17 Oktober 2014

Pohon, Politik, dan Imajinasi *)

Dharma Setyawan
Alumnus Pascasarjana UGM, Pegiat Diskusi Kamisan Cangkir Lampung
Pegiat Diskusi KAMMI Kultural Lampung

Pohon menjadi cerita kekuasaan yang menarik. Sebagai upaya pelestarian lingkungan, penanaman pohon dikonsepsi sebagai upaya pengembalian hak alam. Disisi yang lain pohon adalah subjek yang menjadi masalah tersendiri dalam beberapa sisi. seperti politik, agama, dan Lingkungan Hidup. Pohon bukan saja soal lingkungan hidup, tapi sejarah yang bercecer dengan imajinasi politik. Dalam konflik kekuasaan yang lain, pohon menjadi imajinasi politik antar bangsa yang saling bergejolak. ‘Pohon’ contohnya menjadi cerita mitologi dan kekuasaan  bagi Zionos Yahudi. Kepercayaan mitologi Agama Yahudi—yang juga dilegitimasi oleh Islam—membawa keyakinan kuat tentang pohon keselamatan saat perang ‘Armageddon’ dimasa depan. Perang besar terakhir ini dipercayai oleh kepercayaan Yahudi sebagai perang yang melibatkan seluruh dunia. ‘Pohon Ghorqod’—pohon yang banyak ditanam sebagai pohon keselamatan—menjadi kepercayaan untuk kemenangan Zionis dalam  menyelamatkan bangsa Yahudi dari kepunahan. Keyakinan Zionis terhadap kesaktian pohon itu diamini dengan menanam pohon tersebut sejak 1984.

Presiden AS Ronald Reagan melakukan pertemuan tahun 1984 dengan pelobi senior Yahudi Tom Dine dari American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Reagen berucap,”Anda tahu, saya berpaling kepada nabi-nabi kuno perjanjian lama dan tanda-tanda yang meramalkan perang Armageddon”. Reagen sangat mempercayai perang tersebut akan dating dengan membawa misi suci agama. Penerus Reagen kemudian diketahui George H.W Bush, William J. Clinton dan George W. Bush. Meminjam ungkapan A. Syafii Ma’arif (2013), mitologi agama telah menjadi kekuatan legitimasi perang untuk memaksa mereka saling berkuah darah. Penajaman kepercayaan pohon dalam politik kekuaasaan bangsa-bangsa, di kuatkan oleh Islam dengan sebuah hadist,”tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum Muslimin memerangi kaum Yahudi, lalu membunuh mereka. Sehingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon berkata : “ Hai Muslim! Hai hamba Allah! Ini Yahudi di belakangku kemarilah, bunuhlan dia! Kecuali pohon Ghorqod, maka, itu adalah dari pohon-pohonnya orang Yahudi” (HR Muslim).

Contoh pohon dalam gejolak kekuasaan yang lain. ‘Pohon Hitler’  atau pohon ‘ek’ begitulah rakyat Polandia menyebut. Pohon yang menandai sejarah pendudukan Nazi selama Perang Dunia II. Jerman Nazi menyerbu Polandia pada 1 september 1939, sehingga mengobarkan PD II. Enam juta orang Polandia meregang nyawa dan sekitar 3 juta orang Yahudi tewas atas intruksi pembunuhan massal oleh Hitler. ‘Pohon Hitler’ adalah sejarah reboisasi penuh darah bagi rakyat Polandia. Rakyat mengenang Pohon itu sebagai sebuah ketakutan yang akut. Tahun 1942 orang Jerman membawa bibit satu pohon ‘ek’ dan menanamnya ke pusat kota. ‘Pohon Hitler’ ditanam untuk menandai hari kelahiran Hitler dimana bibit pohon berasal dari Baunau am Inn, Austria—tempat Hitler dilahirkan. Tidak ada yang salah dari pohon ‘ek’ tersebut, tapi rakyat Polandia terlanjur mengingat sejarah yang pahit melihat pohon ‘ek’ sebagai symbol kematian.



Pohon juga menjadi kepercayaan tahayul yang hampir sama disebut Tan Malaka sebagai Logika Mistika. Kepercayaan orang-orang Jawa terhadap pohon sebagai tempat sakral, tempat yang harus diberikan sesajen—persembahan dalam bentuk makanan—sampai tempat ritual di masa lampau. Pohon telah menjadi kutukan bagi kepercayaan Nusantara lama, saat pohon dibiarkan begitu saja. Dalam tafsir modern tentang kepercayaan ini, masyarakat Jawa pada dasarnya lebih menghargai kelangsungan alam karena tidak berani menebang pohon—akibat sakralisme pohon. Namun sjak Belanda hadir di Indonesia penebangan pohon-pohon di hutan kian marak diiringi revolusi Industri yang kian pesat.

Pohon dan Komunikasi Politik

Imajinasi manusia tentang pohon tidak akan pernah selesai sampai di sini. Sejarah bangsa-bangsa adalah sejarah yang menggambar proses politik yang selalu melibatkan alam semesta—khususnya pohon. Pohon dalam wacana politik begitu beragam termasuk pemimpin negara. Soekarno dalam kunjungannya ke Mekkah, merasakan panasnya kawasan padang Arofah. Sehingga suatu ketika Soekarno menawarkan kepada Raja Arab Saudi untuk menanam pohon. Pohon ‘Soekarno’ yang kini mereka kenal adalah sebuah imajinasi Soekarno tentang pohon sebagai narasi persaudaraan politik. Pohon “mimba, imbo atau imba” didatangkan langsung oleh Soekarno beserta ahli tanaman ke padang Arofah yang tandus. Di tanah yang gersang itu ada pipa-pipa yang mengairi pohon agar hidup sebagaimana tumbuh di wilayah Indonesia yang subur. Kini orang melihat pohon Soekarno itu tumbuh rapid an subur sebagai penyejuk.

Konon, “revolusi hijau’ yang dilakukan oleh Fidel Castro di Kuba adalah ide Soekarno. Dengan bangganya Castro mengaku sebagai murid gerakan revolusi melawan imperialism dan neo-kolonialisme. Bung Karno berkunjung ke Havana pada tanggal 9 -14 Mei 1960. Bung Karno memberi saran kepada Castro sebagai perdana Menteri dan Che Guevara sebagai Gubernur Bank Nasional negara Kuba untuk menanam tembakau dan pohon jarak. Revolusi Hijau tidak hanya disitu, Kuba adalah negara yang paling siap membangun infrastruktur kesehatan paling modern. Revolusi Hijau sukses membangun surplus pertanian juga menjaga kualitas air dan tanah di Kuba. Walaupun diembargo Amerika sejak tahun 60-an. Kuba tetap kokoh dengan kemandirian ekonominya.

Pohon dan Imajinasi

Pohon dalam narasi Soekarno jauh mengalir sebelum idenya ditawarkan ke Mekkah dan Kuba. Sebagai seorang arsitek, Soekarno juga seorang Jawa. Soekarno melihat pohon sebagai imajinasi modern. Evolusi ‘Jawa-centrisme’ menarasikan pohon sebagai tempat bernaung untuk berfikir bukan lagi sesuatu yang harus di sembah layaknya kepercayaan Jawa masa lampau. Saat pembuangan di Ende Flores 1934-1938, Soekarno banyak merenung dibawah pohon Sukun. Pohon itulah yang mengilhami Soekarno hingga mencetuskan ide tentang 5 butir Pancasila. “Di pulau flores yang sepi, dimana aku tidak memiliki kawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-ham lamanya di bawah sebatang pohon di halaman rumahku, merenungkan ilham yang diturunkan oleh Tuhan, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Dan tahukan kamu, kata “Esa’ yang artinya satu merupakan bahasa masyarakat Ende yang kini melekat dalam sila 1 Pancasila” Ucap Soekarno.

Jauh di bumi Madiba (baca : Nelson Mandela), ‘Baobab’ adalah pohon khas di Afrika yang tumbuh hingga ukuran sangat besar. Saat Nelson Mandela meninggal, angin duka menghampiri pohon Baobab untuk menggambarkan benteng keteduhan bagi rakyat Afrika Selatan. “Baobab besar telah rubuh, tetapi akarnya akan memelihara tanah untuk selamanya”, begitulah slogan besar Kongres Nasional Afrika (ANC). Pohon dalam sejarah ikut mewarnai peristiwa politik yang terjadi. Hitler, Soekarno, Nelson Mandela dan jauh para Nabi memiliki ikatan sejarah yang kuat dengan pohon. Kita yang hidup dimasa kini harus melihat pohon sebagai bagian dari nyawa kemanusian kita. Selama kita mau menanam pohon, selama itu kita ikut menghargai bagian dari keberlangsungan kehidupan.[]

*)sebagaimana tulisan telah dimuat dalam http://lampost.co/berita/pohon-politik-dan-imajinasi- tanggal 25 september 2015 dan di publikasikan ulang via jurnal KAMMI kultural

Tidak ada komentar:

Posting Komentar