17 Oktober 2014

Quo Vadis KPU?

Rahmatul Ummah
Deklarator KAMMI METRO Lampung
Pegiat Diskusi Majelis Kamisan Cangkir

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah anak sah reformasi 1998, maka tak layak dibunuh dengan “membegal” tugas dan kewenangannya. Lembaga ini memang masih memiliki banyak kekurangan, namun terus berbenah dengan memperbaiki sistem dan SDMnya,  proses transisi untuk menjadi lembaga yang benar-benar independen dimulai dengan merekrut PNS yang awalnya banyak “meminjam” PNS Pemerintah Daerah. Perbaikan sistem yang terbuka juga sudah mulai dilakukan dengan mempublikasikan seluruh data yang wajib diketahui publik dari data pemilih hingga hasil pemilu.

KPU yang dikonsepsikan secara hukum dan politik untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem yang berbeda dibanding Pemilu di era Orde Baru, jelas mengemban harapan besar dari kekuatan-kekuatan sipil (pro demokrasi) untuk menjadi penyelenggara yang independen, sehingga mampu menjaga proses yang fair, adil dan transparan dengan hasil yang dipercaya rakyat.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2006) KPU adalah lembaga penyelenggara pemilu yang dijamin dan dilindungi UUD 1945, dan karena itu dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki apa yang disebut dengan constitutional importance. Sebagai lembaga yang penting, KPU ditegaskan bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen) yang derajat kelembagaannya sama dengan lembaga-lembaga negara yang lain yang dibentuk dengan undang-undang.

KPU dalam konteks ilmu politik kontemporer, adalah lembaga independen yang diharapkan tampil sebagai aturan dan kendala yang akan mengurangi ketidakpastian dengan cara menetapkan struktur yang stabil dan dapat diperkirakan bagi interaksi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Ramlan Surbakti (2003), memberi penegasan KPU adalah institusi demokrasi yang harus menjaga dan memastikan prosedur yang terpola dan pasti (predictable procedures) dalam melaksanakan Pemilu sehingga hasilnya tidak dapat diketahui (unpredictable results).




Kita bisa membayangkan, bagaimana saat tugas dan kewenangan KPU diambil alih DPRD, pemilu dan hasilnya akan sangat mudah diprediksi, yang jadi adalah calon yang memiliki modal besar dan didukung mayoritas DPRD yang bergabung dalam koalisi besar. Oleh karena itu tak heran, jika jauh-jauh hari sebelum pemilihan, sudah ada kelompok  yang mengklaim “sapu bersih” kepala daerah di beberapa kabupaten/kota, meski tidak sejalan dengan kehendak publik.

KPU dan Demokratisasi

Konstruksi Pilkada yang dilaksanakan KPU adalah transisi sistem dari demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung. Pilkada perwakilan sebelumnya dianggap memiliki masalah karena pemimpin yang terpilih dianggap memiliki jarak dengan rakyat dan sering abai dengan aspirasi masyarakat, karena mereka terkesan tak punya beban moral untuk bertanggungjawab kepada rakyat dan hanya akan bertanggung jawab ke DPRD.

Peran KPU menyelenggarakan Pemilu dengan prinsip proses yang tak terprediksi dan hasil yang tidak dapat diketahui itu, merupakan syarat yang mau tidak mau harus dipenuhi karena menurut Huntington (1991) Pemilu di era transisi merupakan: pertama, tanda berakhirnya rezim non demokratik (the inaguration on democratic rezim), sekaligus sebagai pelembagaan demokrasi dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh terjadinya tarik menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.

Kedua, bermakna sebagai pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratik (the inaguration of the democratic rezim) yang menggantikan pemerintahan otoriter yang telah tumbang. Ketiga, pemilu di era transisi merupakan perwujudan dari konsolidasi sistem demokrasi (the inauguration of the democartic system) yaitu suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk menduduki kursi kekuasaan.

Ketika RUU Pilkada disahkan 26 September yang lalu, seolah memupus seluruh ikhtiar yang telah dilakukan oleh KPU menata kelembagaannya kearah yang lebih transparan dan akuntabel. alih-alih berusaha menyetarakan posisi KPU dengan lembaga negara utama, tugas dan kewenangannya dirampas secara paksa oleh DPRD, sehingga mengharapkan KPU sebagai lembaga negara yang permanen untuk menyelenggarakan Pemilu yang berbeda dengan Pemilu Orde Baru kandas di tengah jalan.

Padahal, kegiatan Pemilu dalam hal ini Pilkada merupakan salah satu kegiatan politik yang paling banyak menarik perhatian dan keterlibatan masyarakat sehingga Pilkada menjadi momen pendidikan politik yang sangat penting dalam rangka mendewasakan  rakyat di tingkat lokal. Pemilu mengajarkan kepada masyarakat bagaimana terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik dengan cara menentukan kepala daerahnya sendiri.

Pilkada  merupakan event yang sangat penting dalam proses demokrasi lokal untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. Fungsi Pemilu menurut Arbi Sanit (1997) adalah pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah, pembentukan perwakilan rakyat sirkulasi elit penguasa, dan pendidikan politik.

Oleh karena itu Pilkada sudah seharusnya diselenggarakan oleh lembaga yang independen dan tidak memihak bukan oleh DPRD, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu independen dikontrol untuk selalu berpegang pada peraturan perundang-undangan yang ada, kode etik dan tata tertib KPU. Tugas dan wewenang KPU dalam menyelenggarakan pemilu tidak semata-mata berhubungan dengan partai-partai peserta pemilu, tetapi juga harus dengan masyarakat sebagai pemberi suara dalam pemilu.

Posisi KPU pun secara serius diposisikan berdasarkan amandemen UUD 1945 sebagai tuntutan demokrasi dan sebagai lembaga khusus untuk meneyelenggarakan pemilu. KPU sebagai event organizer pemilihan umum mengemban sebagian dari tugas menjalankan demokrasi. KPU bersama dengan stakeholders lainnya dituntut tidak hanya mengajarkan cara mencoblos saja, akan tetapi lebih jauh mengajarkan arti penting demokrasi. KPU harus mendidik masyarakat bahwa esensi demokrasi bukanlah sekedar memilih wakilnya dipemerintahan. Masyarakat harus ditanamkan budaya berdemokrasi.

Quo Vadis KPU?

Ketika, konstruksi demokrasi yang didesain sekian lama dengan pelibatan aktif masyarakat, tiba-tiba ambruk dan hancur-lebur, cita-cita yang terus disusun untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik sipil menjadi suram, hak mereka untuk menentukan dan memilih pemimpinnya secara langsung tiba-tiba dirampas, dengan alasan anggaran besar, rawan konflik dan money politic.

Padahal anggaran besar dan politik uang itu pada dasarnya hanya memindahkan medan dan nominalnya saja, dari gubuk-gubuk rakyat ke kantor-kantor dingin ber-AC, Memindahkan kedaulatan dari rakyat ke cukong dan elit parpol.

Dalam konteks UU Pilkada yang baru disahkan dan kewenangan KPU yang telah dikebiri, apakah KPU akan memilih diam dan malu-malu untuk bersikap? Disinilah penting mengkaji dan merumuskan langkah-langkah KPU yang semestinya bersama rakyat melakukan protes-protes konstitusional.Karena sesungguhnya, posisi KPU sebagai lembaga negara dan rakyat memiliki kesamaan, jika rakyat dirampas haknya memilih secara langsung dan KPU dirampas hak dan kewenangannya menyelenggarakan pilkada langsung.

Konstitusi dan UU No. 15 Tahun 2011 telah menetapkan rezim pemilu sebagai kewenengan penuh lembaga KPU, untuk menyelenggaran pemilu mulai dari tingkat nasional hingga lokal, legislatif dan eksekutif, dan meski UU Pilkada mengatur bahwa Pilkada melalui DPRD, akan tetapi UU Penyelenggara Pemilu masih tetap berlaku dan UU MD3 belum menegaskan tugas tambahan DPRD untuk menyelenggarakan Pilkada.

Banyaknya disharmonisasi peraturan perundang-undangan ini menunjukkan bahwa memang UU Pilkada terkesangan sangat dipaksakan dan prematur, lahir karena kuatnya kepentingan politik yang mengabaikan hak-hak publik. Di sinilah KPU semestinya memiliki sikap yang tegas, pasti dan jelas dengan merumuskan langkah sebagai berikut. Pertama, melakukan judicial review ke MK sebagai penyelenggara di rezim pemilu, berdasarkan kewenangannya yang telah diberikan secara implisit dalam Pasal 22 E UUD 1945, UU No 15 Tahun 2011 dan UU MD3 yang tidak memberikan kewenangan DPRD untuk melaksanakan Pilkada. Kedua, KPU tetap membuka pendaftaran calon Kepala Daerah dan melaksanakan Pilkada karena tetap memiliki wewenang berdasarkan UU Penyelenggaraan Pemilu yang masih berlaku dan belum dibatalkan.

Ketiga, secara ekstrim jika tidak mampu melaksanakan langkah pertama dan kedua, sebaiknya KPU meminta atau membubarkan diri dan menjadi penyelenggara pemilu yang berbentuk adhoc, yang dikhususkan untuk Pemilu Legislatif dan pemilu Presiden saja, agar tidak terkesan hanya menghabiskan anggaran negara tanpa kerja apa-apa.[] 

sebagaimana tulisan dimuat dalam http://lampost.co/berita/quo-vadis-kpu tanggal 02 oktober 2014 dan dipublikasikan ulang vis Jurnal KAMMI kultural

Tidak ada komentar:

Posting Komentar