7 Januari 2015

Intelektual KAMMI: Profetik Menuju Kolektif!

Penulis: Alikta Hasnah Safitri, 

Sekretaris Bidang Medkominfo KAMMI UNS, Bergiat di KAMMI Kultural Solo


KAMMI sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam merumuskan substansi spirit, paham, corak, landasan berfikir dan bertindaknya dalam Paradigma Gerakan KAMMI. Seperangkat konsep inilah yang akan membentuk kerangka pemikiran guna memahami realita yang ada, mendefinisikannya secara utuh, mengkategorikannya dalam bagian-bagian, lalu mengkorelasikannya dengan kategori atau segmentasi yang lain sehingga lahirlah sebuah pemahaman yang utuh atas kenyataan yang dihadapi. Pada akhirnya, reaksi dari sejumlah hal tadi akan diejawantahkan dalam tindakan nyata yang sifatnya dzahir.

Paradigma Gerakan KAMMI terdiri dari empat frasa inti, yakni: KAMMI sebagai Gerakan Dakwah Tauhid, KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik, KAMMI sebagai Gerakan Sosial Independen, dan KAMMI sebagai Gerakan Politik Ekstraparlementer. Keempat frasa ini tidak berdiri secara terpisah, melainkan saling memiliki keterikatan dan keterpaduan yang erat. Untuk memudahkan pemahaman tentang bagaimana KAMMI memaknai konsepsi ‘Intelektual Profetik’, terlebih dahulu kita harus mengenai paradigma gerakan KAMMI pertama, yakni KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid.


Tafsir dari KAMMI sebagai gerakan dakwah tauhid yakni:

  1. Gerakan dakwah tauhid adalah gerakan pembebasan manusia dari segala bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya yaitu Allah SWT.
  2. Gerakan dakwah tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
  3. Gerakan da’wah tauhid adalah gerakan perjuangan berkelanjutan untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan universal dan meruntuhkan tirani kemungkaran (amar ma’ruf nahi munkar).
Pada dasarnya, tauhid adalah cara bertuhan yang paling manusiawi dan merupakan bentuk dari kemanusiaan itu sendiri. Sebab, inti kemanusiaan adalah akal budi dan kebebasan. Tauhid adalah cara bertuhan yang membebaskan dan memerdekakan. Sebab, manakala manusia hanya bergantung dan berserah diri pada satu Dzat, dia akan bebas. Contoh analogi sederhana dari konsep ini adalah pendulum. Ia bisa bergerak bebas sebab hanya tergantung pada satu titik. Jika ia tergantung pada dua atau tiga titik, tentulah ia akan terbelenggu dan statis. Maka dari itu, sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan pada Tuhan itu sendiri- Tuhan Allah Yang Maha Esa.

Konsekuensi logis dari tauhid adalah bebasnya manusia dari perbudakan oleh sesama manusia, materi, nalar, dan lainnya sehingga ia menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka dan hanya memiliki semangat pengabdian kepada Allah SWT sajalah yang akan mendeklarasikan tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (ilahiyah), sebab tidak ada pada dirinya dikotomi antara jiwa dan raga, dunia material dan dunia spiritual, serta dunia dan akhirat. Hal ini membebaskan manusia dari kepasrahan kepada kekuatan sosial manapun selain kepasrahan kepada Tuhan. 

Dengan demikian, manusia hanya bertanggungjawab dihadapan Hakim Tunggal, yakni Allah SWT. Inilah makna Islam, ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan dan perlawanan terhadap semua kekuasaan duniawi yang bermaksud menundukkan ataupun yang meminta menggantikan kedudukan Tuhan. Sehingga, ia akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Manusia yang di dalam dirinya memiliki sifat-sifat ketuhanan sebagai pengejawantahan kalam Illahi inilah yang oleh Ali Syariati disebut sebagai manusia ideal. Dalam dirinya ada tiga aspek mendasar yakni kebenaran, kebajikan, dan keindahan. Menurut fitrahnya, dia adalah khalifah Allah. Selanjutnya, sejalan dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus mengupayakan kerja-kerja dalam amal nyata. Hal ini sejalan dengan apa yang telah Allah katakan dalam wahyu-Nya: “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”(3:110).

Dalam ilmu sosial-profetiknya, Kuntowijoyo menafsirkan bahwa inti pokok dari ayat ini adalah: humanisasi, liberasi, dan transdensiHumanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian manusia sebagai implementasi dari nilai perubahan amar ma’ruf. Liberasi atau pembebasan merupakan implementasi dari nilai nahi munkar, sedang transendensi merupakan implementasi dari nilai tu’minuuna billaah.


Intelektual Profetik KAMMI

Tafsir KAMMI sebagai Gerakan Intelektual Profetik adalah sebagai berikut:
  1. Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal.
  2. Gerakan intelektual profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal.
  3. Gerakan intelektual profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
  4. Gerakan intelektual profetik adalah gerakan pemikiran yang menjangkau realitas rakyat dan terlibat dalam penyelesaian masalah rakyat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Intelektual secara bahasa berarti cendekiawan atau orang yang cerdas, berakal, dan berfikiran jenih berdasarkan ilmu pengetahuan, memiliki daya akal budi serta totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman. Menurut Lafran Pane, intelektual dalam Islam dikenal dengan tiga cirinya yaitu: Pertama, tidak ada rasa takut dalam menyuarakan kebenaran, Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, partai, dan lain-lain. Ketiga, ia adalah agen perubahan, bukan yang dirubah oleh lingkungannya.

Kuntowijoyo (dalam Ahimsa, 2011) menyatakan bahwa Islam diturunkan dengan tujuan untuk mengubah masyarakat dan melakukan transformasi sosial. Ia kemudian mengusulkan adanya ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu ilmu-ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Dalam hal ini, pengetahuan akan wahyu menjadi hal yang aprori, sebab wahyu menempati posisi konstruk yang memberikan pedoman dalam merumuskan desain besar mengenai sistem Islam dan ilmu pengetahuannya, guna menjadi paradigma dalam berpikir dan bertindak seorang muslim.

Keimanan dalam ilmu profetik dijadikan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Beriman kepada Allah dimaknai sebagai relasi-pengabdian pada-Nya. Disini, Allah ditransformasikan menjadi Pengetahuan, karena Dirinya adalah Sumber Pengetahuan. Sehingga, beriman pada Allah dalam konteks profetik adalah mengimani pengetahuan itu sendiri. Beriman kepada Malaikat berarti membangun relasi-persahabatan dengan malaikat karena malaikat adalah sahabat orang yang beriman. Beriman kepada Kitab berarti membangun relasi-pembacaan, sebab kitab adalah sesuatu yang dibaca. Beriman kepada Nabi berarti membangun relasi-Perguruan dan Persahabatan, sebagai guru yang memberikan pengetahuan sekaligus juga persahabatan seperti hubungan yang terjadi antara Rasulullah dan para sahabatnya. Beriman pada hari akhir artinya membangun relasi-pencegahan, sebab dalam konteks ini kiamat ditafsirkan sebagai kehancuran. Beriman kepada Takdir berarti membangun relasi-Penerimaan, sebab takdir tak dapat terhindarkan.

Ilmu sosial profetik berpijak pada prinsip untuk mengembalikan segala penalaran yang dilakukan akal pada Allah SWT sebagai Pencipta sebagai proses sakralisasi terhadap-NYA, bahwasanya aktivitas keilmuan juga merupakan aktivitas kemanusiaan, sehingga ia dituntut memiliki etos kerja kemanusiaan yang meliputi: kejujuran, ketelitian, kekritisan, dan penghargaan.

Implikasi dari adanya pertemuan nalar akal dan nalar wahyu ini adalah penggunaan kompilasi wahyu (Al Qur’an) dan sunnah Rasulullah (Al-Hadist) sebagai salah satu sumber untuk merumuskan hipotesa-hipotesa untuk diteliti lebih lanjut dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. Maksudnya secara organik yakni merujuk pada intelektual yang berfungsi sebagai perumus dan altikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas yang sedang tumbuh.

Menuju Intelektual Kolektif

Saat ini, dunia semakin komersial disebabkan oleh perselingkuhan antara kekuatan politik, ekonomi, dan media. Mewabahnya komersialisasi ini mengancam kemandirian intelektual kita hari ini. Dalam konteks gerakan mahasiswa, terminologi intelektual yang telah melekat pada dirinya membutuhkan pertanggungjawaban nyata. Selain bisa diimplementasikan secara positif, kata ‘intelektual’ bisa menjadi sebuah komoditas untuk melanggengkan kebenaran palsu demi dicapainya kepentingan pribadi, golongan, maupun kelompok yang tak berpihak pada kepentingan rakyat. Saat intelektual menukar kebenaran dan keberpihakannya pada rakyat, maka pembodohan pun secara massif akan dilakukan, baik melalui ragam kebijakan, maupun perubahan asumsi publik pada suatu isu yang tengah berkembang.

Paulo Freire, seorang pendidik dari Brazil. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas (hal 27), mengatakan: “Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng. Dalam kedua tahap ini, dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultural pula.”

Bourdieu, seorang filsuf Perancis menawarkan sebuah gerakan yang ia sebut intelektual kolektif (collective intellectual), berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak terkonsentrasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi. Gerakan ini juga menekankan kemandirian intelektual serta keterlibatan politik.

Semangat gerakan intelektual kolektif yang digagas oleh Bourdieu layak untuk diadopsi oleh KAMMI. Penulis meyakini, gerakan intelektual kolektif ini mampu memperluas cakrawala pikir dan intelektual kader maupun KAMMI sebagai organisasi mahasiswa yang menyatakan diri sebagai gerakan intelektual.

Tak sekedar teori, dalam tataran praksis, salah seorang pegiat Forum Diskusi KAMMI Kultural secara konsisten membesarkan komunitas Cangkir di Metro, Lampung. Komunitas ini mempraktikkan secara nyata tentang toleransi antar umat beragama. Terbukti, sejak awal berdirinya telah digiatkan oleh tiga orang warga Hindu, seorang pendeta, serta aktivis berbagai ormas Islam.

Bang Dharma, inisiator forum Diskusi ini, berpesan untuk semua OKP, bukan hanya KAMMI, tetapi juga HMI, PMII, IMM, FMN, LMND bahwa, “membangun ‘intelektual kolektif’  itu penting. Bukan saatnya lagi kita mempertahankan cangkang ego, berjibaku hanya dikampus soal BEM, sementara tradisi intelektual makin minim, aktivis tidak mendaratkan pemikirannya untuk lingkungan bahkan ironisnya menjadi underbow gerakan/partai politik tertentu tanpa independensi dan kritisisme terhadap senior. Saya pribadi mengajak semua OKP untuk berbincang berpikir dan tentu melahirkan karya secara terus menerus.”

Penutup
Sejak awal, kader KAMMI dilatih berpikir demokratik. Berpikir demokratik artinya membiasakan diri senang berdialog dengan siapapun, dibiasakan untuk mendengar dan menerima pendapat dan kebenaran orang lain, toleran dan mampu mengidentifikasi bahkan menunjukkan kekurangan dalam reasoning lawan dialog. Tapi, lebih penting lagi adalah keberanian untuk mengakui kekurangan dan kekeliruan pendapatnya sendiri secara terbuka. Persaingan secara sehat dan terbuka harus menjadi bagian kehidupan kader. (Soemitro, 1997)

Dialog yang bermakna sangat saya harapkan untuk menambah kapasitas keilmuan. Koreksi atas kesalahan semoga menjadi bahan renungan bagi saya pribadi untuk memperbaiki diri. Semoga Alloh senantiasa menunjukkan pada kita jalan-Nya yang lurus. Aamiin..

Sumber Bacaan :
  • Heddy Shri Ahimsa-Putra, Makalah Sarasehan Profetik Paradigma Profetik, Mungkinkah? Perlukah?. Makalah disampaikan dalam “Sarasehan Profetik 2011”, diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM, di Yogyakarta, 10 Februari 2011.
  • Syariati, Ali. (1994) Tugas Cendekiawan Muslim. Yogyakarta: Shalahuddin press    
  • Freire, Paulo. (2008) Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES
  • Kuntowijoyo (2008) Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Mizan 
·         Soemitro. (1997). Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Jurnal Kammi Kultural (kammikultural.org)

sebagaimana dalam http://www.kammiuns.org/intelektual-kammi-profetik-menuju-kolektif/ 30 desember 2014,  dan dipublikasikan ulang via Jurnal KAMMI kultural. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar