7 Januari 2015

Menegaskan KAMMI sebagai Gerakan Sosial dan Pengusung 'Ideologi Alternatif'

Oleh: Anis Maryuni Ardi
Pegiat Diskusi Kammi Kultural Jawa Timur

Ini masih di awal bulan, dan masih di awal tahun. Kita masih sempat menata apa yang terserak, membangun kenangan dan menghapus jejak yang telah lalu. Kita tetap radikal romantis, yakni mengakar pada bumi untuk menjadi khalifatullah fil ardh, dan selalu bersama berpegangan pada ikatan-Nya menebar aroma perjuangan melalui beberapa tangkai mawar haroki. Ketahuilah perjuangan ini tak akan pernah usai, melalui masjid, kampus dan aspal jalanan, kita akan tetap berjuang, berjuang sampai tidak ada kebhatilan di muka bumi.

Masih melekat dalam diri kita status atau sekedar semangat mahasiswa. Mahasiswa diasumsikan oleh publik sebagai seorang yang mempunyai status tinggi. Kapasitas mental dan sosialnya patut dibanggakan. Melalui idealisme yang potensial tetap terpelihara, keterbukaan dan kreativitas, serta kecerdasan intelektual, diharapkan mahasiswa mampu menganalisis  persoalan sosial, kajian mendalam, tampil dalam mimbar ilmiah, dan perdebatan akademik. Tidak sedikit yang menjadi katalisator gerakan sosial, gerakan yang dibangun atas dasar trend issue, situasi dan kondisi, pijakan moral dan keinginan yang berbeda secara politik.

KAMMI masih sangat muda, ketika pertama tampil di pentas reformasi, kita dihadapkan pada dua dilema, menjadi gerakan yang selalu melakukan perlawanan, atau bermain dengan tenang dalam suatu sistem. Sebelum lebih jauh berbicara tentang gerakan KAMMI, ijinkan penulis mengkategorikan gerakan sosial. gerakan sosial  yang pertama adalahreform movement, yang terkonsentrasi pada perubahan tertentu yang spesifik, sedangkan gerakan yang kedua adalah revolutionary movement, yaitu gerakan yang mengupayakan perubahan menyeluruh dan mengakar pada sistem yang ada. Keduanya sama-sama didasari oleh relative deprivation / subjective dissatisfaction

Sampai disini, dimanakah KAMMI mengambil peran?

REKONSILIASI GERAKAN
Gerakan mahasiswa tidak membentuk lembaga resmi seperti partai politik, namun lebih menekankan pada aksi kolektif mewujudkan tujuan gerakan. Dalam kategorisasi yang lain (Hamka:2000) menyebutkan bahwa gerakan sosial mahasiswa di wadahi oleh  organisasi permanen maupun temporer. Organisasi permanen (HMI, PMII, GMNI, PMKRI) Sedangkan yang temporer (KAMI, KAMMI, SMID). Literasi ini dikeluarkan tahun 2000, ketika KAMMI masih dua tahun, walaupun demikian, penulis tetap tidak terima dengan kategorisasi tersebut, dan disisi lain pernyataan ini memang butuh pembuktian, dan itu yang harus kita lakukan saat ini, yaitu sebuah rekonsiliasi.

 Rekonsiliasi adalah sebuah usaha untuk memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula, atau menyelesaikan perbedaan. Lebih utamalah memihak pada arti rekonsiliasi sebagai penyelesaian perbedaan. Dimana dalam pikiran kader hal ini menjadi suatu persoalan serius. Masih dengan semangat Unity in diversity, penulis ingin sedikit memberi pilihan untuk mengakhiri hubungan feodal-organik antara KAMMI dan institusi politik formal lain yang semakin transrasional (melampau batas rasionalitas) atau memilih menjadi gerakan revolusioner yang akan mengakhiri perdebatan dua ideologi besar dunia, yakni sebagai pengusung ideologi alternatif. Dengan kata lain: apakah masih ingin tetap membangun kenangan dengan partai politik lama, yang lama-lama transaksional dan tiran pada kader sendiri, atau mencari peluang strategis? Dengan menegaskan ulang sebuah kemunculan 'partai' baru, yang mampu mengorganisir kelas dan berbagai strata sosial yang ia wakili, menjadi artikulator publik, dan tempat pengkaderan kepemimpinan politik, sebagai partai yang ada karena menjawab kebutuhan publik, bukan kepentingan pasar. 

Berpijak pada titik in i, penulis membuka wacana dan hak jawab sebesar-besarnya pada semua pihak tanpa mengurangi rasa hormat. KAMMI perlu menegaskan ulang dirinya: sebagai 'Gerakan Sosial' dan mengusung 'ideologi alternatif'.

IDEOLOGI ALTERNATIF
 Pada abad 19-20 muncul berbagai postulat yang mengabarkan bahwa tatanan dunia pasca abad pertengahan dibagi menjadi dua ideologi besar. Kapitalisme dan Sosialisme. Apakah sosialisme mampu bertahan sebagai ideologi? Nyatanya tidak. Rezim partai komunis di Eropa Timur yang kokoh dan angker, seketika goyah dan hancur, sebagai implikasi pergolakan pro-demokrasi. Apakah fenomena ini bisa dijadikan pembenaran sintesis untuk kapitalisme meraih kejayaan di ujung abad 20? Asumsi ini tidak bertahan lama, sebagai sistem sosial dan ideologi, keduanya sama-sama palsu dan menderitakan rakyat, keduanya gagal membawa penganutnya pada kesejahteraan. Karena hal ini kita perlu mencari ideologi alternatif, dan yang dilirik adalah agama. Agama muncul sebagai sintesis antara kutub kolektivisme sosialisme dan individualisme kapitalisme. Agama menjadi pegangan dalam mencari sistem sosial yang dicita-citakan serta mencari sumber eksistensi bagi setiap orang.

Ideologi adalah kebenaran yang memang benar, namun hanya secuil, agama-lah yang absolut. Agama melampaui definisi ideologi, dalam hal ini, Islam juga memberikan paradigma moral dan etik sebagai mekanisme mengarahkan manusia pada sisi paling humanis dan eksistensial. Abdurrahman Wahid telah menegaskan ini berulang kali dalam berbagai tulisannya, bahwa agama pada dasarnya bergerak jauh melampaui ideologi sehingga upaya ideologisasi agama bisa jadi juga harus dilampaui. 

Pada titik ini kita mendapatkan satu poin, bahwa KAMMI (kultural) sebagai bagian yang komplementer dengan KAMMI pada umumnya bukanlah pengusung ideologi yang terlampau kiri, bahkan sama sekali anti kemapanan (berlawanan dengan kapitalis) KAMMI sudah pasti harus mengambil peran besar untuk mengantarkan masyarakat mencapai tatanan yang religius dan makmur. Sedangkan Kammi Kultural sering kali mengambil peran dengan lebih berani mengambil resiko. Kutural tidak pernah melakukan ijtihad secara sembarangan, kultural hanya metodis dalam berpikir dan berkehendak, menyadari bahwa perjuangan belum selesai, bergerak melampaui struktur dengan mengandalkan akurasi wacana adalah pengamalan kredo gerakan yang integral dengan semangat fastabiqul qairat. Jika ada yang secara subyektif melihat Kultural sebagai duri diantara mawar haroki, maka pemilik subyektifitas itu harus diruqiyah, agar tidak terjadi sesat pikir yang berkepanjangan.

Secara umum KAMMI harus segera berbenah, sebelum salah pergaulan, sebelum sesat pikir dan lupa ingatan. Ketauhidan menjadi modal utama untuk turut mengawal ideologi yang lebih bernafas panjang, ideologi yang tidak memusuhi agama dan tidak mempolitisasi agama. Karena politisasi agama adalah lawan dari politik dan lawan dari agama. Islam sudah final, Islam memberi pandangan alternatif mengenai dunia, menunjukkan struktur institusionalnya sekaligus perangkat tujuan yang kita kejar. Berjuang atas nama islam adalah keniscayaan.

PENUTUP -NAMUN BUKAN AKHIR
Sering kali kita dengar teriakan yang penuh semangat rekonsiliasi dari timur jawa dwipa, seperti reformasi dan kebangkitan KAMMI daerah Surabaya, sampai penghujung tahun 2014, serta Bangkit dan Melawan dari KAMMI wilayah Jawa Timur. Ini adalah bukti bahwa kita bukan gerakan yang temporer, kita hidup melebihi usia hidup kita sendiri, kita hidup melampau batas waktu. Ini adalah wadah perjuangan permanen.

Penulis sangat menantikan kedatangan para pejuang gerakan, parlemen jalanan, mujahid dan intelektual progresif yang ada dalam barisan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia seluruh nusantara. Mari kita merapat ke Jawa Timur, tempat dimana nusantara bersatu dibawah imperium agung abad 17 silam, semangat kultural Majapahit harus kita jaga agar segala rekonsiliasi tidak ahistoris, mari singgah ke kota Pahlawan, untuk meletakkan semua pikiran di atas meja yang sama, melawan kejumudan, membuang prasangka jauh-jauh dan minum kopi bersama, selayaknya kawan, selayaknya saudara, penuh egaliter membicarakan dan berpikir tentang Indonesia, tentang rakyat miskin kota, tentang petani miskin dan tentang KAMMI yang merdeka dari segala bentuk intervensi dan residu reformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar