Penulis:
Alikta Hasnah Safitri,
Sekretaris
Bidang Medkominfo KAMMI UNS, Bergiat di KAMMI Kultural Solo
KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam merumuskan substansi
spirit, paham, corak, landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma
Gerakan KAMMI. Seperangkat konsep inilah yang akan membentuk kerangka pemikiran
guna memahami realita yang ada, mendefinisikannya secara utuh,
mengkategorikannya dalam bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori
atau segmentasi yang lain sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang utuh atas
kenyataan yang dihadapi. Pada akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan
diejawantahkan dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.
Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti, yakni: KAMMI sebagai
Gerakan Dakwah Tauhid, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik, KAMMI
sebagai Gerakan Sosial Independen, dan KAMMI sebagai Gerakan Politik
Ekstraparlementer. Keempat frasa ini tidak berdiri secara terpisah, melainkan
saling memiliki keterikatan dan keterpaduan yang erat. Untuk memudahkan
pemahaman tentang bagaimana KAMMI memaknai konsepsi ‘Intelektual Profetik’,
terlebih dahulu kita harus mengenai paradigma gerakan KAMMI pertama, yakni
KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid.
Tafsir dari KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid yakni:
- Gerakan
dakwah tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk
penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta
mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah SWT.
- Gerakan
dakwah tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban
kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan
(ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil
‘alamin).
- Gerakan
da’wah tauhid adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan
nilai-nilai kebaikan universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar
ma’ruf nahi munkar).
Pada dasarnya, tauhid adalah cara bertuhan yang paling manusiawi dan
merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri. Sebab, inti kemanusiaan adalah
akal budi dan kebebasan. Tauhid adalah cara bertuhan yang membebaskan dan
memerdekakan. Sebab, manakala manusia hanya bergantung dan berserah diri pada
satu Dzat, dia akan bebas. Contoh analogi sederhana dari konsep ini adalah
pendulum. Ia bisa bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika
ia tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu dan
statis. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi)
haruslah ditujukan pada Tuhan itu sendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa.
Konsekuensi logis dari tauhid adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh
sesama manusia, materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang
merdeka. Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat pengabdian kepada
Allah SWT sajalah yang akan mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang
berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidak ada
pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material dan dunia spiritual,
serta dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan manusia dari kepasrahan kepada
kekuatan sosial manapun selain kepasrahan kepada Tuhan.
Dengan demikian, manusia hanya bertanggungjawab dihadapan Hakim Tunggal,
yakni Allah SWT. Inilah makna Islam, ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan
perlawanan terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud menundukkan ataupun
yang meminta menggantikan kedudukan Tuhan. Sehingga, ia akan berikhtiar dengan
sungguh-sungguh untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan
lil ‘alamin).
Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagai
pengejawantahan kalam Illahi inilah yang oleh Ali Syariati disebut sebagai
manusia ideal. Dalam dirinya ada tiga aspek mendasar yakni kebenaran,
kebajikan, dan keindahan. Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah.
Selanjutnya, sejalan dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia
harus mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan dengan apa
yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: “Engkau adalah umat terbaik yang
diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran
(kejahatan) dan beriman kepada Allah”(3:110).
Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan bahwa inti pokok
dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan transdensi. Humanisasi artinya
memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan
kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan amar ma’ruf. Liberasi atau
pembebasan merupakan implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi merupakan
implementasi dari nilai tu’minuuna billaah.
Intelektual Profetik KAMMI
Tafsir KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik adalah sebagai berikut:
- Gerakan
intelektual profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh
atas penjelajahan nalar akal.
- Gerakan
intelektual profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus
dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
- Gerakan
intelektual profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan
nalar wahyu pada usaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan
pemberdayaan manusia secara organik.
- Gerakan
intelektual profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas
rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara bahasa berarti
cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal, dan berfikiran jenih berdasarkan
ilmu pengetahuan, memiliki daya akal budi serta totalitas pengertian atau
kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Menurut Lafran
Pane, intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu: Pertama,
tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran, Kedua, tidak
ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga,
ia adalah agen perubahan, bukan yang dirubah oleh lingkungannya.
Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa Islam diturunkan dengan
tujuan untuk mengubah masyarakat dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian
mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena
itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini,
pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu
menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam merumuskan desain besar
mengenai sistem Islam dan ilmu pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam
berpikir dan bertindak seorang muslim.
Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas penjelajahan nalar
akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai relasi-pengabdian pada-Nya. Disini,
Allah ditransformasikan menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber
Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteks profetik adalah
mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman kepada Malaikat berarti membangun
relasi-persahabatan dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang
beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-pembacaan, sebab kitab
adalah sesuatu yang dibaca. Beriman kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan
dan Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan sekaligus juga
persahabatan seperti hubungan yang terjadi antara Rasulullah dan para
sahabatnya. Beriman pada hari akhir artinya membangun relasi-pencegahan, sebab
dalam konteks ini kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdir
berarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat terhindarkan.
Ilmu sosial profetik berpijak pada prinsip untuk mengembalikan segala
penalaran yang dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses
sakralisasi terhadap-NYA, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan
aktivitas kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja kemanusiaan
yang meliputi: kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan penghargaan.
Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar wahyu ini adalah
penggunaan kompilasi wahyu (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah (Al-Hadist)
sebagai salah satu sumber untuk merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti
lebih lanjut dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk
perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara
organik. Maksudnya secara organik yakni merujuk pada intelektual yang berfungsi
sebagai perumus dan altikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan
kelas yang sedang tumbuh.
Menuju Intelektual Kolektif
Saat ini, dunia semakin komersial disebabkan oleh perselingkuhan antara
kekuatan politik, ekonomi, dan media. Mewabahnya komersialisasi ini mengancam
kemandirian intelektual kita hari ini. Dalam konteks gerakan mahasiswa,
terminologi intelektual yang telah melekat pada dirinya membutuhkan
pertanggungjawaban nyata. Selain bisa diimplementasikan secara positif, kata
‘intelektual’ bisa menjadi sebuah komoditas untuk melanggengkan kebenaran palsu
demi dicapainya kepentingan pribadi, golongan, maupun kelompok yang tak
berpihak pada kepentingan rakyat. Saat intelektual menukar kebenaran dan
keberpihakannya pada rakyat, maka pembodohan pun secara massif akan dilakukan,
baik melalui ragam kebijakan, maupun perubahan asumsi publik pada suatu isu
yang tengah berkembang.
Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil. Dalam bukunya yang berjudul
Pendidikan Kaum Tertindas (hal 27), mengatakan: “Pendidikan kaum tertindas,
sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada
tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui
praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana
realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tak lagi menjadi milik
kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses
mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini, dibutuhkan gerakan
yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultural pula.”
Bourdieu, seorang filsuf Perancis menawarkan sebuah gerakan yang ia sebut
intelektual kolektif (collective intellectual), berupa gerakan lintas budaya,
bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas,
jaringan informal, dan tidak terkonsentrasi di satu pusat. Beragam aliran
pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi. Gerakan ini juga
menekankan kemandirian intelektual serta keterlibatan politik.
Semangat gerakan intelektual kolektif yang digagas oleh Bourdieu layak
untuk diadopsi oleh KAMMI. Penulis meyakini, gerakan intelektual kolektif ini
mampu memperluas cakrawala pikir dan intelektual kader maupun KAMMI sebagai
organisasi mahasiswa yang menyatakan diri sebagai gerakan intelektual.
Tak sekedar teori, dalam tataran praksis, salah seorang pegiat Forum
Diskusi KAMMI Kultural secara konsisten membesarkan komunitas Cangkir di Metro,
Lampung. Komunitas ini mempraktikkan secara nyata tentang toleransi antar umat
beragama. Terbukti, sejak awal berdirinya telah digiatkan oleh tiga orang warga
Hindu, seorang pendeta, serta aktivis berbagai ormas Islam.
Bang Dharma, inisiator forum Diskusi ini, berpesan untuk semua OKP, bukan
hanya KAMMI, tetapi juga HMI, PMII, IMM, FMN, LMND bahwa, “membangun ‘intelektual
kolektif’ itu penting. Bukan saatnya
lagi kita mempertahankan cangkang ego, berjibaku hanya dikampus soal BEM,
sementara tradisi intelektual makin minim, aktivis tidak mendaratkan
pemikirannya untuk lingkungan bahkan ironisnya menjadi underbow gerakan/partai
politik tertentu tanpa independensi dan kritisisme terhadap senior. Saya
pribadi mengajak semua OKP untuk berbincang berpikir dan tentu melahirkan karya
secara terus menerus.”
Penutup
Sejak awal, kader KAMMI dilatih berpikir demokratik. Berpikir demokratik
artinya membiasakan diri senang berdialog dengan siapapun, dibiasakan untuk
mendengar dan menerima pendapat dan kebenaran orang lain, toleran dan mampu
mengidentifikasi bahkan menunjukkan kekurangan dalam reasoning lawan dialog.
Tapi, lebih penting lagi adalah keberanian untuk mengakui kekurangan dan
kekeliruan pendapatnya sendiri secara terbuka. Persaingan secara sehat dan
terbuka harus menjadi bagian kehidupan kader. (Soemitro, 1997)
Dialog yang bermakna sangat saya harapkan untuk menambah kapasitas
keilmuan. Koreksi atas kesalahan semoga menjadi bahan renungan bagi saya
pribadi untuk memperbaiki diri. Semoga Alloh senantiasa menunjukkan pada kita
jalan-Nya yang lurus. Aamiin..
Sumber Bacaan :
- Heddy
Shri Ahimsa-Putra, Makalah Sarasehan Profetik Paradigma Profetik,
Mungkinkah? Perlukah?. Makalah disampaikan dalam “Sarasehan
Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di
Yogyakarta, 10 Februari 2011.
- Syariati, Ali.
(1994) Tugas Cendekiawan Muslim. Yogyakarta: Shalahuddin
press
- Freire, Paulo.
(2008) Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES
- Kuntowijoyo
(2008) Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Mizan
·
Soemitro. (1997). Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
- Jurnal
Kammi Kultural (kammikultural.org)
sebagaimana
dalam http://www.kammiuns.org/intelektual-kammi-profetik-menuju-kolektif/
30 desember 2014, dan dipublikasikan ulang via Jurnal KAMMI
kultural.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar