Faqih Addien Al Haq
Pelatuk dan Pegiat LSM Bangkit Berdiri,
Ketua KAMMI Airlangga, Pegiat KAMMI kultural Surabaya
" Mahasiswa adalah calon mesin-mesin
produksi "
(Dr. Nugroho Notosusanto)
Sebuah pengantar
Bagi seorang anak nakal’ yang lahir dari
rahim tarbiyah dan tumbuh dalam timangan buku-buku timur tengah, yang (dulunya)
sama sekali tidak tertarik terhadap dinamika politik dan sosial dan lebih
sering berkutat dengan masalah pribadi dan asmara, pada awalnya sangat sulit
menerima bahwa perbedaan itu ada dan
menganggap semua hal yang berbeda adalah permasalahan.
Setidaknya sampai pada hari dimana conflict
of interests (yang belakangan kusadari sebagai hal yang biasa) mulai menyapa
dalam aktivitas dalam kehidupan organisasi. Rekayasa menyapaku, memperkenalkan
diriku pada sang musyawarah dan mendudukkanku pada posisi yang sulit untuk
menerima.
Sulit untuk menerima kenyataan bahwa
terkadang kebenaran tidak bisa diterima oleh manusia hanya dengan alasan bahwa
dia adalah kebenaran. Sulit untuk menerima bahwa kehendak manusia berbeda
dengan kehendak sekelompok manusia. Aku mulai belajar menerima dunia dalam
refleksi mata, bukan hanya dalam goresan
pena saja.
Religius-materialistik adalah sebuah anomali.
Tapi ia adalah kehendak Tuhan. Disitulah kehendakNya mewujud dalam sikap yang
tumbuh dalam diriku. Salam !
***
Kalimat
yang dikatakan oleh Menteri Pendidikan & Kebudayaan pada masa Kabinet
Pembangunan IV tersebut adalah sebenar-benarnya refleksi dari potret siklus
kehidupan kaum pemuda di Indonesia.
Di
zaman orde baru, mahasiswa yang mengambil ilmu humaniora jumlahnya jauh lebih
sedikit daripada mereka yang mengambil ilmu non-humaniora. Hal tersebut terjadi
karena 2 penyebab. Yang pertama,
pemerintah saat itu jelas tidak menginginkan adanya motor gerakan
sosial-politik di luar lingkaran "oposisi resmi" rezim orde baru yang
berpotensi menggoyang stabilitas pemerintahan.
Pemerintah
rezim orde baru memahami bahwa, mahasiswa ilmu humaniora memiliki kecenderungan
untuk bersikap kritis dan vokal dalam mengungkapkan pendapat terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah.
Yang kedua,
kondisi di luar kampus (baca-lapangan pekerjaan) hari itu menawarkan
kelenggangan dan kenyamanan hidup yang membanggakan di zaman itu. Jika kita
membaca sebuah teori yang (konon) dilontarkan oleh Anies Baswedan tentang the ruling class, yaitu
kelompok-kelompok yang berkuasa dan memegang peranan kunci dari sebuah
golongan, bahwa di zaman orde baru salah satu bagian dari the ruling class adalah para pegawai, baik pegawai negeri sipil
(PNS) atau pegawai swasta. Oleh sebab itulah timbul ketertarikan yang kuat
antara dunia pasca-kampus dengan dunia kepegawaian, karena memang status PNS di
zaman itu memiliki 'prestige'.