Artikel ini sebelumnya dimuat di situs Rumah Buku Simpul Semarang. Dimuat kembali di Jurnal KAMMI Kultural atas seizin penulisnya untuk keperluan pendidikan. Lihat http://www.simpulsemarang.com/
Dosen Universitas Negeri Semarang
Saya hampir selalu membandingkan apa yang saya lakukan dulu ketika masih mahasiswa unyu-unyu bin culun pas S1 dengan apa yang dilakukan oleh kebanyakan mahasiswa jaman sekarang. Bisa jadi ini sebuah kelemahan, karena tentu tidak fair membandingkan jaman dulu dan jaman sekarang yang berbeda kecanggihan teknologi dan perubahan budayanya. Tapi ya sebagai manusia biasa tentu saya tidak bisa lepas dari menilai sesuai berdasarkan pemahaman saya atas pengalaman hidup dulu.
Hal yang saya lihat sekarang ini—walau tentu subjektif—adalah: menurunnya minat beli dan baca mahasiswa terhadap buku. Mengenai tuduhan saya ini beberapa kawan berpendapat bahwa sejatinya sejak dulu persentase mahasiswa yang minat buku juga tidak banyak. Mahasiswa yang selalu up date buku, membeli buku, membaca dan mendiskusikan buku konon dari waktu ke waktu memang tidak banyak. Bahkan di kampus seperti Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara pun, mahasiswa yang serius dan bergairah dengan filsafat juga minoritas. Setidaknya hal ini berdasarkan pada curhat dan penghilatan saya ketika sering dolan ke STF Driyarkara semasa saya masih kuliah (S2) di Jakarta dulu (2008-2012).
Kalau hal tersebut benar, maka “kutukan” bahwa para pionir perubahan, cerdik cendekia, dan pemimpin sejati merupakan komunitas elite benar adanya. Di antara 100% mahasiswa paling tidak lebih dari 5% yang benar-benar minat dalam aktivitas akademik dan intelektual, paling tidak lebih dari 5% juga yang berjiwa pemimpin dan bervisi jauh untuk perubahan sosial. Inilah kurva normal mahasiswa yang setidaknya masih tetap proporsinya dari dulu sampai sekarang, yaitu sebagian besar diisi oleh mahasiswa biasa-biasa saja dan sebagian sedikit diisi oleh mahasiswa tidak biasa-biasa saja. Mahasiswa yang tidak biasa-biasa saja inilah yang dapat dipilah menjadi “baik sekali” dan “tidak baik sekali”, dari para aktivitas, intelektual, hingga mahasiswa yang tidak tahu tujuan hidup dan bingung siapa dirinya sendiri.