terjemahkan KAMMI menempatkan
rasionalitas pada posisi yang sangat tinggi bukan karena takut ataupun taklid.
“...Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya
bertindak atas dasar pemahaman (butir
pertama).” atau pada butir yang
ke-enam “kami adalah ilmuan yang tajam analisisnya....”
bentuk ideal inilah yang ingin dibangun oleh KAMMI dulunya. Tapi rasanya jika
mencermati KAMMI yang sekarang, jauh Api dari panggang.
KAMMI
sekarang cenderung sebagai organisasi yang tidak berkehendak merdeka, bukan
Allah yang KAMMI takuti tapi faktor lain diluarnya. KAMMI tidak lagi bertindak
atas pemahaman tapi atas penggiringan. Meminjam Kant, Ketidakmampuan KAMMI
dalam memberikan penalaran pada berbagai
macam fenomena ini adalah bentuk “ketidakdewasaan”. KAMMI adalah orang yang
tumpul analisisnya, tidak heran karena memang KAMMI tidak begitu giat dalam
memproduksi wacana dan ide. KAMMI hanya melahirkan kader yang loyal tapi tidak
paham, kader yang militan dalam menyambut taklimat
tapi produksi fikirannya tidak terlalu giat. Lalu, Bagaimana seharusnya KAMMI?
Ketika
membaca capita selekta I karyanya Natsir, ada sebuah tulisan yang menarik
perhatian saya, yakni tentang ichwanus-shafa’ (persaudaraan kesunyian). Yakni
sebuah oraganisasi rahasia pada abad ke-4 H yang bergerak dalam gerakan
keilmuan di Basrah. Tokoh sentralnya seperti Abu sulaiman, Abul-Hasan, Abu
Ahmad, ‘Aufi dan Zaid bin Rifa’ah sebagaimana yang dicatat oleh Natsir. Mereka
aktif dalam mengumpulkan dan menyusun berbagai macam falsafah baik dari yunani,
persia maupun India. mereka rela bekerja dengan rahasia karena berhadapan
dengan reaksi keras dari pihak penguasa. Walaupun demikian mereka berhasil
menyusun 52 risalah besar-kecil yang diberi nama “Rasail-Ichwanus-shafa” yang
nama-nama pengarangnya mereka sembunyikan.
Lain di
timur lain di barat, pada abad ke -18 muncul sebuah gerakan yang disebut
sebagai gerakan Aufklarung, gerakan ini adalah gerakan pencerahan yang
menekankan pada akal budi manusia. Immanuel Kant pernah menulis sebuah esai
dalam jurnal Berlinische Monastchrift dengan judul “Was Ist Aufklarung?” apakah
pencerahan itu? Menurut Kant “pencerahan adalah pembebasan manusia dari
ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk
mempergunakan pengertiannya sendiri tanpa bimbingan orang lain…” semisal ketika
KAMMI tidak mampu secara mandiri memberi makna sebuah masalah tanpa bantuan
“orang-orang PKS mainstream” menurut Kant ini adalah ketidakdewasaan!
Lanjut kant,
ketidakdewasaan bukanlah karena kurangnya pikiran melainkan kurangnya ketegasan
dan keberanian untuk mempergunakan pikiran itu tanpa bimbingan orang lain.
Kredo KAMMI bukan lagi bunyinya “kami
adalah-adalah orang-orang yang merdeka hanya Allah-lah yang kami takuti” tapi
sudah berganti menjadi “kami adalah orang
merdeka hanya Allah dan orang-orang PKS-lah yang kami takuti karena mereka
adalah orang-orang suci dan anti-kritik”.
Terlepas
dari semua itu, dari setiap masa atau organisasi pasti punya gerakan
intelektual yang segar dalam memproduksi ide dan wacana. Karena tidak mungkin
sebuah organiasasi akan bertahan selamanya, kapan kiamat siapa yang tau? Tapi
sebuah gagasan dan ide tidak akan habis ditelan masa, dia akan terus hidup
walaupun si-empunya telah tiada.
Dari uraian
diatas tadi, dimana terjadinya pergeseran antar idealitas KAMMI melalui Kredo
dengan realitas KAMMI sebenarnya. Cukup simpel sebenarnya permasalahannya yakni
pendek dan kerdilnya akal kader KAMMI dalam berfikir. Kalaulah boleh
dibahasakan pendek dan kerdilnya akal kader ini karena faktor minimya kegiatan
literasi di tubuh KAMMI. Memang ada dalam manhaj KAMMI di mana setiap jenjang
kader diwajibkan untuk mantuba (baca: manhaj tugas baca). Tapi yang menjadi
permasalahan ialah judul-judul buku tersebut, yang menjadi daftar mantuba
KAMMI. Saya tidak akan menjelaskan bagaimana kondisi dan judul-judul buku
tersebut. Tapi bagi saya “bagaimana mungkin kegersangan dan panasnya pemikiran
di timur tengah hendak dijadikan landasan berfikir di negeri yang sejuk nan sarat
budaya ini? Seharusnya rombak semua judul buku-buku yang menjadi daftar mantuba
tersebut. Penuhi dengan ide-ide segar kekinian dalam konteks Indonesia (madein indonesia).
Tidak mungkin permasalahan sosial atau agama di Indonesia bisa diselesaikan
dengan semacam buku ma’alim fi ath-tharik qutb. Sekali lagi, ganti!
Kembali ke
awal bahasan, kejumudan dan ketumpulan di KAMMI bukanlah tanpa sebab, tapi itu
memang disengaja dan dibiarkan. Dari sinilah lahir-lahir kader yang loyal tapi
minim pemahaman, kader yang ta’at namun khianat yang membawa KAMMI pada arena
politik praktis. Disinilah perlunya kembali KAMMI menjadi gerbong literasi.
Ciptakan kembali lokus-lokus diskusi, karena dari sinilah muncul ide-ide yang
masih ranum. tinggal dipoles sedikit saja maka akan menjadi gebrakan yang
mengerikan. Sehingga kita dapat memantaskan diri dengan apa yang kita sebut sebagai
“kredo”.
Akhir kata,
saya hanya bisa megeritik dan sedikit ide, karena dengan mengeritik saya
berusaha mencintai KAMMI dengan sederahana. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar