Rahmatul Ummah
Deklarator KAMMI METRO Lampung
Pegiat Diskusi Majelis Kamisan Cangkir
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah anak sah reformasi 1998, maka
tak layak dibunuh dengan “membegal” tugas dan kewenangannya. Lembaga ini memang
masih memiliki banyak kekurangan, namun terus berbenah dengan memperbaiki
sistem dan SDMnya, proses transisi untuk
menjadi lembaga yang benar-benar independen dimulai dengan merekrut PNS yang
awalnya banyak “meminjam” PNS Pemerintah Daerah. Perbaikan sistem yang terbuka
juga sudah mulai dilakukan dengan mempublikasikan seluruh data yang wajib
diketahui publik dari data pemilih hingga hasil pemilu.
KPU yang dikonsepsikan secara
hukum dan politik untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem yang berbeda
dibanding Pemilu di era Orde Baru, jelas mengemban harapan besar dari
kekuatan-kekuatan sipil (pro demokrasi) untuk menjadi penyelenggara yang
independen, sehingga mampu menjaga proses yang fair, adil dan transparan dengan
hasil yang dipercaya rakyat.
Menurut Jimly Asshiddiqie (2006)
KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang dijamin dan dilindungi UUD 1945,
dan karena itu dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki apa yang
disebut dengan constitutional importance. Sebagai lembaga yang penting,
KPU ditegaskan bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen) yang
derajat kelembagaannya sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain yang
dibentuk dengan undang-undang.
KPU dalam konteks ilmu politik kontemporer,
adalah lembaga independen yang diharapkan tampil sebagai aturan dan kendala
yang akan mengurangi ketidakpastian dengan cara menetapkan struktur yang stabil
dan dapat diperkirakan bagi interaksi manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok.
Ramlan Surbakti (2003), memberi penegasan KPU adalah
institusi demokrasi yang harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan
pasti (predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga
hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results).
Kita bisa membayangkan, bagaimana saat tugas dan
kewenangan KPU diambil alih DPRD, pemilu dan hasilnya akan sangat mudah
diprediksi, yang jadi adalah calon yang memiliki modal besar dan didukung
mayoritas DPRD yang bergabung dalam koalisi besar. Oleh karena itu tak heran,
jika jauh-jauh hari sebelum pemilihan, sudah ada kelompok yang mengklaim “sapu bersih” kepala daerah di
beberapa kabupaten/kota, meski tidak sejalan dengan kehendak publik.
KPU dan Demokratisasi
Konstruksi Pilkada yang dilaksanakan KPU
adalah transisi sistem dari demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung. Pilkada
perwakilan sebelumnya dianggap memiliki masalah karena pemimpin yang terpilih
dianggap memiliki jarak dengan rakyat dan sering abai dengan aspirasi
masyarakat, karena mereka terkesan tak punya beban moral untuk bertanggungjawab
kepada rakyat dan hanya akan bertanggung jawab ke DPRD.
Peran KPU menyelenggarakan Pemilu dengan
prinsip proses yang tak terprediksi dan hasil yang tidak dapat diketahui itu,
merupakan syarat yang mau tidak mau harus dipenuhi karena menurut Huntington (1991)
Pemilu di era transisi merupakan: pertama, tanda berakhirnya rezim non
demokratik (the inaguration on democratic rezim), sekaligus sebagai
pelembagaan demokrasi dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak
yang disebabkan oleh terjadinya tarik menarik dukungan dan penolakan antara
berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.
Kedua, bermakna
sebagai pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratik (the inaguration
of the democratic rezim) yang menggantikan pemerintahan otoriter yang telah
tumbang. Ketiga, pemilu di era transisi merupakan perwujudan dari
konsolidasi sistem demokrasi (the inauguration of the democartic system) yaitu
suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk
menduduki kursi kekuasaan.
Ketika RUU Pilkada disahkan 26 September yang lalu, seolah
memupus seluruh ikhtiar yang telah dilakukan oleh KPU menata kelembagaannya
kearah yang lebih transparan dan akuntabel. alih-alih berusaha menyetarakan
posisi KPU dengan lembaga negara utama, tugas dan kewenangannya dirampas secara
paksa oleh DPRD, sehingga mengharapkan KPU sebagai lembaga negara yang permanen
untuk menyelenggarakan Pemilu yang berbeda dengan Pemilu Orde Baru kandas di
tengah jalan.
Padahal, kegiatan Pemilu dalam hal ini Pilkada merupakan
salah satu kegiatan politik yang paling banyak menarik perhatian dan keterlibatan
masyarakat sehingga Pilkada menjadi momen pendidikan politik yang sangat
penting dalam rangka mendewasakan rakyat
di tingkat lokal. Pemilu mengajarkan kepada masyarakat bagaimana terlibat dalam
proses pengambilan keputusan politik dengan cara menentukan kepala daerahnya
sendiri.
Pilkada merupakan
event yang sangat penting dalam proses demokrasi lokal untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis. Fungsi Pemilu menurut Arbi Sanit (1997) adalah
pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah, pembentukan perwakilan rakyat
sirkulasi elit penguasa, dan pendidikan politik.
Oleh karena itu Pilkada sudah seharusnya diselenggarakan
oleh lembaga yang independen dan tidak memihak bukan oleh DPRD, KPU sebagai
lembaga penyelenggara pemilu independen dikontrol untuk selalu berpegang pada
peraturan perundang-undangan yang ada, kode etik dan tata tertib KPU. Tugas dan
wewenang KPU dalam menyelenggarakan pemilu tidak semata-mata berhubungan dengan
partai-partai peserta pemilu, tetapi juga harus dengan masyarakat sebagai
pemberi suara dalam pemilu.
Posisi KPU pun secara serius diposisikan berdasarkan amandemen
UUD 1945 sebagai tuntutan demokrasi dan sebagai lembaga khusus untuk
meneyelenggarakan pemilu. KPU sebagai event
organizer pemilihan umum mengemban sebagian dari tugas menjalankan
demokrasi. KPU bersama dengan stakeholders
lainnya dituntut tidak hanya mengajarkan cara mencoblos saja, akan tetapi lebih
jauh mengajarkan arti penting demokrasi. KPU harus mendidik masyarakat bahwa
esensi demokrasi bukanlah sekedar memilih wakilnya dipemerintahan. Masyarakat
harus ditanamkan budaya berdemokrasi.
Quo
Vadis KPU?
Ketika, konstruksi demokrasi yang didesain sekian lama
dengan pelibatan aktif masyarakat, tiba-tiba ambruk dan hancur-lebur, cita-cita
yang terus disusun untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik sipil
menjadi suram, hak mereka untuk menentukan dan memilih pemimpinnya secara
langsung tiba-tiba dirampas, dengan alasan anggaran besar, rawan konflik dan money politic.
Padahal anggaran besar dan politik uang itu pada dasarnya hanya
memindahkan medan dan nominalnya saja, dari gubuk-gubuk rakyat ke kantor-kantor
dingin ber-AC, Memindahkan kedaulatan dari rakyat ke cukong dan elit parpol.
Dalam konteks UU Pilkada yang baru disahkan dan kewenangan
KPU yang telah dikebiri, apakah KPU akan memilih diam dan malu-malu untuk
bersikap? Disinilah penting mengkaji dan merumuskan langkah-langkah KPU yang
semestinya bersama rakyat melakukan protes-protes konstitusional.Karena
sesungguhnya, posisi KPU sebagai lembaga negara dan rakyat memiliki kesamaan,
jika rakyat dirampas haknya memilih secara langsung dan KPU dirampas hak dan
kewenangannya menyelenggarakan pilkada langsung.
Konstitusi dan UU No. 15 Tahun 2011 telah menetapkan rezim
pemilu sebagai kewenengan penuh lembaga KPU, untuk menyelenggaran pemilu mulai
dari tingkat nasional hingga lokal, legislatif dan eksekutif, dan meski UU
Pilkada mengatur bahwa Pilkada melalui DPRD, akan tetapi UU Penyelenggara
Pemilu masih tetap berlaku dan UU MD3 belum menegaskan tugas tambahan DPRD
untuk menyelenggarakan Pilkada.
Banyaknya disharmonisasi peraturan perundang-undangan ini
menunjukkan bahwa memang UU Pilkada terkesangan sangat dipaksakan dan prematur,
lahir karena kuatnya kepentingan politik yang mengabaikan hak-hak publik. Di
sinilah KPU semestinya memiliki sikap yang tegas, pasti dan jelas dengan
merumuskan langkah sebagai berikut. Pertama,
melakukan judicial review ke MK
sebagai penyelenggara di rezim pemilu, berdasarkan kewenangannya yang telah
diberikan secara implisit dalam Pasal 22 E UUD 1945, UU No 15 Tahun 2011 dan UU
MD3 yang tidak memberikan kewenangan DPRD untuk melaksanakan Pilkada. Kedua, KPU tetap membuka pendaftaran
calon Kepala Daerah dan melaksanakan Pilkada karena tetap memiliki wewenang
berdasarkan UU Penyelenggaraan Pemilu yang masih berlaku dan belum dibatalkan.
Ketiga, secara ekstrim jika tidak mampu melaksanakan langkah
pertama dan kedua, sebaiknya KPU meminta atau membubarkan diri dan menjadi
penyelenggara pemilu yang berbentuk adhoc,
yang dikhususkan untuk Pemilu Legislatif dan pemilu Presiden saja, agar tidak
terkesan hanya menghabiskan anggaran negara tanpa kerja apa-apa.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar